September 38 Tahun Silam, Tanjung Priok Berdarah.
Sabtu, 03 September 2022 - 20:26alfikr.id, Probolinggo - Di bulan September pelbagai tragedi kemanusiaan terjadi di Indonesia. Tager September Hitam acapkali meramaikan media sosial. Daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia tersebar saban September tiba.
12 September 1984 silam, menjadi kelabu bagi Muslim Tanjung Priok, Jakarta Utara. Peristiwa 38 tahun silam itu kian menambah daftar panjang dalam sejarah kemanusian. Pelanggaran HAM itu hingga kini belum jua jelas juntrungnya.
Tragedi dan peristiwa kelam yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru (Orba) ini menimbulkan banyak korban jiwa. Kekerasan dan tindakan keji aparat, musababnya. Pertumpahan darah itu melibatkan massa Islam dan pemerintah Orba. Tragedi itu berawal dari kebijakan asas tunggal Pancasila ala Soeharto.
Dilansir dari Tempo.co, seorang tokoh masyarakat sekaligus ulama di Tanjung Priok, Abdul Qadir Djaelani dihukum 18 tahun penjara oleh Pemerintah Orba. Ia mengungkapkan, kejadian itu bermula ketika aparat memasuki tempat ibadah tanpa melepas lars-nya. Selain itu, aparat juga mencopot pamflet-pamflet yang dianggap berisi ujaran kebencian terhadap pemerintah.
Pertengkaran beberapa jamaah dengan tentara pun tak terelakkan. Walaupun sempat mereda, kerusuhan tiba-tiba kembali ricuh ketika seorang warga membakar motor milik tentara. Buntutnya, aparat menangkap empat orang yang diduga sebagai provokator. Para jamaah meminta bantuan Amir Biki, tokoh masyarakat di daerah itu, pada 11 September 1984.
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat bahwa Amir Biki merespon permintaan jamaah agar Kodim melepaskan empat orang tersebut. Namun, permintaan Amir tidak diindahkan oleh aparat. Amir Biki merasa dipermainkan. Akhirnya, Amir Biki mencoba mengumpulkan ulama-ulama dan para tokoh agama untuk melakukan protes terhadap kinerja para aparat tersebut. Amir juga mengundang pelbagai forum umat Islam yang berlokasi di Jakarta.
Tragedi hitam itu pecah saat 1.500 orang bergerak menuju Polres Tanjung Priok dan juga ke Kodim yang hanya berjarak 200 meter dari Polres pada Pagi 12 September 1984. Ketika massa sedang berjalan ke tempat tersebut, mereka disambut oleh butiran-butiran peluru yang keluar dari senapan otomatis aparat.
Kejadian itu mengakibatkan banyak massa bergelimpangan dan berlari ke sana kemari mencari aman. Selain itu, aksi ini juga memakan korban jiwa dan ratusan orang yang terluka. Berdasarkan temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dimuat dalam kontras, setidaknya sebanyak 79 orang menjadi korban, 55 orang mengalami luka-luka dan 23 orang dinyatakan meninggal dunia.
Sementara itu, puluhan orang ditangkap dan ditahan tanpa melalui proses hukum yang jelas serta beberapa orang dalam aksi tersebut dinyatakan hilang.