Kiai Egaliter Itu Pergi Sebelum Grup Sholawat Nariyah Terealisasi

Rabu, 08 Juli 2020 - 19:38
Bagikan :
Kiai Egaliter Itu Pergi Sebelum Grup Sholawat Nariyah Terealisasi

ALFIKR.CO - JUM’AT, 3 Juli 2020, pukul 12.30 WIB, kabar duka datang dari Pondok Pesantren Al Khoirot, Karangsuko, Pagelaran, Malang, Jawa Timur. Salah satu dewan pengasuhnya, yaitu KH. M. Ja’far Shodiq Syuhud wafat. Seketika, kabar duka ini menyebar melalui teknologi dan informasi secara cepat dan luas. Tidak hanya di lingkungan Pesantren Al Khoirot, para santri, wali santri, dan warga sekitarnya, namun juga ke Pondok Pesantren Nurul Jadid yang terletak di Tanjung, Karanganyar, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.

Bahkan, beberapa alumni dari dua pesantren tersebut, baik yang bermukim di Surabaya, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, DKI Jakarta, Banten dan luar negeri, juga telah mendengar kabar duka ini dan seketika merasa kehilangan terhadap sosok Kiai Ja’far. Mereka beramai-ramai bersaksi bahwa Kiai Ja’far adalah orang baik, pembelajar yang istiqamah, tawadlu, egaliter, cerdas dan tidak suka menonjolkan diri. Beliau juga seorang murid thariqah mu'tabarah, yang sedang berusaha tanpa henti membersihkan diri (tazkiyah an-nafs), sebagai seorang hamba yang sedang meniti jalan menghadap Sang Rahim.

Terkenal Sebagai Kiai Egaliter

Kiai Ja’far memiliki nama lengkap KH. M. Ja'far Shodiq Syuhud. Beliau lahir di Malang pada tanggal 19 Februari 1970. Beliau putera keenam dari KH. M. Syuhud Zayyadi, pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Al-Khoirot. Ibunda beliau bernama Ny. Hj. Masluha Muzakki. Sementara saudara dan saudari beliau adalah KH. M. Amin Hasan Syuhud, Ny. Hj. Bisyaroh Syuhud, Ny. Hj. Lutfiyah Syuhud, Ny. Hj. Faizah Syuhud, KH. A. Fatih Syuhud, KH. M. Hamidurrohman Syuhud, Ny. Hj. Khotimatul Husna Syuhud, dan HM. Humaidi Syuhud.

Sebagai salah satu Pengasuh Pondok Pesantren Al Khoirot Malang, Kiai Ja’far dikenal warga sekitar dan para wali santri sebagai sosok Kiai Egaliter. Hal ini sebagaimana diungkapkan Ahmad Jauhari, salah satu wali santri Pesantren Al Khoirot. Menurutnya, Kiai Ja’far merupakan kiai yang sangat dekat dengan para santri, wali santri, dan warga sekitar.

“Saya tahu, beliau salah satu dari empat pengasuh PP. Al-Khoirot Malang yang paling dekat dengan para santri. Saya juga tahu, beliau juga paling dekat dengan masyarakat, mulai wali santri, alumni dan lembaga pendidikan pesantren di Malang dan sekitarnya,” tulis Jauhari di dinding facebooknya, Jum’at 3 Juli 2020, sesaat setelah mendengar Kiai Ja’far meninggal.

“Saya tahu, karena anak ketiga saya adalah salah satu santri Al-Khoirot. Melalui beliaulah, anak dari darah daging saya, pernah saya pasrahkan pengasuhannya. Saya sering berdiskusi, sharing, menggali dan meminta pendapat beliau mengenai berbagai aspek,” tambahnya.

Atas sikap egaliter tersebut, tak sedikit para wali santri Pesantren Al Khoirot yang merasa kehilangan sosok Kiai Ja’far. Hal ini seperti disampaikan Imam Bay, wali santri dari Kabupaten Sampang dan Afif Nthue Quew, wali santri dari Kabupaten Bangkalan. 

“Saya wali santri dari Bangkalan Madura ikut berduka cita atas wafatnya al-Maghfurllah KH Ja’far. Selamat jalan Yai Ja’far. Semoga semua pengabdian jenengan kepada santri dicatat sebagai amal Ibadah. Kami berharap, ilmu yang jenengan teteskan kepada semua santri bisa mengalir seperti derasnya hujan, yang turun dan merata pada semua murid, bermanfaat dunia akhirat, dan menjadi saksi amal soleh jenengan di alam sorga bersama para ulama,” tulis Afif di dinding facebook Pesantren Al-Khoirot, Juma’t, 3 Juli 2020.

