Polemik Penggusuran Rumah Warga Sumberlele Kraksaan
Senin, 09 November 2020 - 15:30
ALFIKR.CO, KRAKSAAN- “Saya tidak berniat mengambil tanah Negara, sekalipun sebenarnya saya bisa mengajukan. Saya hanya ingin hidup saya dan tetangga-tetangga tidak diganggu. Biarkan kami hidup dengan tenang,” ucap Hasan Sanah lirih.
Wajahnya yang keriput tampak berkeringat. Serta selembar karton bertuliskan ‘Jangan Gusur Rumah Kami’ ia genggam dengan penuh harap. Ia menceritakan asal mula menempati tanah milik Negara tersebut. Tahun 1969 lalu, Hasan Sanah dilahirkan diatas sepetak tanah milik Negara. Bagian depan rumahnya berdiri di atas sempadan sungai, serta dapurnya tegak di atas tanah kas desa Alassumur.
Hasan Sanah, satu dari belasan warga desa Sumber Lele, Kraksaan, Probolinggo yang terancam terusir dari ruang hidupnya. Sejak lima tahun terakhir, Ia dan beberapa tetangganya hidup dalam kekhawatiran. Tanah Negara yang ia tempati, tiba-tiba beralih kepemilikan dengan terbitnya Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor: 97 atas nama Hakimuddin dengan luas tanah: 550 M2.
“Saya sejak lahir sudah di sini. Dulu masih belum ada lampu, ketika itu penerangan hanya menggunakan demar templek. Atap rumah masih memakai daun tebu,” kenangnya.
Dengan suara lirih, ia melanjutkan ceritanya, berbagai macam intimidasi telah ia rasakan. Mulai dari dilaporkannya ke Kepala Desa, Kecamatan, hingga Polisi Sektor (Polsek) Kraksaan. Bahkan, menurutnya, dalam surat yang dikirim ke Kepala Desa perihal ancaman pembongkaran dan pengusiran juga tercantum nama salah satu tokoh agama.
“Sudah lama hati saya ini disakiti, saya diusir, disuruh minggat dari rumah tanpa bawa barang-barang yang saya punya. Istri, anak, dan cucu saya mau ditidurkan dimana, kita ini bukan binatang. Ayam saja itu dibuatkan kandang, apalagi kita sebagai manusia. Rakyat kecil seperti kami ini selalu dibuat menangis,” imbuhnya sembari menyeka keringat di wajahnya.
Ia mengatakan, sebenarnya warga sudah memiliki izin dari Pemerintah atas tanah tersebut, tapi kemudian mereka harus terusir oleh gugatan Hakimuddin, seorang pengusaha yang tidak memiliki wewenang atas hak tanah tersebut. Sembari membetulkan letak duduknya, dengan tegas ia katakan, bahwa dirinya serta beberapa tetangganya tidak ingin merebut tanah milik Negara. “Saya cuma ingin numpang hidup,” tegas pria bercucu empat ini.
“Saya hanya bisa berusaha membela tetangga, saya juga membela tanah milik Negara, menyelamatkan tanah negara. Tapi tetap, kita semua harus kompak, jangan hanya saya saja. Saya ini hanya tani biasa, wiraswasta kecil,” lanjutnya.
Ia sebenarnya merelakan jika penggusuran itu untuk kepentingan Negara dengan dicarikan tempat pengganti yang layak. Namun, yang ia sesalkan, tanah itu sekarang bisa menjadi hak milik seseorang.
Perjuangan demi perjuangan mereka mulai sejak Januari 2020 lalu, beberapa warga mendatangi kantor Yayasan Konsultasi Bantuan Hukum Bela Keadilan (YKBH-BK) untuk meminta pendampingan hukum dalam menghadapi kasusnya.
Kamis Januari lalu, (9/1/2020) para warga didampingi sejumlah pengurus YKBH-BK mendatangi ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Probolinggo. Mereka ditemui langsung Wakil ketua DPRD, Jon Junaedi dan Lukman Hakim, beserta bagian hukum Pemkab (Pemerintah Kabupaten) setempat.
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Probolinggo, Lukman Hakim mengungkapkan, pihaknya telah menampung apa yang diadukan warganya dan menyampaikan ke pimpinannya, pihaknya segera melakukan tindak lanjut atas aduan itu. “Jika soal sertifikat tanah yang dimiliki seorang itu, itu ranahnya pengadilan nantinya, kami hanya mengupayakan apa yang menjadi aduan ke kami, soal proses penggusuran tanah itu. Intinya, warga minta bantuan kami sebagai wakil rakyat,” terang Lukman kepada Radarbromo.jawapos.com
Seiring berjalannya waktu, tiga warga desa Sumber Lele, Hasan Sanah, Nurfila, dan Juha, digugat oleh Hakimuddin dalam perkara Perdata. Hasan Sanah dan beberapa tetangganya kini mesti berjuang mempertahankan ruang hidupnya. DPRD Kabupaten Probolinggo serta Kapolres Probolinggo telah ia datangi guna mengadu terkait enam rumah serta satu warung kelontong yang terancam.
Saat ini Hasan Sanah, Nurfila, serta Juha telah menjalani delapan kali persidangan. Jumat lalu mereka menjalani Pemeriksaan Setempat atau descente oleh petugas Pengadilan Negeri Kraksaan di tempat objek sengketa, “Hari ini sidang setempat itu pemekrisaan tanah sengketa,” ucap S Husin pada ALFIKR.CO, Jumat lalu (06/11/2020).
Penasehat Hukum warga, S Husain mengatakan, langkah selanjutnya akan menjalani sidang saksi. Ia menambahkan, beberapa saksi yang mengerti sejarah tanah sengketa telah dipersiapkan. “Saksi-saksi telah dipersiapkan untuk menyatakan bahwa tanah tersebut merupakan tanah milik Dinas Pengairan bukan milik perorangan,” imbuhnya.
Terpisah, penasehat hukum penggugat, Prayuda Rudi Nurcahya mengatakan bahwa apa yang pihaknya lakukan sudah sesuai dengan hukum acara perdata. Ia juga mengaku geli karena baru kali ini menangani perkara yang lawan perkaranya dirasa tidak memahami hukum acara perdata.
“Saya bukan langsung menjurus pada pihak-pihak manapun. Tapi lebih kepada siapapun yang menyampaikan seperti itu, minta tolong bukunya jangan buku anak TK sama anak SD yang dibaca, tapi buku acara yang dibaca kalau mau beracara. Kalau bukunya anak SD ya tidak cocok” ucapnya, via seluler.
Hasan Sanah berharap agar pengadilan segera menyelesaikan kasus ini, dan menggagalkan pengakuan sertifikat kepemilikan tanah tersebut oleh Hakimuddin. “Jika sertifikat tidak digagalkan, Hakimuddin akan terus seperti ini, kita akan terus ditakut-takuti oleh dia”, tegas lelaki yang memiliki 3 anak itu.