Gagasan Ekonomi NU KH. Sholahuddin Wahid
Senin, 03 Februari 2020 - 18:47NU dibangun atas tiga landasan berfikir yakni. Nahdaltul wahtan, Taswirul Afkar dengan semangat bahwa NU lahir ingin menyebarkan paham Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Selain itu juga Nahdlatul Tujjar, semangat pengembangan ekonomi. Namun kita lihat sampai sekarang belum ada perkembangan yang siknifikan. Nah, bagaimana tanggapan KH. Sholahuddin Wahid mengenai gagasan ekonomi NU, berikut hasil wawancara ALFIKR tahun 2010:
NU lahir juga dari semangat ekonomi, bagaimana dengan pengembangan ekonomi warga NU?
NU memang dibangun atas tiga landasan berfikir yakni. Nahdaltul wahtan (semangat kebangsaan), Taswirul Afkar dengan semangat bahwa NU lahir ingin menyebarkan paham Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Selain itu juga, Nahdlatul Tujjar (semangat pengembangan ekonomi). Namun jika kita lihat sampai sekarang, masi belum ada perkembangan yang signifikan dalam basis ekonomi NU.
Sebagai sebuah semangat harus kita apresiasi. Tapi belajar dari pengalaman yang lalu NU belum dikatakan berhasil melakukan pengembangan ekonomi bagi warganya. Muhammdiyah pun juga belum tampak berhasil, bahkan Sarikat Dagang Islam belum terlihat keberlanjutannya.
Tapi kita bisa melihat dari jejak yang nyata, asuransi Bumi Putra pada tahun 1917. Itu awalnya hanya beberapa orang, tapi karena dimanage dengan baik, sekarang pengikutnya jutaan. Jadi NU bisa belajar kepada asuransi itu, untuk mengambil spiritnya dan kita bisa pelajari.
Warga NU banyak yang memiliki potensi ekonomi, bagaimana Kiai melihat potensi itu?
Kita harus belajar dari pengalaman masa lalu, dan bisa menyusun satu program untuk pengembangan ekonomi. Misalkan, kita bisa belajar dari banyak negara, ada sesuatu yang bisa kita lakukan. Karena kita berfikir bahwa NU punya masyarakat atau warga yang bisa digerakkan ke arah pengembangan ekonomi warganya. Semisalnya kita bisa belajar dari Garmen Bank di India kenapa mereka bisa jalan? NU dalam pengembangan ekonomi warganya selalu gagal, dimana letak kesalahannya.
Di India itu ada satu program yang disebut dengan Rasional Rurer Imploimant Garanty act, dengan memberikan jaminan pekerjaan kepada semua rumah tangga di sebuah pedesaan selama seratus hari per tahun. Konsepnya sederhana sekali, masyarakat sana diberi tugas menanam pohon, satu kelompok keluarga dijawajibkan menanam dua ratus pohon, termasuk pohon buah-buahan dan merawatnya selama tiga tahun. Ketika tiga tahun atau akhir tahun ke tiga, kalau 90% pohon itu tumbuh maka mereka dibayar.
Sekarang ini kita tidak tahu, pemerintah mencanangkan program penanaman pohon tapi hasilnya sejauh ini belum terlihat. sebab kalau program itu berhasil tentu banyak pohon yang panen kan? tapi kita tidak tahu seperti apa jadinya. Dan jangan disalahkan pada pengusaha menurut saya, salahkanlah pada kelompok masyarakat itu tentunya.
Nah kelompok masyarakat ini, NU seharusnya bisa berperan. Tapi itu memerlukan syarat. Syaratnya organisasi NU harus benar dan betul-betul jalan. Ini bukan syarat yang mudah.
Harus dimulai dari mana dulu untuk membangun ekonomi NU?
Kita menggerakkan ini semua, tidak pelu massal dulu, kita belajar dulu, mendapatkan tugas dari pemerintah. Misalkan berapa juta pohon yang harus kita kelola. Kita juga bisa memberikan pelatihan-pelatihan mengenai berusaha, khususnya uhsaha mikro ekonomi, kita juga perlu mengadakan kegiatan-kegiatan supaya mengaktifkan lahan-lahan tidur.
Kita bisa melakukan banyak kegiatan, tentunya harus kita pelajari dulu. Jadi kita harus rela belajar satu atau dua tahun untuk bisa menyusun program yang baik.
Kita punya banyak orang-orang pandai di berbagai unversitas dan warga NU sendiri, warga NU bukan artian anggota NU, tapi orang-orang dari kultur NU itu jumlahnya banyak dan mereka rasanya bisa kita arahkan dan upayakan untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan NU.
Tadi Kiai mengatakan kita harus belajar dulu untuk menjemput gagasan baru. Gagasan apa yang harus dijemput?
Mempersiapkan organisasi, kita harus melangkah dan kerja-kerja yang tekun dan sungguh-sungguh. Kalau kita tidak begitu, organisasi kita tidak akan siap, dikasik uang juga habis, karena kita tidak tahu bagaimana mengelolanya.