Pandangan tentang sikap egaliter tersebut, juga datang dari murid Kiai Ja’far. Di antaranya disampaikan Muhammad Busyra, salah satu mahasiswanya di IAI Nurul Jadid (kini bernama UNUJA), bahwa Kiai Ja’far Shodiq merupakan dosen dan guru, yang tak jarang memposisikan diri sebagai teman diskusi.

“Sering ke koordinatorat, tempat kami mengabdi dulu, bercengkrama dan terkadang kita tertawa bersama-sama,” tulis Busyra di diding facebooknya, Juma’t, 3 Juli 2020.

Di hari yang sama, Ghulam Abd, salah satu muridnya di MTs Nurul Jadid, juga menyampaikan kesan yang mendalam tentang Kiai Ja’far. Melalui dinding facebooknya, pria yang kini menjadi pendidik di sebuah pesantren ini mengatakan, bahwa Kiai Ja’far merupakan sosok guru yang humoris, rendah hati, dan 'alim.

“Saya yakin, siapa pun yang pernah menjadi murid dan temannya, akan terukir sejuta kenangan kebaikannya,” tulisnya.

Keyakinan Ghulam itu terbukti benar. Pada hari yang sama, Syaiful Bahar, murid Kiai Ja’far di MTs Nurul Jadid yang kini telah menjadi dosen di UINSA, menuliskan kesan mendalam tentang Kiai Ja’far.

“Dari beliau saya dan teman-teman saya mengenal organisasi. Beliau Pembina OSIS MTs Nurul Jadid saat itu. Bisa dikatakan, beliaulah yg membentuk kepribadian kami. Dari beliau kami mengenal kata tangguh dan kenyal (kuat tapi lemah lembut). Beliau yang mengajari dan beliau juga yang memberi tauladan,” tulisnya di dinding facebook miliknya.

“Meskipun beliau adik ipar KH. Moh. Zuhri Zaini, beliau tak pernah nampak di atas. Beliau selalu menunduk tawadlu dan senang berbaur di bawah. Beliau sama sekali tak nampak sebagai keluarga pengasuh. Tak sungkan bahkan asyik dengan keseharian santri yang berbaur tanpa batas,” tambah Syaiful.

Senada Syaiful, Khairul Anwar, salah satu muridnya yang kini menduduki Wakil Sekretaris Jenderal GP Ansor Pusat, pada hari itu juga menuliskan rasa kehilangan atas kepergian Kiai Ja’far di dinding facebook miliknya.

“Beliau, KH. Jafar Sodiq sangat baik, guru saya di Tsanawiyah Nurul Jadid, yang mengenalkan dunia organisasi dan jurnalistik. Duka yang sangat dalam, semoga diampuni semua dosanya, diterima amal ibadahnya, husnul khotimah. Mohon doa semuanya. Al-Fatihah,” tulisnya.

Sikap egaliter Kiai Ja’far juga membekas di seluruh anggota Kelompok Kajian Pojok Surau (KKPS) dan Lembaga Pers Mahasiswa ALFIKR, UNUJA. Di antaranya disampaikan Rofiqi Aldo, alumni LPM ALFIKR yang kini menjadi pendidik di salah satu pesantren di Bali. Menurutnya, Kiai Ja’far merupakan orang baik, cerdas, tawaddu', suka humor dan selalu menginspirasi.

Hal yang sama disampaiakan Musyhafi Miftah, alumni ALFIKR yang kini menjadi dosen tetap UNUJA. Menurutnya, beliau merupakan sosok pengayom yang tidak mengenal kasta.

“Beliau rela turun langsung mendampingi kader ALFIKR jika diperlukan, walaupun beliau sudah menjadi pengasuh di salah satu pesantren terbaik di Malang,” tulisnya dalam sebuah artikel yang dimuat timesindonesia.co.id. pada Jum’at, 3 Juli 2020.

Tentang kenangan indah atas dedikasi, sikap, dan perilaku Kiai Ja’far, teman-teman satu angkatan beliau di Pesantren Nurul Jadid juga merasa sangat kehilangan. Salah satunya Syaifuddin Munis Tamara.

