Topeng Kona, Tarian Menolak Bala

Selasa, 30 Agustus 2022 - 02:31
Bagikan :
Topeng Kona, Tarian Menolak Bala
Penampilan Tari Topeng Kona

ALFIKR.ID, BONDOWOSO- Untuk bisa mencapai tempat topeng kona berasal, kami harus menempuh perjalanan kurang lebih dua setengah jam lamanya. Di sepanjang perjalanan, kami disuguhi oleh indahnya panorama lereng gunung arak-arak, hamparan sawah hijau berpetak dengan cuaca mendung menambah dinginnya pegunungan menusuk kulit membuat penat yang kami rasakan selama perjalanan mulai tak terasa.

Sesampainya di Kabupaten Bondowoso, kami melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Desa Blimbing. Kurang lebih 30 menit kami melihat patung kepala singa di atas gapura Desa Blimbing Kecamatan Klabang. Ini menandakan budaya singo ulung dan Topeng Kona begitu mengakar dan lestari di Kabupaten Bondowoso.

Topeng Kona lahir dari kearifan lokal masyarakat Desa Pesanggrahan (kini menjadi desa Blimbing) yang dibawa oleh Mbah Singo Ulung alias Bujuk Seng pada tahun 1492 dari Banyuwangi. Kesenian tersebut merupakan kesenian tari yang mengisahkan tentang Bujuk Seng, sang pembabat desa Blimbing. Topeng Kona dilaksanakan satu tahun satu kali dalam upacara adat selamatan desa pada tanggal 13 sampai 15 bulan Sya’ban (Kalender Hijriyah) atau bulen rebbe dalam sebutan masyarakat setempat.

Dari penuturan Sutikno, pemangku sekaligus penari Topeng Kona ketika ditemui di kediamannya, Juk Seng ialah seorang demang asal Kabupaten Banyuwangi yang mempunyai ajian malik rupo, dengan juk Jesiman yang berasal dari Madura. Nama asli Juk Seng tidak ada yang mengetahui secara pasti. Namun Juk Seng yang terdiri dari dua kata memiliki makna filosofi, Juk yang berarti embah dan Seng yang berarti senga artinya singa.

Saat ini, usia Topeng Kona sudah mencapai 525 tahun diturunkan secara turun temurun selama lima generasi. Sutikno menjadi pewaris Topeng Kona generasi kelima setelah Masruna sebagai penari dengan Atroyo sebagai penabuh gendang dan tiga generasi setelah keduanya wafat yakni Asis sebagai penari topeng dan Imam sebagai penabuh gendang, setelah itu ada Yandi sebagai penari dan Pantri sebagai tukang gendang, berikutnya Sinawi sebagai penari dan Lut tukang gendangnya. Begitu juga dengan pembacaan doa-doa, generasi pertama bernama juk Muhammad, yang kedua juk Denawi, ketiga mbah Masnaj, dan setelah itu pak Sutikno.

Sutikno saat memperagakan tarian Topeng Kona di rumahnya.

Sebulan sebelum pelaksanaan, warga berkumpul di kantor desa untuk bermusyawarah. Pada tanggal 15 sebelum bulan Sya’ban diadakan sholawatan dan pengajian yang biasa disebut “atangngi” oleh warga, juga lengkap dengan tarian-tariannya. Topeng kona dimulai pada tanggal 13 Sya’ban sebagai pembukaan sekaligus pengumpulan sosoklan atau hasil pertanian dari masyarakat setempat untuk dimasak sebagai sasaji, hal tersebut merupakan rangkaian dari ritual upacara adat yang harus terpenuhi.

Selanjutnya, pada tanggal 14 Sya’ban warga mulai memasak sosoklan di dapur umum untuk dijadikan makanan dan minuman berupa nasi lemak, nasi bekol, nasi rasol, kopi pahit, wedang gula dan teh. Ada kebiasaan unik yang harus dijalankan pada saat proses memasak sesaji ini yakni makanan dan minuman tidak boleh dicicipi dan siapapun yang masuk ke dalam dapur umum tidak diperbolehkan bicara. Sebab ada beberapa do’a yang harus dibacakan. Setelah proses memasak selesai, kemudian makanan diletakkan dalam wadah atau nampan yang harus sama dan tidak boleh bercampur.

Selain itu, ada hal lain yang haru dilakukan oleh sesepuh desa yakni mengambil air dengan kendi dari sumber sakral di Sumber Samut, proses pengambilan air juga disertai dengan do’a. “Apabila larangan-larangan tersebut ada yang di langgar maka, akan ada malapetaka,” tegas Sutikno meyakinkan kepada ALFIKR. Setelah semua sesajen selesai dimasak lengkap dengan kendi yang berisi air sakral, kemudian diarak ke Sanggar (Petilasan Juk Seng) dan dilaksanakan selametan sanggar dan tanian.

