Gagapnya Demokrasi Kampus: Direpresi Pasca Pelaporan Rektor atas Dugaan Korupsi

Rabu, 18 November 2020 - 12:28
Bagikan :
Gagapnya Demokrasi Kampus: Direpresi Pasca Pelaporan Rektor atas Dugaan Korupsi

ALFIKR.CO, SEMARANG- Kebebasan akademik mahasiswa kembali menemui batu sandungan. Tercermin dari tindakan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) dalam merespon pelaporan salah seorang mahasiswa atas dugaan korupsi pengelolaan anggaran universitas oleh Rektor Unnes, Fathur Rokhman, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Yaitu Frans Josua Napitu, mahasiswa Fakultas Hukum Unnes yang justru diskors pihak kampus pasca melaporkan rektornya, dengan dalih “Pengembalian Pembinaan Moral Karakter Frans Josua Napitu ke Orang Tua,” sesuai dengan surat keputusan nomor T/7658/UN37.1.8/KM/2020 yang dikeluarkan oleh Dekan Fakultas Hukum Unnes pada tanggal 16 November 2020.

Publik menganggap tindakan tersebut sebagai sanksi, namun Rodiyah, Dekan FH Unnes menampik surat keputusan itu sebagai sanksi. “Ini belum merupakan sanksi. Karena pengembalian pembinaan moral karakter bukan sanksi. Saya tidak mengatakan pemutusan dan pencabutan tapi penundaan. Jadi memang masih pembinaan. Kalau sanksi nanti menunggu keputusan rektor. Setelah 6 bulan nanti ada dewan etik universitas untuk mengevaluasi lalu ada proses berikutnya,” katanya pada Kompas.com.

Sesuai salinan baleid yang didapat ALFIKR.CO, Frans Josua Napitu, diskors selama enam bulan kedepan dan akan ditinjau kembali. Surat yang ditandatangani Rodiyah itu, juga disebutkan, sebelumnya ia bersama tim pengembang karakter mahasiswa telah melakukan pembinaan akademik dan moral.

Selain karena melaporkan rektornya, Frans Josua Napitu, juga dituduh sebagai simpatisan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Menurut Rodiyah, dugaan tersebut telah lama dan Frans Josua Napitu telah mendapatkan nasehat dan peringatan berkali-kali.

“Demi menjaga marwah Unnes, maka kami memutuskan mengembalikan Frans Josua Napitu ke orang tua,” kata Rodiyah.

Terpisah, Frans Josua Napitu menilai surat keputusan yang dikeluarkan Dekan FH Unnes tidak masuk akal. Poin-poin tuduhan yang dijadikan sebagai dasar penjatuhan sanksi terhadapnya tidak berdasarkan bukti dan fakta, terlebih sanksi itu dikeluarkan pasca pelaporannya ke KPK.

Terkait dugaan bahwa Frans merupakan simpatisan Organisasi Papua Merdeka, katanya, tuduhan itu telah terbantahkan sebelumnya. Juli lalu ia telah diundang oleh Dekanat FH Unnes untuk mengklarifikasi.

“Saya menegaskan bahwa perjuangan saya bersama kawan-kawan Papua berdasar pada prinsip kemanusiaan semata. Saya berprinsip bahwa segala bentuk diskriminasi terhadap kemanusiaan adalah musuh bersama,” ucapnya.

Bila perlu, Frans menambahkan, tuduhan tersebut dibuktikan secara terbuka. “Selenggarakan debat akademik agar publik dapat mengujinya, supaya tidak menjadi fitnah dan terkesan mengalihkan isu yang sebenarnya. Sebagai lembaga pendidikan seharusnya persoalan yang ada diselesaikan secara akademis dengan menjaga tradisi keilmuan,” imbuhnya   

Kritik demi kritik terhadap berbagai kebijakan di kampusnya yang tidak berpihak pada mahasiswa telah ia lakukan sejak 2016 lalu.  Tindakan yang Ia lakukan merupakan tanggung jawab moril sebagai mahasiswa untuk mengupayakan dan memperjuangkan perbaikan atas kualitas lembaga pendidikannya.

“Namun, perjuangan dalam mewujudkan cita-cita mulia tersebut justru kerap kali mendapat hambatan dari internal kampus saya sendiri,” akunya lewat keterangan tertulis yang diterima ALFIKR.CO

Di samping itu, Frans mengaku, reprisifitas pimpinan Unnes mulai dari intimidasi, penjatuhan sanksi, hingga kriminalisasi, tidak hanya dialami oleh mahasiswa Unnes. Namun, tindakan tersebut juga terjadi pada dosen hingga jurnalis turut menjadi korban.

“Buruknya kualitas demokrasi di kampus saya bukanlah asumsi tak berdasar. Ada serangkaian peristiwa yang menunjukkan pola represif pimpinan,” ujarnya.

