Ritual Penyucian Pusaka Mayarakat Banjar

Rabu, 25 September 2019 - 01:16
Bagikan :
Ritual Penyucian Pusaka Mayarakat Banjar
Pelaksanaan Ritual Penyucian Pusaka oleh Masyarakat Banjar, Sampang.

SAMPANG, ALFIKR.CO- Syahdan, Desa Banjar dirundung kemarau panjang. Masyarakat setempat gelisah, lalu mereka beriktiar melakukan ritual untuk kemakmuran bersama. Ritual itu, kini jadi adat istiadat masyarakat setempat, Gumbak namanya.

Asal muasal adat Gumbak menurut kepercayaan masyarakat berawal dari kemarau panjang dan musibah yang terjadi selama berbulan-bulan di Desa Banjar, Sampang. Masyarakat jatuh miskin sebab tanaman tidak bisa lagi tumbuh di lahan pertanian warga. Sehingga bujhuk Toben mengelilingi beberapa tempat di Desa Banjar dan membawa pusaka sembari merapalkan dzikir. Tak lama setelah ritual itu digelar, Desa Banjar akhirnya jadi subur.

Nama Desa Banjar sendiri diambil dari seorang tokoh, yaitu bujhuk Banjar. Tak begitu banyak cerita tentangnya yang berkembang di tengah masyarakat, tapi menurut sebagian sumber bahwa ia adalah pembabat hutan belantara yang saat ini ditempati masyarakat Banjar. Dia ditemani oleh empat bujhuk lainnya, yaitu Maklora, Ramatemma, Karim, dan adik iparnya sendiri, bujhuk Toben. “Sebenarnya ada 45 bujhuk, tapi ke 40 bujhuk tersebut hilang dari sejarah,” ucap Ki Sudi selaku juru kunci.

Konon, bujhuk Toban pernah bertarung dengan babi hutan sampai pahanya terluka karna melindungi desa. Begitupun bujhuk Maklora dan Ramatemma yang memang terkenal kesaktiannya. Merurut cerita, mereka berdua bisa mengubah pusaka dari tanah liat menjadi pusaka asli. Tidak terhitung jumlah pusaka yang diciptakan.

Saat ini, pusaka-pusaka itu hanya tersisa 24 buah. Dulu, “pusaka ini digunakan oleh para bhujuk untuk keperluan hidup serta melawan penjajah. Dulu, sempat mau dirampas oleh orang Belanda, tapi pusaka-pusaka itu memiliki energi mistis hingga melukai tangan perampas. Karena kejadian itu, sampai sekarang pusaka-pusaka ini hanya boleh di pegang oleh orang-orang tertentu,” jelas Sudi pada ALFIKR.

Orang-orang pilihan itu adalah pelakon (pemain, Red) Gumbak. Biasanya mereka memegang pusaka-pusaka warisan leluhur itu ketika pelaksanaan adat sedang berlangsung. Sebab, inti dari adat Gumbak adalah penyucian pusaka yang rutin dilakukan setahun sekali, dimana ritual ini telah berlasung dua ratus tahun lamanya.

Penyucian pusaka ini dilakukan pada tanggal 14 dan 17 Dzulhijjah. Pemilihan tanggal tersebut, menurut Sudi bermula dari kebiasaan masyarakat Banjar yang sering adu ilmu kanuragan yang pada  akhirnya menimbulkan perselisihan di tengah-tengah masyarakat. Bhujuk Toben tampil dengan meminta mereka untuk berdamai dan menggantinya dengan menggelar ritual Gumbak tepat pada tanggal dimaksud.

Menurut Royyuna, juru kunci lainnya di Desa Banjar, adat ini telah berlangsung secara turun temurun.  Ritual ini dimulai dengan penyucian semua pusaka di Masjid Banjar. Pelakon terdiri dari satu orang yang bertindak sebagai pemimpin ritual dengan merapalkan mantra. Sementara, 24 orang sisanya bertugas memegang pusaka.

Selanjutnya pelakon Gumbak mengelilingi desa dengan berjalan kaki yang diikuti oleh sebagaian masyarakat Banjar. Tapi disamping itu, ada dua tempat yang memang dilaksanakan ritual khusus. Pertama, di sumur seronin milik Bujhuk Banjar. Kedua di makam semua para bujhuk. “Di tempat tersebut, semua pelakon Gumbek berputar melingkar sempai tujuh kali dengan membacakan mantra dari leluhur,” ungkap Royyuna pada ALFIKR.

Setelah mengelilingi desa, ritual dilanjutkan dengan penyembelihan kambing berbulu hitam di tanah okolan. Disebut okolan karena di penghujung ritual ada perkelahian dua pemuda yang memang sengaja dilakukan. Okolan tersebut juga mengandung makna perlawanan terhadap penjajah. 

Penutup dari semua acara tersebut adalah pembacaan tahlil dan Alquran bersama di makam para bujhuk. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembagian kulit kambing kepada semua kepala keluarga yang hadir lalu diakhiri dengan makan bersama.

Ki Behram, tokoh masyarakat menjelaskan, Kulit kambing yang sudah dibagikan kepada kepala keluarga harus ditanam di depan rumah masing-masing, sebab diyakini menolak balak selama satu tahun kedepan. “Setelah pulang langsung ditanam di depan rumah agar berkah,” pungkasnya.

(Sumber foto: Syamsuddin)

 

Penulis
Syamsuddin
Editor
Putro Hadi

Tags :