“KH. Ja’far Sodiq Suhud.... dua hari lalu aku telp, kamu baik-baik saja. Aku tanya kabar Gus Zaki wafat benar apa tidak...? Valid, jawabmu. Sekarang... Aku harus berkata apa... Tuhan... KepadaMu dia telah mengabdi... Dengan sebening hatinya... Ia ajarkan kesederhanaan, ajarkan keseriusan membaca dan menulis... Khususnya buat aku dan adik-adik kaderku di ALFIKR/KKPS, rahim besar untuk pembaharuan yang tercipta dari alakadarnya...,” tulis sobat karib Kiai Ja’far ini di dinding facebooknya, Jum’at 3 Juli 2020.

Pada hari yang sama, Faisol Reza, teman Kiai Ja’far di Pesantren Nurul Jadid yang kini menduduki kursi di DPR RI dari PKB, juga menuliskan duka atas kepergian Kiai yang terkenal egaliter ini.

“Satu lagi, sahabat yang mengabdikan diri sebagai Kiai, teman sekamar juga bersama Alm. Gus Zaki. Jadi teringat semua perdebatan, persahabatan dan percandaan tak habis-habis masa itu. Selamat jalan, Kawan,” tulisnya di dinding facebook miliknya.

Warga Pesantren Berduka

Selain mengabdikan diri di dunia pesantren, Kiai Ja’far juga aktif sebagai salah satu pengurus Rabithah Maahidil Islamiah (RMI) PWNU Jawa Timur bidang Ma’had Aly dan Madrasah Diniyyah.

Salah satu perhatian Kiai Ja’far pada pesantren adalah upaya beliau menjaga dan melindungi para warga pesantren dari ancaman Pandemi Covid19. Sebagai pengurus RMI PWNU, beliau sering berdiskusi tentang tata cara menghadapi Pandemi Covid19 yang telah menginfeksi jutaan umat manusia.

Salah satu rekomendasi beliau, warga pesantren harus menerapkan protokol kesehatan sebagaimana dianjurkan oleh Pemerintah. Namun demikian, warga pesantren tidak boleh pesimistis. Harus optimis dan bertawakkal kepada Allah.

Selain di RMI, beliau juga aktif di Pengurus Pembantu Pondok Pesantren (P4NJ) Nurul Jadid. Hal ini ditunjukkan dalam keterlibatan aktif beliau dalam aneka diskusi yang diselenggarakan P4NJ Nurul Jadid, baik melalui tatap muka langsung atau daring.

Mengingat hal tersebut, tak heran bila banyak warga pesantren yang merasa kehilangan sosok kiai egaliter tersebut. Salah satunya diungkapkan oleh Kepala Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton Probolinggo, KH Abd Hamid Wahid.

“Warga Pesantren Berduka. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun... Selamat jalan memenuhi PanggilanNya, Pamanda KH. Ja'far Shodiq, ipar Pamanda KH. Moh. Zuhri Zaini. Beliau Pengasuh PP. Al Khoirot, Karangsuko, Pagelaran, Malang. Meninggal hari ini, Jumat 3 Juli 2020. InsyaAllah husnul khatimah... Saya bersaksi panjenengan orang baik,” tulis Kiai Hamid, yang juga merupakan Rektor UNUJA ini.

Unggahan Kiai Hamid tersebut disambut duka dan doa oleh 800 lebih followers beliau. Salah satunya Mohammad Holil, alumni Pesantren Nurul Jadid yang kini bekerja di Physical Optics Corporation, Amerika Serikat.

“Ya Allah, selamat jalan Gus Ja’far, mentor keorganisasian dan pers di saat SLTP dan SMU Nurul Jadid. Alfatihah,” tulisnya.

Tumbuh Berkembang di Dunia Pesantren

Sosok Kiai Ja’far yang egaliter, cerdas, tawadhu, dan memiliki karakter pembelajar tersebut tak bisa dilepaskan dari dunia pesantren. Sejak pertama menimba ilmu hingga akhir hayatnya, pesantren merupakan dunianya.

Sebagaimana ditulis admin laman www.alkhoirot.com, Jakfar Sodiq kecil menimba ilmu pertama kali di Pesantren al-Khoirot. Beliau belajar membaca Al-Qur’an dengan pola pembelajaran mengeja kepada Ustadz Miskari, salah satu ustadz di Pesantren Al-Khoirot. Selanjutnya beliau belajar kepada ibundanya, yaitu Nyai Masluha Muzakki, khusus untuk surat-surat pendek Al Qur’an di Juz 30. Pembelajaran Al Qur’an ini beliau lanjutkan kepada Ayahandanya, Kiai Syuhud Zayyadi dengan pola pembelajaran sorogan.