Pada hari terakhir, dilaksanakan bersih desa sebelum berangkat ke mata air (nangger) yang berada di Desa Karang Sengon sebuah tempat sakral yang dibangun oleh Juk Seng dan Juk Jesiman. Untuk mengumpulkan masyarakat diadakan tarian pengikat yaitu tarian Singo Ulung. Setelah semua masyarakat berkumpul, kemudian iring-iringan menuju ke nangger (tempat khusus) untuk melakukan selametan. Berbagai macam sesaji harus terhidang lengkap.

Selametan dimulai dengan berdoa dan melakukan larungan atau muang sangkal (tolak bala). Setelah itu diadakan tari-tarian. Pertama tarian Topeng Kona  diiringi pas-kapasan. Kedua memulai tarian Singo Ulung. Dan yang ketiga tarian Tandek Binik (meniru gerakan gemulai perempuan), tarian yang menggambarkan istri dari Juk Seng yang memegang cemong berisi pena’an (pinang, sirih dan kapur dihaluskan kemudian dicampur). Selesai tarian tersebut, berjalan dari makam Juk Singo Ulung menuju perempatan jalan masuk Desa Blimbing untuk mengikuti perlombaan sebagai bentuk memeriahkan acara. Di antara perlombaan itu ada lari karung, tarik tambang dan panjat pinang. Tak ketinggalan juga tari Ojung, menjadi salah satu yang paling menyedot perhatian para penonton yang hadir.

Tak luput dari pengaruh perkembangan zaman, Topeng Kona mulai meluas dan perlahan-lahan mengalami perubahan, mulai dari gerakan tari, baju tari, alat musik, koreografi dan pola (gerakan) lantai. Seperti halnya tiruannya, Topeng Kona di Sanggar Padepokan Gema Buana di Kecamatan Prajekan yang sudah  berkembang bebas.

Sehingga terjebak pada formalitas atau lebih bersifat sebagai tari pertunjukan yang biasanya manggung kalau diundang masyarakat setempat yang tengah melaksanakan hajatan, tanpa melakukan ritual khusus dan tanpa macam-macam sesaji yang harus disediakan. Tik panggilan akrab Sutikno, Sebagai pemangku adat tarian Topeng Kona tidak mempersoalkan apabila tarian Topeng Kona ditampilkan oleh orang lain asalkan tahu persis gerakan gerakannya.

Lebih jauh Tik menegaskan, nilai mistis Topeng Kona merupakan nilai mistik yang tak boleh dihilangkan, karena Topeng Kona ada dan telah dilaksanakan secara turun-temurun. Melaksanakan tarian Topeng Konah sama halnya dengan meminta restu kepada buyut. 

“Kekekalan Topeng Kona terletak dalam lipat sampur dan tete bhetang. Itu di alam sijid inggil-nya berarti meminta restu sama yang di atas atau disebut muang sangkal (tolak bala),” tambah Tik.

Diceritakan Tik bahwa beberapa tahun lalu, ketika upacara adat bersih desa tidak dilaksanakan terjadi kekacauan yang tidak terduga, cuaca tak menentu, banyak pertengkaran antar warga, kebakaran tanpa sebab, dan datangnya angin puting beliung. Bersamaan dengan itu muncul dua burung elang yang seperti mengiringi peristiwa tersebut. Anehnya sesampainya di asta (makan) Juk Singo Ulung, puting beliung itu tiba-tiba lenyap seketika.

Untuk Topeng Kona sendiri ciri khasnya memakai topeng dengan dominasi warna putih yang melambangkan kesucian, baju penari berwarna merah melambangkan keberanian. Selain ada topeng, juga ada mahkota juga yang dipasang di kepala sebagai perlambang cita-cita tinggi dan ilmu yang bermanfaat bagi sesama manusia.

Sambil mengingat-ingat, pak tikno mengatakan, “Konon Raden Bagus Astra atau lebih di kenal dengan sebutan Ki Ronggo. Tokoh Pembabat tanah Bondowoso. masih lebih muda usianya dari pada juk Singo Ulung, pembabat desa blimbing,” ungkapnya menutup wawancara.

Sumber: Majalah ALFIKR edisi 31, Nopember-April 2018

Penulis: Syarif Hidayatullah, Baidawi

Penulis
ALFIKR
Editor
Adi Purnomo S

Tags :