KH Maimoen Zubair dan Sumpah Pemuda dalam Mempersatukan Bangsa

Rabu, 28 Oktober 2020 - 14:34
Bagikan :
KH Maimoen Zubair dan Sumpah Pemuda dalam Mempersatukan Bangsa

ALFIKR.CO- Sejak tahun 1928, tanggal 28 Oktober menjadi ikon lahirnya Sumpah Pemuda sebagai satu ikrar untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Namun, di kalangan warga Nahdliyyin juga dikenal sebagai lahirnya sosok pemersatu bangsa negeri zamrud khatulistiwa yakni KH Maimoen Zubair.

KH Maimoen Zubair yang akrab dipanggil Mbah Moen mendapatkan bekal pengetahuan dari orang tuanya, KH Zubair Dahlan. Lalu melanjutkan pendalaman pengetahuannya dengan menetap di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, dibawah bimbingan KH Abdul Karim atau akrab dikenal Mbah Manab.

Sosok yang lahir dan besar di Rembang ini mendapatkan pengetahuan yang semakin luas setelah turut menimba ilmu di Kota Suci Makkah kepada para masyayikh di sana, seperti Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, Syekh Amin Quthbi, dan sebagainya.

Tidak hanya mendapatkan pengetahuan yang luas dari masyayikh Makkah, Mbah Moen juga lebih matang dengan berguru kepada ulama kharismatik Indonesia, seperti KH Baidhowi dan KH Ma’shum di Lasem Rembang, KH Bisri Mustofa di Leteh Rembang, KH Abdul Wahab Chasbullah Tambak Beras Jombang, KH Mushlih Mranggen Demak, KH Abbas Abdul Jamil Buntet Cirebon, KH Ihsan Dahlan Jampes Kediri, dan KH Abul Fadhol Senori Pasuruan.

Meskipun Mbah Moen berasal dari wilayah Pantai Utara Jawa yang dikenal dengan karakter keras, ia tetap mampu membuat korelatif antara pengetahuan dan pengalamannya yang meluas dan mendalam dengan sikapnya yang halus kepada siapapun.

Kehidupan Mbah Moen tidak pernah luput untuk berkhidmat kepada ilmu, yakni mengajar. Di usianya yang sudah begitu sepuh, 90 tahun, beliau tetap mampu istiqamah memberikan pengajian kepada santrinya juga melalui pengajian umum. Meskipun mempunyai kesibukan yang begitu padat, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang ini selalu menyempatkan untuk membagikan pengetahuan kepada murid-muridnya yang berasal dari berbagai penjuru Indonesia.

Usia yang sudah sepuh, Mbah Moen terbilang sosok yang sangat luar biasa kuat dalam mengajar. Pada ramadan 2017 misalnya, beliau mengaji kitab Ithaf Ahli al-Islam bi Khushusiyyat al-Shiyam, sejak matahari terbit hingga menjelang pukul 10 sampai 11 siang. Kemudian dilanjutkan malam hari selepas salat tarawih sekitar pukul 20.30 sampai pukul 23.00.

Mengaji kitab dengan durasi berjam-jam bukanlah suatu perkara mudah untuk bertahan duduk memperhatikan kalimat demi kalimat dalam kitab yang dikajinya. Terlihat dari banyaknya santri yang terkantuk-kantuk atau bahkan tertidur, mengubah posisi duduk, dan sebagainya. Namun, Mbah Moen mampu bertahan dalam beberapa jam untuk mengaji.

Pesantren Sarang akan penuh dengan para santri yang sibuk memaknai kitab ketika pengajian kitab berlangsung. Dari saking penuhnya, hampir tidak ada celah untuk lewat di jalur utama. Bahkan, karena tidak mendapat tempat terdekat, banyak yang duduk lorong-lorong kamar, warung, hingga di teras-teras warga. Dari sekian banyaknya santri tersebut dapat dipersatukan sebagai sesama santri KH Maimoen Zubair.

Tidak hanya khidmatnya kepada ilmu, Mbah Moen juga konsistensi pada bidang politik yang memegang teguh politik kebangsaan. Beliau sebagai ulama sepuh hadir sebagai pengayom bagi semua dan mempersatukan mereka yang berkonflik. Konflik memang sering lahir secara horizontal dari Pemilihan Umum (pemilu). Antar pendukung saling melempar keburukan calon lawan, kampanye hitam, hingga ujuran kebencian yang membuat suasana kehidupan terasa begitu memanas.

Dalam situasi yang sedemikian pelik, Mbah Moen memberikan contoh dengan menerima semua calon yang tengah berjuang merebut hati rakyat, tanpa melihat latar belakang partainya. Pintunya akan selalu terbuka kepada siapapun meskipun ia sendiri adalah Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ia akan menerima selayaknya tamu pada umunya. Tentu hal ini dilandasi atas perintah Nabi untuk memuliakan tamu.

Mbah Moen terlihat seakan memberikan sinyal untuk senantiasa bergandengan tangan antara kelompok agama dan nasional. Hal ini dilakukan guna menjaga persatuan Indonesia. Seperti halnya ketika menemui Megawati Soekarno Putri pada 2019 lalu sebelum ia betolak ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji.

Begitulah ulama khos dalam berkhidmat untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang terbentuk dari latar belakang sangat beragam. Siapapun akan merasa menjadi santrinya dan berhak menganggap sebagai gurunya karena beliau mempunyai keterbukaan terhadap semua orang, juga keluasan serta kedalaman ilmu yang korelatif dalam wujud dalam sikapnya.

Sumber: NU Online

Penulis
Abdur Rahmad
Editor
Abdul Haq

Tags :