Potret Suram Demokrasi
Kamis, 29 Oktober 2020 - 01:13ALFIKR.CO- Sejak runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, demokratisasi terus menemui batu sandungan. Lebih-lebih beberapa tahun terakhir massifnya gejolak elemen sipil justru mengalami tindakan represifitas oknum aparat kepolisian.
Anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Jauhar Kurniawan mengatakan, kebebasan sipil hari ini semakin terancam. Hal itu terlihat dari tindakan represifitas oknum aparat kepolisian saat dalam tugas pengamanan aksi penolakan masyarakat terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).
“Ketika aksi penolakan Omnibus Law di Jawa Timur, banyak yang mengalami tindakan represif dari aparat kepolisian. Pada aksi tanggal 8 Oktober lalu ada sekitar 600 orang lebih yang ditangkap, dan sekitar 167 orang pada aksi tanggal 20 Oktober 2020. Karena dianggap provokator,” ucapnya ketika dihubungi ALFIKR.CO
Tindakan-tindakan demikian bukan lagi barang baru. Jauhar Kurniawan melihat hal tersebut sebagai upaya oknum aparat keamanan untuk menghalang-halangi atau bahkan menggagalkan aksi menyuarakan pendapat. Selain itu menurutnya, aparat kepolisian juga menggunakan pola penangkapan secara random.
“Ketika sedang makan, ataupun ngopi hanya karena menggunakan almamater, atau kebetulan berkaos hitam, itu ditangkap tanpa ada alasan yang jelas. Bahasanya polisi itu merupakan pengamanan,” imbuhnya.
Seperti yang terjadi di Surabaya dan Jember. Jauhar menuturkan, di beberapa daerah Koordinator Lapangan (Korlap) aksi penolakan UU CK menerima surat pemanggilan aparat kepolisian untuk diperiksa sebagai saksi.
Hal itu diamini oleh Rahmat Faisal, koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, banyaknya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan aparat kepolisian berujung pada penangkapan sewenang-wenang, tindak kekerasan, intimidasi, serta ketertutupan polisi kepada tim pendamping hukum.
Menurutnya, hal itu menunjukkan ketidakpahaman aparat kepolisian perihal hak paling mendasar warga negara, seperti pentingnya penyampaian pendapat di muka umum. Di samping itu, represifitas aparat seakan disengaja sebagai bentuk attention bagi masyarakat yang masih getol melakukan aksi di pelbagai daerah.
“Tentu mereka akan berpikir dua kali untuk melakukan aksi-aksi penyampaian aspirasi. Ditambah lagi sekarang ada beberapa korlap yang dipanggil sebagai saksi. Ini menjadi “lampu kuning” bagi masyarakat agar lebih berhati-hati dan lebih mengeraskan suara-suara perlawanan mengingat sudah ada langkah-langkah ke arah penggembosan,” tegasnya kepada ALFIKR.CO via udara.
Awal dari Otoritarianisme
Demokrasi di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Hal ini tercermin dari indeks demokrasi yang dipublikasikan sejumlah lembaga indeks demokrasi. Pada tahun Maret 2020 Freedom House dalam laporannya, memberikan peringkat pada Indonesia yang secara keseluruhan memperoleh 61 poin dan sebagai negara yang hanya ‘bebas sebagian’ (partly free).
Di samping itu The Economist Intelligence Unit (EIU) juga merilis laporannya pada tahun 2019, Indonesia mencatatkan skor sebesar 6.48 poin dalam skala 0-10 dan termasuk dalam demokrasi yang cacat (flawed democracy). Peringkat tersebut diberikan karena masih terjadinya kasus pelanggaran kebebasan berpendapat dan hak sipil.
Hal ini sejalan dengan hasil survey terbaru Indikator Politik Indonesia pada 25 Oktober 2020, menunjukkan sebanyak 36 persen responden menyatakan Indonesia menjadi kurang demokratis dan 37 persen menyatakan Indonesia tetap sama keadaannya. Hanya 17,7 persen yang menyatakan bahwa Indonesia lebih demokratis dan 9,3 persen responden tidak tahu atau tidak jawab (TT/TJ).
Dikutip dari Tirto.id, Direktur Eksekutif Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan, angka persepsi kurang demokratis lebih tinggi dibandingkan yang lebih demokratis adalah “alarm” yang perlu diantisipasi oleh elite politik.
Dari 1200 responden yang dipilih secara acak, survey menunjukkan meningkatnya ancaman kebebasan sipil, sebanyak 79,6 persen mayoritas responden cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga semakin takut menyuarakan pendapat.
Selain itu, sebanyak 73,8 persen responden menilai saat ini semakin sulitnya berdemonstarasi, dan sebanyak 57,7 persen sangat setuju atau setuju dengan pernyataan bahwa aparat dinilai semakin semena-mena, maka kepuasan atas kinerja demokrasi semakin tertekan.
Survey yang dilakukan pada 24-30 September 2020 ini sejalan dengan apa yang terjadi belakangan ini. Polisi menyebut, pada saat demonstrasi menolak UU CK, sebanyak 5.918 orang ditangkap dan hanya 240 yang dinyatakan bersalah.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Brigadir Jenderal Awi Setiyono, membantah tudingan bahwa aparat semakin bertindak semena-mena terhadap masyarakat.
Kepada Tempo.co Awi mengatakan bahwa Polri menghormati apapun hasil dari lembaga survey. Namun secara prinsip, Polri tetap mempertanyakan tindakan sewenang-wenang seperti apa yang dimaksud. Ia meyakini bahwa Polri sudah menjalankan hukum sesuai prosedur yang ada.
“Bila ada masyarakat tidak setuju atas penangkapan polisi, ia mengatakan dalam sistem peradilan pidana ada mekanisme praperadilan. Ia mempersilahkan masyarakat mengajukan praperadilan (sesuai legal standing tersangka/pengacaranya), bila menilai polisi dianggap sewenang-wenang dalam penangkapan. Nanti ada tim dari Polri yang akan hadapi, biar kan hakim yang akan menilai bukan sekedar opini," kata Awi pada Tempo.co.