“Maka pemberian sanksi dan klaim bahwa saya merusak reputasi kampus karena telah melaporkan dugaan korupsi merupakan suatu tindakan pembungkaman sekaligus pengkhianatan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri,” imbuhnya.

Hal itu membuat Frans tetap berprinsip untuk berada dijalan yang benar, ia menduga bahwa tuduhan-tudahan yang ddialamakan kepadanya merupakan upaya pembungkaman suara kritis mahasiswa. Segala bentuk upaya pembungkaman terhadap nalar dan pemikiran kritis, akan ia lawan dengan bahagia.

Menurutnya, yang ia lakukan merupakan bentuk kepedulian kepada Unnes. “Saya akan melawan dengan bahagia. Upaya penyelesaian secara litigasi dan non litigasi akan saya tempuh dengan tetap fokus pada isu utama,” tandasnya.

Selain itu Frans, mengatakan pelaporan rektor Unnes sudah dikirimkan secara langsung ke kantor KPK RI pada Jumat (13/11/2020). Menurut hasil observasinya, ia menilai terdapat kejanggalan pada beberapa komponen anggaran di kampusnya.

Frans mengatakan, komponen anggaran yang dimaksud adalah keuangan yang bersumber dari mahasiswa maupun luar mahasiswa baik sebelum dan di tengah pandemi Covid-19.

Berdasarkan temuan tersebut, ia menduga bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi yang menimbulkan keresahan di kalangan mahasiswa Unnes.

“Laporan kasus dugaan korupsi Rektor (terlapor) sudah disampaikan siang tadi secara langsung ke kantor KPK RI,” jelas Frans, Jumat (13/11/2020).

Dalam laporan kasus tersebut, terdapat rincian komponen anggaran, lampiran dokumen serta data pendukung yang disampaikan secara langsung ke KPK RI untuk dikembangkan lebih lanjut sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Rektor Unnes, Fathur Rokhman mengatakan tidak mengetahui materi yang dilaporkan oleh mahasiswanya. Dia mengatakan Unnes taat asas dalam pengelolaan keuangan. “Unnes mendapatkan Predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) selama 10 tahun,” ujar dia.

Berpikir Dangkal, Demokrasi Terancam

Banyak pihak menyayangkan dan mengecam tindakan yang dilakukan terhadap Frans Josua Napitu. Salah satunya datang dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA).

Dr. Herlambang P. Wiratraman, koordinator KIKA, dalam rilis yang diterima ALFIKR.CO, sangat menyayangkan upaya pembungkaman suara kritis yang diambil melalui surat tersebut.

Padahal, sebagai insan akademik, mahasiswa berhak untuk mengekspresikan pemikiran kritisnya. “Tak terkecuali proses hukum yang ditempuhnya dengan melaporkan dugaan korupsi tersebut ke KPK sebagai instansi yang memiliki wewenang menangani. Terlebih, pelaporan tersebut dikaitkan dengan bantuan bagi kampus di masa pandemi Covid-19,” ucapnya

Selain itu, kecaman datang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Ia menilai skorsing kepada Frans Josua Napitu merupakan sikap anti-demokrasi yang ditunjukkan oleh Dekan FH Unnes.

“Di samping itu merupakan bentuk kedangkalan berpikir yang berbahaya bagi demokrasi Kampus. Laporan Frans Napitu adalah partisipasi Mahasiswa untuk mewujudkan dunia akademik yang bersih dan berintegritas. Partisipasi itu dijamin di dalam Pasal 28 C ayat (3) UUD 1945,” tulisnya dalam keterangan yang didapat ALFIKR.CO

Tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Frans merupakan tuduhan yang tak berdasar dan dibuat-buat. Menurutnya, tuduhan tersebut  berusaha mengaburkan upaya Frans dalam melaporkan Rektor.

“Unnes sebagai lembaga akademik seharusnya melindungi kemerdekaan berpikir Mahasiswa bukan justru menggunakan kekuasaan  untuk mengintimidasi kemerdekaan berpikir, mengeluarkan skorsing, bahkan sangat mungkin melakukan drop out/DO dengan alasan yang dibuat-buat,” imbuhnya.

Bahkan tindakan Dekan FH Unnes juga mendapat respon dari Wakil Ketua KPK RI, Nurul Ghufron, menyayangkan sikap Unnes yang menskors mahasiswanya karena melaporkan dugaan korupsi.  Menurut dia, melaporkan dugaan korupsi adalah kewajiban semua orang dan dilindungi oleh Undang-Undang. KPK memastikan akan menelaah laporan yang diberikan oleh Frans.

“KPK menyayangkan Rektor Unnes yang telah mengembalikan pembinaan mahasiswanya kepada orangtuanya kembali, karena yang bersangkutan telah melaporkan Rektornya ke KPK atas dugaan tindak pidana korupsi,” kata Ghufron pada Tempo.co, Senin, 16 November 2020.

Penulis
Aisyatul Azizah
Editor
Zainul Hasan R.

Tags :