Pengetahuan di Bawah Pengawasan

Jum'at, 26 Desember 2025 - 16:54
Bagikan :
Pengetahuan di Bawah Pengawasan
Diskusi Buku Kisah Perempuan di Kampung Kami [Sumber foto: Trend Asia]

Alfikr.id, Probolinggo- Senin sore, 22 Desember 2025, sejumlah aparat kepolisian di Yogyakarta mendatangi lokasi diskusi buku “Kisah Perempuan di Kampung Kami” yang diterbitkan oleh Konde.co bersama Marjin Kiri dan didukung Trend Asia. Kedatangan mereka bertujuan untuk mempertanyakan surat izin pelaksanaan kegiatan diskusi.

Menanggapi hal itu, Konde.co bersama Marjin Kiri dan Trend Asia menyampaikan bahwa diskusi publik tidak termasuk objek perizinan aparat keamanan. Karena, diskusi merupakan ruang konstitusional warga negara untuk bertukar gagasan dan pengetahuan, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum tidak mengatur kegiatan diskusi pengetahuan. Regulasi ini secara tegas hanya mencakup unjuk rasa, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas.

“Diskusi buku tidak termasuk kegiatan yang wajib diberitahukan atau, dalam istilah kepolisian, ‘diizinkan’ kepada aparat keamanan berdasarkan undang-undang tersebut,” demikian pernyataan sikap Konde.co, Marjin Kiri, dan Trend Asia, dilansir dari Konde.co.

Tidak hanya itu, peristiwa serupa juga terjadi pada acara diskusi buku Reset Indonesia yang sedianya digelar di Pasar Pundensari, Gunungsari, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Kegiatan tersebut dibubarkan oleh aparat pemerintah dan kepolisian setempat dengan alasan tidak memiliki izin.

Ilustrasi diskusi buku Reset Indonesia. [Sumber foto: Suara.com]

Pembubaran diskusi itu menuai banyak kritik. Salah satunya dari Ketua Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie, Ia menilai buku Reset Indonesia penting bagi kesadaran perubahan untuk Indonesia di masa depan. Kemudian ia mendesak agar ada tindakan tegas terhadap aparat yang melarang diskusi tersebut.

Ketua Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie, menilai buku Reset Indonesia memiliki arti penting dalam membangun kesadaran perubahan bagi masa depan Indonesia. Karena itu, ia mendesak agar aparat yang membubarkan dan melarang jalannya diskusi tersebut dikenai sanksi.

“Ini harus dikenai sanksi agar menjadi pelajaran bagi kemajuan peradaban demokrasi dan negara hukum kita yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” tulis Jimly dalam akun X miliknya.

Bahkan Kepala Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Islam Indonesia (UII), Masduki, turut merespons aksi pembubaran diskusi yang dilakukan kepolisian. Menurutnya, tindakan tersebut tidak sejalan dengan mandat konstitusi.

“Kebebasan berekspresi menjadi terancam hanya karena pembubaran diskusi, padahal kegiatan tersebut merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh undang-undang,” ujarnya, dikutip dari TribunJogja.com.

Menukil laporan Kompas.id, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) M. Choirul Anam menanggapi pembubaran diskusi buku Reset Indonesia dengan menyatakan perhatian serius atas peristiwa tersebut. Ia menegaskan bahwa Kompolnas tidak sepakat dengan tindakan aparat kepolisian yang dinilai berlebihan dalam menjaga keamanan.

“Berkaca dari pengalaman kejadian tersebut, sebaiknya di seluruh wilayah, baik di tingkat polda maupun polres, kegiatan diskusi atau bedah buku dibiarkan berjalan. Bahkan, jika perlu, justru diberikan pelayanan dan perlindungan,” ungkapnya.

Lebih jauh, Dosen Sejarah Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, menilai peristiwa tersebut sebagai pengulangan pola lama ala rezim otoriter Orde Baru. Menurutnya, situasi ini mengingatkan pada masa ketika negara memberlakukan kontrol ketat terhadap pemikiran-pemikiran alternatif.

“Ini merupakan gejala yang dapat diidentifikasi sebagai bangkitnya kembali otoritarianisme. Negara, melalui aparatnya, melakukan teror terhadap kegiatan-kegiatan intelektual yang diselenggarakan masyarakat,” tuturnya.

Jauh sebelum kejadian ini, pada akhir Agustus 2025, aparat kepolisian telah menyita sejumlah buku di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jakarta. Penyitaan itu dilakukan dengan alasan bahwa buku-buku tersebut diduga menjadi inspirasi aksi demonstrasi yang kemudian berujung pada kerusuhan.

Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, mempertanyakan langkah kepolisian yang menjadikan buku sebagai barang bukti dalam penangkapan pascademonstrasi. Ia menegaskan bahwa buku seharusnya menjadi sarana untuk memperkaya pemikiran, bukan dijadikan instrumen kejahatan.

“Membaca buku bukanlah sebuah kejahatan. Saya mengecam tindakan kepolisian yang menyita buku sebagai alat bukti, karena hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan berpikir dan berpendapat,” kata Bonnie, disadur dari NU Online.

Senada dengan hal itu, Dosen Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Yogyakarta, Andreas Budi Widyanta, menilai polisi bertindak serampangan dengan menyita buku-buku bertema anarkisme dan marxisme sebagai barang bukti kerusuhan.

“Tudingan itu ceroboh. Mereka tidak paham karena tak pernah membaca buku-buku tentang anarkisme dan marxisme,” tegas Andreas, dikutip dari Tempo.id.

Penulis
Abdul Rofid Juniardi
Editor
Ahmad Rifa'i

Tags :