Nestapa Transportasi Publik di Tengah Kenaikan BBM, Remuk Tanpa Keberpihakan
Sabtu, 17 September 2022 - 03:45alfikr.id, Surabaya- “Aktifitas pekerjaan saya menggunakan Bus. Jelas saya harus nyari tambahan pendapatan uang lagi.” Demikian keluhan Syarif Hidayatullah, salah seorang pekerja lepas asal Pamekasan, Madura. Pria yang akrab disapa Syarif itu biasa melakukan perjalanan dengan rute Pamekasan-Jember.
Sedari mahasiswa, dia akrab dengan transportasi umum yang menggunakan solar bersubsidi. Saban hendak bepergian jauh, Syarif memilih menggunakan transportasi umum. Dia menuturkan selain karena mampu mengatasi kemacetan, ongkos bus ramah di kantong.
Namun kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi, pada Sabtu (03/09/2022) lalu memaksa Syarif untuk memutar otak. Hidup di perantauan, Syarif sangat merasakan efek domino dari kebijakan tersebut. Mulai dari kebutuhan pokok hingga ongkos tarif bus.
Saat diwawancarai alfikr.id dia hendak pulang ke Pamekasan, Madura. Dia berangkat dari terminal Tawang Alun Jember menggunakan bus patas sampai di terminal Bungurasih Sidoarjo. Kemudian dia berpindah bus ekonomi jurusan Probolinggo-Surabaya. Dan rute Surabaya-Pamekasan ia nikmati dengan bus Akas NR.
Syarif mengaku perjalanan sejauh 313.9 km itu menghabiskan uang sebesar Rp185.000. “Jember-Surabaya, patas Rp120.000. Surabaya-Pamekasan, ekonomi, Rp65.000,” akunya. Sebelumnya ongkos bus patas dari Jember ke Surabaya Rp100.000. Sedangkan bus ekonomi jurusan Surabaya-Pamekasan sekitar Rp48.000.
“Anggaplah naik Rp20.000. Kalau bolak-balik dikali Rp20.000 sama dengan remuk,” ujar Syarif sembari tertawa.
Keluh kesah dampak kenaikan BBM juga dirasakan Suparmo, sopir bus antarprovinsi. Dia mengatakan penurunan jumlah penumpang mencapai 50 persen. Biasanya penumpang yang biasa ia bawa sekitar 25-30 orang.
“Kini turun jadi 10 paling banyak 15 orang dari Terminal Tawangalun,” kata Suparmo di Terminal Tawangalun, Kamis (15/9/2022) sore, seperti dikutip Faktualnews.com.
Padahal, dia mengatakan perusahaannya memasang target 30 orang setiap kali berangkat. Kondisi itu membuat Suparmo kesulitan memenuhi target yang diharapkan.
“Kami ditarget setiap hari harus ada penumpang. Kami juga ditarget waktu tempuh. (Itu sebabnya, red) Tidak bisa sembarangan untuk berhenti di terminal yang dilewati hanya untuk cari penumpang,” katanya.
Suparmo mengaku terpaksa menaikkan ongkos tiket. Sopir bus jurusan Jember-Cilacap itu mengatakan kenaikan ongkos sekitar 20 persen. “Yang sebelumnya Rp 240 ribu, sekarang Rp 295 ribu. Jadi ada selisih Rp 50 ribu,” imbuhnya.
Ongkos Naik Karena Harga BBM
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Organisasi Angkutan Darat (Organda) Jawa Timur, Firmansyah Mustafa membenarkan adanya kenaikan tarif di lapangan. Ia menyebutkan kenaikan itu dampak dari kenaikan harga BBM yang ditetapkan oleh pemerintah.
”Karena bagaimanapun, BBM itu masuk biaya langsung. Jika harga BBM naik, otomatis tarif mengikuti,” kata Firman kepada jawapos.com. Besaran kenaikan tarif yang diserahkan Organda Jatim adalah 30 persen.
Firman menerangkan, angka itu tidak hanya mempertimbangkan kenaikan harga BBM. Tapi juga melihat gaji karyawan, kru, harga onderdil bus, serta oil yang ikut naik. ’’Ada komposisi perhitungannya sendiri,’’ terangnya.
Kenaikan tarif bus, Firman mengklaim, tidak akan memberatkan masyarakat. Menurutnya selisih kenaikan tidak terlalu jauh. Di samping itu, ia mengatakan, kenaikan tarif yang diatur Organda Jatim hanya bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) ekonomi.
