Antara Dory dan Forrest Gump
Jum'at, 15 Juli 2016 - 13:07JAKARTA, Alfikr.co - Akhir pekan anak-anak mengajak nonton film “Finding Dory”. Saya menikmati film ini, tentu saja terutama karena saya melewatkan momen kebersamaan dengan anak-anak saya dengan menonton film ini. Di sisi lain, filmnya memang menarik.
Dory adalah ikan dengan suatu penyakit pelupa yang sangat parah. Istilah kerennya, short term memory lost. Ia kemudian terpisah dari orang tuanya karena itu. Dengan ingatan yang samar-samar ia mencoba mencari orang tuanya. Ini sebenarnya sebuah misi mustahil, kalau mengingat keadaannya. Tapi akhirnya ia bisa bertemu.
Merlin dan Nemo tadinya mencoba membantu Dory. Tapi mereka kemudian terpisah. Dalam keadaan nyaris putus asa, Nemo kemudian menyadari suatu hal, Dory’s way. Cara Dory. Dengan mengikuti cara Dory kemudian akhirnya mereka bisa bertemu kembali. Tidak hanya itu, Dory bisa bertemu dengan orang tuanya.
Film Forrest Gump juga berbicara tentang hal yang sama. Tentang anak idiot yang dalam keadaan “normal” hanya akan jadi bahan cercaan dan bullying bagi anak-anak lain dan orang-orang di sekitarnya. Tapi Forrest tenyata bisa meraih prestasi, jauh dari rata-rata orang “normal” di sekitarnya. Ia meraih semua itu hanya dengan 2 hal sebagai modal, yaitu berlari, dan hidup dengan cara Forrest Gump.
Keduanya, Forrest dan Dory, dididik oleh orang tua mereka untuk menjadi diri sendiri, kuat dan tangguh dengan keistimewaan yang mereka miliki. Di mata orang lain mereka mungkin anak-anak yang memiliki kekurangan. Tapi orang tua mereka menjadikan kekurangan itu keistimewaan.
Anak-anak kita sebenarnya istimewa dan unik. Tapi kita sering memperlakukan mereka tidak unik. Kita ingin mereka sama dengan anak-anak lain. Kita bahkan menyuruh mereka meniru anak-anak lain, bukan menjadi diri mereka yang unik dan istimewa.
“Coba lihat si Anu itu, prestasinya begini begitu bla bla bla…” Lalu anak-anak kita menghabiskan hidupnya untuk menjalankan kehendak kita. Mereka menghabiskan masa kecilnya dengan mencoba menjadi orang lain yang bukan dirinya.
Anak-anak sering dipaksa untuk bisa hal-hal yang mereka tidak bisa, dalam rangka menjadi sesuatu. Mereka dipaksa melihat orang-orang dan meniru jalan orang-orang itu, bukan melihat kepada diri sendiri untuk menemukan keistimewaan diri sendiri.
Kita mungkin bangga saat anak kita menjadi sesuatu sesuai dengan yang kita arahkan. Tapi kita tidak tahu bahwa sebenarnya anak-anak kita bisa lebih baik lagi di bidang yang sebenarnya menjadi bakat dan keinginan mereka.
Yang parah adalah, kita bersedih ketika menyadari bahwa anak kita tidak sama dengan anak lain. Ketika upaya kita memaksanya agar sama dengan orang lain gagal, kita marah dan kecewa. Padahal yang diperlukan oleh anak-anak kita hanyalah menjadi dirinya sendiri, dan berbahagia dengan itu. Menjadi anak-anak yang tumbuh seperti Dory dan Forrest Gump. Pesan itu yang saya baca dari kedua film itu. (*/kps)
“……putramu bukanlah putramu,
mereka adalah putra putri kehidupan,
yang mendambakan hidup mereka sendiri………”