UU Cipta Kerja, Gus Fayyadl: Diskriminatif dan Koruptif
Kamis, 05 November 2020 - 13:47ALFIKR.CO, PAITON- Pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja pada 2 November 2020 kemarin oleh Presiden Joko Widodo kian menyulut gelombang penolakan dan merebak di berbagai tempat. Bersamaan dengan itu, tak sedikit massa aksi mengalami represi hingga upaya kriminalisasi. Massa aksi yang ditangkap dituduh sebagai perusuh.
Muhammad al-Fayyadl, intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), menyayangkan tindakan-tindakan tersebut. Menurutnya, aksi-aksi penyampaian aspirasi ada dalam kerangka demokrasi, dan salah satu upaya mendorong demokratisasi yang merupakan amanat konstitusi.
“Selain itu, aksi massa juga dijamin oleh konstitusi. Kriminalisasi ini juga salah satu upaya membungkam dan melemahkan gerakan demokrasi. Tentu harus kita tolak,” tegas pria yang kerap disapa Gus Fayyadl.
Upaya-upaya tersebut bertentangan dengan fitrah kebebasan manusia dan tujuan demokrasi di Indonesia. Selain itu, Gus Fayyadl menjelaskan, munculnya satu persoalan yang cukup meresahkan, yaitu tuduhan aksi anarkis (baca: perusakan/vandalisme) yang dialamatkan kepada massa aksi. Isu anarkisme ini biasanya dimunculkan guna menggiring opini publik serta untuk menakut-nakuti masyarakat agar tidak ada perlawanan terhadap UU Cipta Kerja.
Tindakan perusakan ketika aksi massa, lanjutnya, semestinya tidak perlu dilebih-lebihkan, sebab persoalannya utamanya terletak pada cacatnya pembuatan Undang-undang.
“Jadi, UU Cipta Kerja ini adalah akar persoalannya. Bukan anarkisme (ricuh, red),” imbuhnya.
Undang-undang yang telah diberi nomor menjadi Undang-Undang No.11/2020 itu kian memunculkan ekspresi kemarahan dan kegeraman rakyat dari berbagai lapisan. Baik kalangan buruh, petani, dan mahasiswa serta elemen pelajar. Gus Fayyadl menegaskan, bahwa mereka yang akan sangat terdampak dengan disahkannya UU Cipta Kerja yang diskriminatif serta koruptif ini.
Kemarahan rakyat tersebut yang harus dipahami oleh masyarakat dan pemerintah, bukan hanya fokus pada insiden perusakan satu-dua tempat lokasi aksi. Insiden yang terjadi di lapangan seringkali bukan murni dilakukan oleh massa aksi. Hal tersebut, menurut Gus Fayyadl, terkadang juga direkayasa oleh pihak-pihak tertentu untuk menyudutkan massa aksi.
“Saya kira hal tersebut bukan akar persoalannya. Jangan sampai kita terbawa arus atau tergiring oleh isu anarkisme. Yang jadi persoalan adalah kegeraman rakyat, kemarahan rakyat hari ini pada proses UU yang tidak transparan dan tidak adil. Kemarahan ini harus benar-benar didengar,” papar pengarang sejumlah buku filsafat ini.
Gus Fayyadl juga mengingatkan kepada massa aksi untuk tetap fokus pada substansi tuntutan, jangan fokus pada isu anarkisme (baca:perusakan). Selain itu, upaya membebaskan massa aksi yang tidak bersalah atau yang bersalah tapi tidak fatal, harus tetap diperjuangkan.
“Mereka bagian dari rakyat Indonesia yang harus dilindungi dan diselamatkan. Saya kira, perusakan yang sampai menimbulkan kerugian fisik tentu kita sesalkan. Kita tidak menginginkan hal itu terjadi,” ujarnya kepada ALFIKR.CO.