Apa lagi, organisasi kita belum siap untuk mengelola keuangan. Oleh sebab itu, harus di persiapkan dulu.
Bagaimana dengan pembangunan basis ekonomi yang sempat dilakukan pada masa alm Gus Dur, Bank Nusummah?
Terkait Bank Nusummah itu bagus, tapi ada kesalahan dalam artian tidak mendapatkan dukungan politik dari pemerintah. Gus Dur waktu itu masih bersebrangan dengan pemerintah. Ada kawan yang mengatakan pemerintah memberikan syarat pada Gus Dur dan mempersiapkan bagaimana NU melakukan kerjasama ekonomi dengan Bank Bumidaya, sebuah bank milik pemerintah.
Tapi kemudian, Gus Dur memilih Bank Nusummah. Karena pemerintah merasa dilangkahi, maka Bank Nusummah pada akhirnya ditutup oleh pemerintah. Disini pentingnya bahwa pengembangan ekonomi warga NU juga harus didukung kebijakan pemerintah.
Tapi NU secara struktur sudah ada lembaga yang ngurusi ekonomi?
Masalahnya lembaga ekonomi NU itu tidak jalan. Jadi kita harus menyiapkan resources dulu. Selain itu ketua umum PBNU adalah orang memang pekerja bukan tukang pidato tapi bukan berarti bodoh. Tipe kepemimpinan NU yang akan datang harus tipe man of action dan bukan man of ideas. Pemimpin NU yang bukan pekerja tapi hanya pandai berdalil, tetap tidak jalan organisasinya.
Berarti Persoalan ekonomi warga NU harus jadi perhatian penuh?
Itu memang harus menjadi perhatian penuh. Kalau boleh saya simpulkan peran NU kedepan itu harus menjadi kekuatan utama masyarakat sipil, seperti pada zaman Gus Dur. hanya NU yang bisa menjadi kekuatan masyarakat sipil. NU dibantu oleh Muhammadiyah, ormas-ormas agama dan LSM lain, NU harus menjadi pemain utamanya.
Bagaimana pesinggungan penguatan ekonomi dengan politik?Kalau zaman Gus Dur melakukan perlawanan terhadap pemerintah memperjuangkan demokrasi politik, sekarang NU harus memperjuangkan demokrasi ekonomi bekerja dengan pemerintah. Gus Dur dulu melakukan perlawanan pemerintah karena memang harus dilawan pemerintahnya, kalau sekarang tidak, tapi NU harus meyakinkan pemerintah.
Kita tidak berpolitik praktis tapi politik kebangsaan. titik. kalau kita memang sadar bahwa kita tidak boleh berpolitik Praktis ya harus ditegaskan itu. Artinya NU tidak mendukung partai manapun termasuk PKB. Kalau kita mendorong PKB monggo, tapi kalau NU kampanye untuk PKB itu tidak boleh.
Yang ke dua NU tidak boleh mendorong calon pilkada atau pilpres. Yang ketiga kalau ada calon di struktur NU yang maju dalan pilkada maupun pilpres, tokoh itu harus meletakkan jabatan strukturalnya di NU.
Sekali lagi, Kita berpolitik kebangsaan. Kita harus bisa menyusun langkah-langkah yang akan diusulkan kepada pemerintah, termasuk langkah-langkah memperdayaan ekonomi, pendidikan dan lain-lain supaya kebijakan pemerintah betul-betul memihak pada rakyat, kan banyak kebijakan-kebijakan yang dilakukan kurang berpihak kepada rakyat tanpa disadari.
Dan kita juga membuka akses-akses pendanaan pengusaha mikro seperti garmen bank, tapi satu kali lagi ini mensyaratkan organisasi NU harus benar
Ketua-ketua lembaga banom atau lajnah harus dipimpin oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan yang baik, ketua-ketua PBNU juga diminta menunjukkan kinerja yang baik, kita minta setiap tahun ada laporan yang dipersiapkan apa saja yang sudah dilakukan selama satu tahun
Ketua PBNU harus berperan kapten sepak bola, supaya seluruh perangkat di struktur NU itu jalan, dia bukan pemain tunggal.
Bagaimana harapan Kiai untuk basis ekonomi NU?
Muda-mudahan dalam Muktamar yang akan datang bisa memilih pemimpin yang layak untuk memimpin NU ke depan, jangan memilih pemimpin karena dibayar kalau ada yang membayar terima uangnya tapi jangan pilih orangnya
Kalau kita terima uangnya, namanya orang sadakoh tidak ada masalah, harus kita terima. Tapi kalau kita terima uangnya dan memilih orangnya karena uangnya kita yang dosa. Jadi ini terbalik, orang kan berpikir karena kita terima uang maka harus memilih, ini tidak kita yang berdosa kalau milih. Karena itu tradisi korupsi dan suap
Petikan wawancara ini adalah arsip wawancara ekslusif KH. Sholahuddin Wahid edisi Maret - Mei 2010, Ekonomi Dulu Baru Politik.