Pada usia 6 tahun, Jakfar Sodiq kecil masuk SDN Karangsuko. Sepulang sekolah, sekitar siang pukul 12.30 WIB sampai sore hari, beliau belajar ilmu agama di Madrasah Diniyah Annasyiatul Jadidah, yang berada di Pesantren Al-Khoirot. Di samping itu, Jakfar Sodiq kecil juga belajar Ilmu Nahwu dan Shorof kepada Ayahandanya.

Setelah lulus SD dan Madrasah Diniyah, Jakfar Sodiq remaja melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Nurul Jadid, yang terletak di Tanjung, Karanganyar, Paiton Probolinggo. Di Pesantren yang didirikan oleh KH. Zaini Mun’im ini, beliau menghabiskan masa remaja hingga dewasa, dan menamatkan sekolah formal mulai MTs, MA, sampai S1 di Institut Agama Islam Nurul Jadid.

Selain mendalami ilmu umum, di Pesantren Nurul Jadid ini, beliau juga mendalami ilmu agama seperti figh, ushul fiqh, hingga tasawuf kepada para Masyayikh Nurul Jadid, yaitu KH. Abdul Wahid Zaini, KH. Hasan Abdul Wafi, KH. Fadlurrahman Zaini, KH. Moh. Zuhri Zaini, KH. Abdul Haq Zaini, dan KH. Nur Khotim Zaini. Tak heran, sikap dan perilaku beliau banyak terinspirasi dari para Masyayikh Pesantren Nurul Jadid.

Jakfar Sodiq muda juga terkenal sebagai sosok pemuda yang rajin membaca, cerdas, humoris dan mudah bergaul dengan siapa saja. Di kala sendiri, buku menjadi pegangan yang tak pernah lepas dari tangannya. Sementara saat berkumpul bersama teman-temannya, beliau tidak pernah membeda-bedakannya. Mulai santri yang nakal sampai dengan santri yang baik, ia jadikan teman semua. Tak ayal, setiap ada beliau, ada banyak teman santri yang mengelilinginya.

Menginjak dewasa, beliau memperoleh amanat untuk mengajar. Amanat ini beliau laksanakan dengan penuh tanggung jawab, baik saat menjadi guru di diniyyah atau di MTs Nurul Jadid, hingga sebagai dosen di IAI Nurul Jadid. Dalam mengajar, beliau cukup menyenangkan karena kaya ilmu, wawasan dan pengalaman. Beliau juga sering memposisikan diri sebagai teman diskusi, sehingga para murid dan mahasiswa tidak mudah bosan dan setia mengikuti pembelajaran hingga jam pulang menyapa. Tentu ada humor di tiap pembelajaran yang beliau ampu.

Di sisi lain, Jakfar Sodiq muda juga aktif di organisasi kemahasiswaan seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) IAI Nurul Jadid, dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang saat itu baru tumbuh di IAI Nurul Jadid. Beliau termasuk sosok yang menjadi rujukan atau konsultan dalam pengembangan dua organisasi ini.

Selain itu, Jakfar Sodiq muda juga merintis pendirian Lembaga Pers Mahasiswa, ALFIKR, dan Komunitas Kajian Pojok Surau (KPPS). Dalam mendirikan dua organisasi ini, beliau didampingi sahabat karibnya, yaitu Syaifuddin Munis Tamara atau yang akrab beliau sapa Oding.

Pada masa-masa awal pendirian KKPS, beliau bersama Oding dan teman-teman santri lainnya, aktif mengkaji berbagai pemikiran filsuf dan sosiolog tentang berbagai persoalan sosial yang menghimpit masyarakat desa, sekaligus membangun jaringan kerja di luar pesantren, yang memiliki fokus pada pendampingan masyarakat. Hal ini beliau tempuh sebagai diskursus salah satu dari Panca Kesadaran Santri Nurul Jadid, yaitu Kesadaran Bermasyarakat.

Beberapa pemikiran yang sempat didiskusikan di KKPS, terutama yang memiliki dampak kemaslahatan luas, tak jarang beliau ulas kembali saat berada di LPM ALFIKR. Bersama teman-temannya, pemikiran-pemikiran tersebut beliau tuangkan dalam bahasa yang lugas dan enak dibaca dalam aneka rubrik yang ada di Majalah ALFIKR. Bahkan beliau aktif menulis kolom di salah satu sudut Majalah ALFIKR, yaitu rubrik Sinyal.

