Ada Oligarki di Balik Satgas dan Panja Omnibus Law
Jum'at, 09 Oktober 2020 - 10:03ALFIKR.CO- UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan, pada hari Senin, 5 Oktober 2020, memercikkan penolakan di berbagai kota. Gelombang penolakan telah muncul sejak pertama kali undang-undang ini diusulkan oleh Presiden Joko Widodo.
Regulasi kontroversial ini, dibahas di hotel secara maraton, drafnya tidak pernah dibuka untuk publik, rapat malam-malam, hingga disahkan terburu-buru di tengah merebaknya Covid-19, merupakan alasan masyarakat untuk menolak.
Pembahasan dan pengesahan UU Cipta Kerja ini, terindikasi memanjakan kepentingan besar para pebisnis tambang. Guna mendapat jaminan hukum untuk keberlanjutan dan keamanan bisnisnya.
Menurut Merah Johansyah, Juru Bicara Bersihkan Indonesia dari Jaringan Advokasi Anti Tambang (Jatam), mengungkapkan, bahwa melalui sejumlah elite politik dan pebisnis di Satgas dan Panja Omnibus, kepentingan itu dikejar, berhasil diperoleh dengan disahkannya RUU Cipta Kerja menjadi UU.
Ia melanjutkan, berdasarkan analisis profil para satgas dan anggota Panja Omnibus Law DPR, terungkap 12 aktor penting yang memiliki hubungan dengan bisnis tambang terutama batu bara.
"Terdapat 12 aktor intelektual yang tersebar dan memiliki peran serta fungsi berbeda di Satgas dan Panja DPR UU Cipta Kerja. 12 orang itu, antara lain Airlangga Hartarto, Rosan Roeslani, Pandu Patria Sjahrir, Puan Maharani, Arteria Dahlan, Benny sutrisno, Azis Syamsudin, Erwin Aksa, Raden Pardede, M Arsjad Rasjid, Bobby Gafur Umar, dan Lamhot Sinaga," ungkapnya yang dalam siaran persnya.
Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang berperan sebagai orang yang membentuk tim Satgas Omnibus, misalnya, terhubung dengan PT Multi Harapan Utama, sebuah tambang Batubara di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Luas konsesi PT MHU mencapai 39.972 hektar atau setara dengan luas kota Surabaya.
Dalam catatan Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Timur pada 2017, PT MHU meninggalkan 56 lubang bekas tambang yang tersebar di Kutai Kartanegara, dan salah satu lubang tambangnya di Kelurahan Loa Ipuh Darat, Kilometer 14, menewaskan Mulyadi, pada Desember 2015.
Rosan Roeslani, Ketua Kadin yang juga Ketua Satgas Omnibus Law terhubung dengan 36 entitas bisnis, mulai dari perusahaan di bidang media, farmasi, jasa keuangan dan finansial, properti, minyak dan gas, hingga pertambangan Batubara. Rosan juga tercatat sebagai anggota Indonesia Coal Mining Association.
Pada saat Pemilu Presiden 2019, Rosan menjabat sebagai Wakil Ketua Tim Kampanye Jokowi-Ma’ruf Amin. Saat itu, ketua dari Tim Kampanye dijabat oleh Erick Thohir, yang merupakan sahabat dekat Rosan sejak masa sekolah.
Sementara itu Azis Syamsuddin, Wakil Ketua DPR RI, terkait dengan perusahaan pertambangan batu bara melalui kedekatannya dengan bekas Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rita Widyasari yang saat ini sudah menjadi terpidana korupsi. Menurut laporan Coalruption, Rita mengangkat Azis sebagai komisaris perusahaan tambang batu bara milik ibunya, Sinar Kumala Naga.
Sembilan aktor intelektual di Satgas dan Panja DPR UU Cilaka dari sektor Batubara lainnya adalah Puan Maharani, Arteria Dahlan, Benny Sutrisno, Erwin Aksa, Raden Pardede, M. Arsjad Rasjid, Bobby Gafur Umar dan Lamhot Sinaga. Mereka memiliki fungsi dan peran yang berbeda, beberapa tergabung dalam Satgas, Panja, hingga Pimpinan DPR RI. Hasil penelusuran #BersihkanIndonesia, mereka memiliki hubungan dengan bisnis tambang dan energi kotor batu bara baik langsung maupun tidak langsung, secara pribadi, baik sebagai pemilik, komisaris hingga direksi.
Egi Primayogha, Anggota Divisi Korupsi Politik ICW, mengatakan, UU Cipta Kerja hannyalah satu di antara UU kontroversial lainnya yang dalam waktu sangat singkat diusulkan, dibahas dan disahkan oleh kekuatan oligarki yang terkonsolidasi di pemerintahan dan DPR. Sebelumnya telah ada 4 produk hukum kontroversial lain yang dibahas dengan pola serupa, tertutup dan terburu-buru: UU KPK, Perppu Covid, UU Minerba, dan UU MK.
