Zuhud Menurut KH. Moh. Zuhri Zaini
Jum'at, 24 Januari 2020 - 04:09PROBOLINGGO, ALFIKR.CO- Zuhud adalah ketidak bergantungan hati seseorang kepada dunia. Tapi bukan berarti menolak kehidupan dunia itu sendiri.
Hal tersebut diungkapkan Pengasuh PP. Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, KH. Moh. Zuhri Zaini dalam kegiatan kajian kitab Kifayat al-Atqiya & Apos; Wa Minhaj al-Ashfiya karya Sayid Bakari al-Makki bin Sayid Muhammad Syatho ad-Dimyathi yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Matan Universitas Nurul Jadid (UNUJA) pada, Rabu malam (22/01/2020).
"Zuhud itu ketidak bergantungnya hati kita kepada dunia. Biar kita tidak terjebak dengan ketergantungan atau kecintaan kita pada dunia. Tapi bukan berarti tidak punya dunia itu sendiri," tutur putra kelima, Pendiri PP. Nurul Jadid KH. Zaini mun’im.
Beliau menerangkan, godaan dunia itukan menyenangkan, sementara kita punya nafsu yang inggin selalu senang. Oleh karena itu, ketika kita menyaksikan hirup-pikuk dunia, akan muncul watak harus selalu menyukainya.
Karena pada dasarnya manusia cenderung untuk memiliki kehidupan dunia. Menurut beliau, ke-inginan untuk memilikinya adalah suatu bentuk ujian yang harus dilalui manusia. Sementara, bentuk perlawanan seseorang terhadap dunia adalah jihad.
"Dunia itu ujian. Kita menyenangi dunia, namun dianjurkan untuk meninggalkannya. Jadi seandainya kita tidak mencintai dunia, kita tidak perlu berjuang. Ketika kita melawan dorongan nafsu dunia kita, disitu adalah jihad asalkan karena allah," jelasnya.
Kalau kita melawan kecintaan terhadap dunia karena allah, itu bisa dinamakan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, orang yang melawan nafsunya, sesungguhnya masuk dalam jihad dun nafs (melawan hawa nafsu).
"Kita yang melawan kecintaan dunia karena allah itu namanya jihad fi sabilillah. Misalnya, orang senang mabuk atau ingin berzina seumpamanya, tapi kita tahan atau lawan, itu masuk dalam jihad dun nafs," terang beliau.
Untuk menghilangkan kecintaan seseorang terhadap dunia, beliau mengatakan ada empat cara agar bisa zuhud:
Pertama, memaafkan perbuatan bodoh orang lain terhadap kita. Maksutnya, perbuatan orang bodoh yang tercela, walaupun pada dasarnya ia berpengetahuan atau pintar. “Tapi merendahkan orang, memaki-maki kita, dan ghibah. Kemudian, kita memaafkan perbuatan orang bodoh itu. Maka masuk dalam bentuk zuhud," tandasnya.
Kedua, mencegah atau menahan diri untuk tidak berbuat bodoh kepada orang lain. Karena menurut beliau ini bagian dari jihad. "Begitu juga ketika kita menahan diri, tidak berbuat bodoh kepada orang lain itu termasuk jihad untuk menuju zuhud," katanya.
Ketiga, tidak berharap balasan baik dari orang lain. "Jadi kalau ada orang dermawan, dan suka membantu orang. Baik di balas atau tidak, orang lain itu berterimakasih atau pun tidak. Maka kalau dia ikhlas, akan terus berbuat baik kepada orang lain," tampalnya.
Yang keempat ialah membalas atau memberi kepada orang lain. Baik yang bersifat materi atau pun non-mater. Jika kita memberi karena ingin balasan, biasanya sifat seperti itu tidak akan lama.
Hal itu lebih mendahulukan keikhlasan kita memberi untuk orang lain yang akan membawa kepada bentuk zuhud. "Karena ikhlas mendahulukan orang lain adalah salah satu ciri orang zuhud. Tapi semua itu, dalam ranah urusan dunia,” sambungnya.
Jika dalam ranah amal ibadah lebih mendahulukan orang lain, itu tidak bisa di katakan zuhud. "Mendahulukan orang lain dalam hal amal ibadah atau amal akhirat bukan masuk dalam zuhud. Mendahulukan orang lain itu baik, kalau dalam urusan dunia. Misalnya, membagikan uang, kemudian kita mendahulukan orang lain," pungkas beliau.