Rubrik Sinyal berisi tulisan-tulisan reflektif beliau. Salah satu tulisan beliau yang banyak disukai pembaca adalah bahagia.

"Apakah sebenarnya yang kita cari, kebahagiaan atau kesenangan?" salah satu baris tulisan beliau dalam rubrik Sinyal yang terbit pada tahun 2001.

Menjawab hal itu, beliau menjelaskan makna kebahagiaan dengan menukil pendapat filsuf Aristoteles tentang eudaimonia. Menurutnya, bahagia bukan hasil, namun proses. Bahagia adalah proses aktualiasi potensi secara terus menerus, dalam upaya kemaslahatan umat. Dengan demikian, bahagia tidak akan pernah hilang meski sumber kebahagiaan sudah tidak ada di depan mata. Bahagia akan terus terasa manfaatnya.

Pengabdian beliau di Pesantren Nurul Jadid tak pernah pupus. Bahkan beliau menyempatkan diri memperkaya ilmu di dunia luar pesantren. Saat itu, beliau menempuh pendidikan S2 Jurusan Sosiologi di salah satu perguruan tinggi di Malang. Hasil studi ini beliau terapkan kepada para mahasiswa di IAI Nurul Jadid. Meski jarak antara Malang dan Pesantren Nurul Jadid tidak pendek, beliau tetap rutin pulang-pergi untuk mengajar dan terus belajar.

Kembali ke Pesantren al Khoirot

Pada tahun 2008, Kiai Ja’far melanjutkan pendidikan kajian khusus Islam di Makkah, Arab Saudi. Beliau berguru pada dua ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Makkah Al-Mukarromah, yaitu Sayid Ahmad Al-Maliki, putra Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, dan Syaikh Muhammad Al-Yamani, putra Syaikh Ismail Al-Yamani. Masa studi di Makkah ini tidak lama, sekitar satu setengah tahun dan beliau kembali ke tanah air.

Setiba di tanah air, yaitu tahun 2009, Kiai Ja’far langsung mengabdikan diri pada Pesantren Al-Khoirot dan masyarakat di sekitarnya. Pada Mei 2009, pendidikan formal MTs dan MA didirikan di Pesantren Al Khoirot untuk pertama kalinya, dan diluncurkan bersama pejabat dari Kemenag, camat, kepala desa, tokoh pendidikan dan tokoh masyarakat. Sejak itu pula, Gus Ja’far menjadi Kepala Madrasah Aliyah Al-Khoirot yang pertama s.d. tahun 2011.

Pada pertengahan 2011, pengasuh kedua Pesantren Al-Khoirot, yaitu KH. Zainal Ali Suyuti wafat. Sejak itu, Kiai Ja’far mengundurkan diri dari posisi Kepala Madrasah Aliyah Al-Khoirot, dan fokus mengabdikan diri pada pesantren dan masyarakat, menggantikan sebagian tugas-tugas yang biasa dilakukan oleh Kiai Zainal Ali Suyuthi.

Meski tingkat kesibukan makin padat, Kiai Ja’far tak pernah meninggalkan tugas mengajar. Beliau rutin mengajar kitab kuning pada setiap Selasa sore mulai pukul 16.00 s.d. 17.00 WIB. Pengajian yang baliau ampu ini diikuti oleh seluruh santri Al Khoirot. Beliau juga mengajar di madarasah diniyyah baik untuk tingkat wustho 1 dan 2, serta Ma’had Aly untuk bidang studi Tafsir Ayat Ahkam. Bahkan sesekali, beliau juga ke Pesantren Nurul Jadid, menemui para mahasiswa dan pengurus pesantren untuk berdiskusi aneka permasalahan, sekaligus sowan kepada Masyayikh Pesantren Nurul Jadid.

Salah satu pengajian bersama masyarakat Gondanglegi Malang yang rutin diasuh Kiai Ja’far adalah Pengajian di Musola Salafiyyah tiap Sabtu malam Minggu, setelah Maghrib s.d. Isya.