“UU Cipta Kerja adalah salah satu skenario oligarki untuk terus menimbun kekayaannya. Pengesahan UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa para oligarki kini telah memperkokoh posisinya, dan skenario mereka telah berjalan dengan sempurna. Apalagi, saat ini KPK juga sudah dilemahkan,” katanya.
Ia menambahkan, mereka telah membuat peraturan yang dengan sengaja menguntungkan bisnis yang mereka miliki. “Ini adalah bentuk sebuah korupsi sistemik, yang dapat dikategorikan tindakan kejahatan serius,” tambahnya.
Selain itu, bagi Iqbal Domanik, Direktur Tambang dan Energi Auriga Nusantara, mengatakan, sebuah desain besar yang dipersiapkan sejak awal rezim ini terbentuk untuk mengambil keuntungan pribadi dengan mengorbankan rakyat dan kekayaan alam Indonesia. Ini wajar sekali terjadi kalau melihat bagaimana rekatnya relasi para penyusun undang-undang ini dengan pelaku usaha, bahkan mereka sendiri merupakan pebisnis yang akan diuntungkan dari terbitnya Omnibus Law.
“Penelusuran kami mencatat setidaknya 57% anggota panja sendiri merupakan pelaku usaha. Selain itu, kami juga menemukan bahwa sebagian dari barisan para aktor ini pernah tercatat sebagai mantan tim sukses dan tim kampanye pada Pemilihan Presiden 2019 lalu,” katanya.
Sementara itu, menurut Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, konflik kepentingan akan mendorong pejabat publik mengambil keputusan dan kebijakan yang tidak berdasar pada kepentingan publik. Konflik kepentingan yang melandasi lahirnya UU Cipta Kerja ini telah mengubah struktur esensial dari negara demokratis menjadi negara berwatak oligarki, yang tidak lagi melayani kepentingan publik.
Dengan demikian, lanjutnya, telah terjadi pengkhianatan terstruktur melalui penyanderaan institusi publik dan regulasinya, sehingga keduanya berubah menjadi alat untuk menguntungkan kepentingan segelintir orang dan kelompok belaka.
“Para aktornya, yang terlibat konflik kepentingan, menghasilkan kebijakan yang juga hanya menguntungkan mereka. Dari catatan kami ditemukan sejumlah pasal-pasal sektor pertambangan dan energi yang ada di dalam UU Cipta Kerja yang menguntungkan perusahaan-perusahaan tambang dan Batubara. Omnibus Law juga merupakan penanda krisis demokrasi dan tegaknya pemerintahan despotik yang terus memperkuat kepentingannya dengan memperlemah suara rakyat,” ujarnya.
Di antara pasal kepentingan pebisnis tambang Batubara di UU Cipta Kerja adalah;
Pasal Royalti 0% bagi Perusahaan Hilirisasi Batubara untungkan perusahaan milik para oligarki Batubara
Penambahan pasal 128 A dalam UU Cipta Kerja yang menyatakan bahwa bagi pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah Batubara dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara yakni pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara untuk kegiatan peningkatan nilai tambah Batubara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen).
Hal ini akan menguntungkan sejumlah perusahaan pertambangan yang selain sudah menguasai sektor hulu Batubara sekaligus hilir Batubara seperti Gasifikasi Batubara dan PLTU Batubara, padahal keduanya justru menyandera Industri energi nasional pada energi kotor Batubara.
Lebih dalam lagi, pemberian relaksasi royalti hingga 0% ini akan menyelamatkan industri kotor pertambangan Batubara yang sedang senja dan menghadapi krisis dan cacat bawaan jatuhnya harga, tren ditinggalkannya energi kotor karena desakan global pada transisi menuju energi bersih, adil dan berkelanjutan. Bisnis Klan Keluarga Bakrie, seperti pembangunan Gasifikasi Batubara di Bengalon, Kutai Timur senilai 36 triliun ini sudah dipastikan berpotensi besar mendapat diskon royalti 0% ini.
Perusahaan tambang Batubara di bawah payung perusahaan Bumi Resources yang menghadapi masalah jatuh tempo pembiayaan kredit dan hutang pada tahun 2022 sekaligus pengeluaran kas yang signifikan turunnya harga karena jatuhnya permintaan saat pandemi justru terselamatkan, setelah penentangan publik atas sejumlah insentif sebelumnya yang berikan revisi UU Minerba bagi kepastian kontraknya.
Pasal Pemanfaatan Ruang Laut untuk Industri Batubara
Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 Omnibus Law Ciptaker ini juga ditambah 1 (satu) pasal yakni Pasal 47A yang berbunyi bahwa Perizinan Berusaha Pemanfaatan di Laut diberikan berdasarkan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi. Perizinan Berusaha Pemanfaatan di Laut tersebut diberikan untuk kegiatan mulai dari biofarmakologi laut hingga kegiatan usaha pertambangan migas, mineral dan Batubara.