“Sebetulnya PO sudah diizinkan untuk menyesuaikan tarif. Hanya, belum ada aturan secara resmi,” ucapnya.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) resmi mengumumkan penyesuaian terhadap tarif Bus AKAP Kelas Ekonomi, pada Rabu (7/9/2022). Dalam konferensi pers, Hendro Sugiatno Direktur Jenderal Perhubungan Darat mengatakan sejak tahun 2016 belum ada kenaikan tarif bus AKAP Kelas Ekonomi. Sehingga dengan adanya kenaikan harga BBM, katanya, maka perlu ada kenaikan tarif bus AKAP Kelas Ekonomi.
“Tarif dasar untuk 2022 sebesar Rp159 per penumpang per kilometer. Ada kenaikan dari tarif dasar tahun 2016 yang hanya Rp119 per penumpang per kilometer,” katanya.
Untuk Wilayah I (Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara) berlaku Tarif Batas Atas Rp207 per penumpang-kilometer, Tarif Batas Bawah Rp128 per penumpang-kilometer. Sementara Wilayah II (Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur) berlaku Tarif Batas Atas Rp227 per penumpang-kilometer dan Tarif Batas Bawah Rp142 per penumpang-kilometer.
Namun, Ketua Harian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jatim, Bambang Haryo Soekartono mestinya kenaikan harga BBM subsidi tidak menyasar transportasi publik. Ia menilai kenaikan harga BBM kepada transportasi publik, otomatis akan berdampak terhadap tarif.
“Kasihan penumpang harus membayar lebih, kasihan juga pengelola bus karena pemasukan berkurang karena penumpang menurun. Semoga bisa segera ada solusi tepat untuk menangani transportasi publik ini, katanya kepada wartawan di kantornya, Rabu (7/9/2022).
Tak Ada Keberpihakan kepada Transportasi Publik
Neli Triana, Jurnalis Harian Kompas, dalam catatannya di rubrik Catatan Urban pada Sabtu, (10/09/2022) menegaskan bahwa kebijakan pemerintah belum berpihak pada pembangunan sistem transportasi publik perkotaan. Kenaikan harga BBM pun tidak sekaligus untuk menggenjot pembangunan angkutan umum dan ramah lingkungan.
“Kurangnya keberpihakan pada angkutan umum juga terlihat dalam kebijakan penanganan dampak inflasi akibat kenaikan harga BBM,” tulisnya.
Dia mengatakan pemerintah menyiapkan Rp 24,17 triliun yang terbagi dalam bantuan langsung tunai senilai Rp 12,4 triliun untuk 20,65 penerima, bantuan subsidi upah Rp 9,6 triliun bagi pekerja dengan gaji maksimal Rp 3,5 juta per bulan untuk 16 juta penerima, serta Rp 2,17 triliun berupa dukungan pemda dari 2 persen dana alokasi umum atau dana bagi hasil (DAU/DBH).
Untuk mengatur dukungan Pemda, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib dalam rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022. Dalam Pasal 2 disebutkan, daerah menganggarkan belanja wajib perlindungan sosial pada Oktober-Desember tahun ini.
Neli menerangkan belanja wajib yang dimaksud antara lain, pemberian bantuan sosial termasuk kepada tukang ojek, usaha mikro, kecil, dan menengah, serta nelayan. Selain itu, bisa juga untuk penciptaan lapangan kerja dan/atau pemberian subsidi sektor transportasi angkutan umum di daerah. Dari peraturan itu, kata Neli, subsidi angkutan umum hanyalah salah satu opsi bantuan dari sebagian kecil wewenang pemda.
“Jika pemda tidak merasa transportasi publik itu penting, tentu akan dikeluarkan dari sasaran penerima. Dengan hanya 2 persen dari DAU/DBH, realisasi besaran bantuan juga berbeda-beda di tiap daerah sehingga belum tentu mampu memenuhi kebutuhan yang muncul, termasuk untuk subsidi angkutan umum,” tegasnya.
Di sisi lain, Neli melihat, pemerintah Indonesia memilih berpikir sederhana dengan menyubsidi angkutan umum seadanya. Ekonomi terbukti terus berputar, lanjutnya, dengan jutaan orang yang harus tetap berburu BBM agar sepeda motor dan mobilnya dapat melaju meskipun sembari bermacet-macet ria.
“Lagi pula bansos-bansos lain masih lancar dikucurkan. Tak perlu susah payah berpikir, membedah, lalu mengalihkan anggaran untuk pembangunan angkutan umum,” tegas Neli.