Menerbitkan Kebijakan Anti Kekeraasan

Sebagai pendidik yang memperoleh kepercayaan mengayomi santri di  Pesantren Al-Khoirot, Kiai Ja’far menerbitkan Kebijakan Anti Kekerasan di antara sesama santri. Ini sebagaimana dilaporkan wartawan Program Ramadhan RCTI pada tahun 2015 lalu.

“Pesantren Al-Khoirot menerapkan kebijakan Zero Kekerasan. Kami sangat menekankan kepada santri, khususnya kepada seluruh pengurus Pesantren Al-Khoirot, bahwa dalam menangani santri tidak boleh menggunakan kekerasan. Karena kekerasan itu hanya menimbulkan kekerasan selanjutnya,” tegas Kiai Ja’far.

Prinsip Kiai Ja’far tersebut, nampaknya tidak dapat dilepaskan dari filosofi pendiri Pesantren AL Khoirot, yaitu Kiai Syuhud Zayyadi tentang berdakwah, bahwa “cara berdakwah harus dilakukan sebisa mungkin dengan tanpa kekerasan dan tanpa kekasaran.”

Di sisi lain, penerbitan kebijakan anti kekerasan di atas selaras dengan kebijakan yang diluncurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, melalui Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Sekolah. Melalui Permendikbud ini, maka setiap sekolah diwajibkan memasang papan informasi nomor telepon kantor polisi, dan tempat-tempat terkait lainnya. Sementara pemerintah daerah atau dinas pendidikan, dapat menindak sekolah yang terdapat aksi kekerasan. 

Ajakan Bersholawat Nariyah

Sekira sepuluh hari sebelum Kia Ja’far meninggal, beliau mengirim pesan kepada teman dan beberapa muridnya, yang kini berada di berbagai wilayah Indonesia.

“Ada rencana mau bentuk grup sholawat nariyah, sehari hatam 4.444 kali. Ini sesuai dengan instruksi dari Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, KH. Moh. Zuhri Zaini untuk banyak membentuk grup WA sholawat. Apakah berkenan ikut?” tawar Kiai Ja’far, Senin, 22 Juni 2020.

Menanggapi tawaran dari sosok yang dihormati dan disegani tersebut, mayoritas dari teman dan muridnya menyetujui ajakan beliau. Termasuk saya sebagai salah satu murid beliau yang tak terbiasa bersholawat nariyah, dengan sukarela menerima ajakan beliau.

Namun ajakan yang dinanti-nanti itu tak ada kabar lagi. Satu hari, dua hari, tiga hari... Sepi. Hingga kemudian salah satu sahabat Kiai Ja’far, yaitu Abdul Hamid Zein mengabarkan bahwa Kiai Jafar Sodiq sedang sakit. Mendengar hal tersebut, saya memberanikan diri untuk menanyakan langsung kepada Kiai Ja’far.

“Dus pundi sakniki, Gus...?” tanya saya.

“Sekarang masih terasa sesak dan panas di dada, juga masih lemas,” jawab beliau di pesan WA.

Mendengar hal tersebut, saya langsung teringat Sholawat Nariyah. Saya baca untuk kesehatan beliau.

Jum’at pagi, 3 Juli 2020, saya duduk-duduk di dapur bersama istri. Saya perhatikan cuaca masih tak secerah minggu-minggu sebelumnya. Mendung tipis masih menutupi sinar mentari. Spontan saya berkata kepada istri.

“Kok cuacanya gelisah ya...”

Istri saya hanya diam. Tidak mengiyakan, juga tidak membantah. Namun raut mukanya ikut-ikutan gelisah.

Saat sholat Jum’at, saya kembali teringat Sholawat Nariyah. Saya baca sebanyak mungkin sambil membayangkan wajah Kiai Ja’far.

Pukul 12.30 WIB, usai Sholat Jumat, saya membuka WA Group ALFIKR. Sontak saya tekejut. Dalam grup WA itu, kabar duka bertubi-tubi membanjiri.

Inna lillahi wa inna ilaihi roojiuun, rasanya baru kemarin panjenengan mengajak (baca; menegur) saya untuk Bersholawat Nariyah, Gus...”

___________

*) Penulis adalah murid KH. M. Ja’far Shodiq Syuhud di IAI. Nurul Jadid dan kader beliau di KKPS dan ALFIKR. Sebagai informasi, saat ini, sudah terbentuk 1 Grup WA Sholawat Nariyah yang dipimpin oleh Gus Fahurrozi dan Ustadz Syamsuri Hasan.

Penulis
M Adib Minanurokhim
Editor
Badrus Soleh

Tags :