Refleksi Hari Tani: Cerita Krisis Iklim dari Petani Tembakau Paiton dan Ilusi Harga Mahal

Jum'at, 30 September 2022 - 12:31
Bagikan :
Refleksi Hari Tani: Cerita Krisis Iklim dari Petani Tembakau Paiton dan Ilusi Harga Mahal
Jumainah, petani asal Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, lincah nampangé (menata rajangan tembakau di bidhik), Sabtu (24/09/2022). [Foto: alfikr.id/Abdul Razak]

alfikr.id, Probolinggo - Di sebuah halaman seluas setengah lapangan sepak bola itu, bidhik-bidhik (tempat menjemur tembakau) berjejer rapi. Kedua tangan Jumainah, petani asal Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, lincah nampangé (menata rajangan tembakau di bidhik). Di sela pekerjaannya, ibu beranak dua itu mengeluhkan penurunan takaran penjemuran tembakau. 

“Kalau dulu biasanya satu bidhik bisa mencapai satu kilo bahkan lebih, tapi sekarang sudah tidak sampai satu kilo. Panas itu kan tidak menentu, jadi takarannya dikurangi, lebih tipis agar cepat kering tembakaunya,” ungkap Jumainah saat ditemui alfikr.id, Sabtu (24/09/2022).  

Anomali cuaca akibat krisis iklim nyata dirasakan oleh petani tembakau. Apa yang dialami Jumainah hanya satu dari sekian banyak dampak yang terus dihadapi petani daun emas itu. Wahid Zaini, petani muda asal Desa Sambirampak Lor, Kecamatan Kotaanyar, Kabupaten Probolinggo mengisahkan bahwa cuaca yang tak lagi bisa diprediksi mengakibatkan kualitas pertumbuhan tanaman tembakau menurun. 

“Sekarang itu satu pohon daunnya sekitar sepuluh sampai dua belas, kalau dulu bisa sampai dua puluh,” ucap Wahid Zaini salah satu petani tembakau asal Sambirampak Lor, Kecamatan Kotaanyar, Kabupaten Probolinggo.

Di samping itu, Muntasil Billah, Petani muda asal Desa Jatiurip, Kecamatan Krejengan, Kabupaten Probolinggo mengungkapkan bahwa anomali cuaca juga membuat banyak bibit tembakau mati. Dia menyebutkan petani kesulitan mencari bibit tembakau dan sekalipun ada harganya melonjak mahal. Dalam seribu bibit tembakau seharga Rp80.000. 

“Makanya sekarang tembakau itu mahal. Selain karena banyak petani yang nggak tanam tembakau, juga karena bibitnya mahal. Karena bibit banyak yang mati kena hujan,” ujar Muntasir. Dia mengungkapkan harga tembakau paling murah sebesar Rp30.000 sedangkan paling mahal Rp50.000. Kondisi itu jauh dibanding tahun 2021. 

Kecamatan Kotaanyar dikenal memiliki kualitas tembakau terbaik di Kabupaten Probolinggo.  Hanya saja dalam beberapa tahun terakhir kualitas tembakau Kotaanyar mengalami penurunan. Salah satunya disebabkan oleh cuaca yang susah diprediksi. Petani di kecamatan Kotaanyar biasanya mulai menanam tembakau di bulan Mei-September. Bulan-bulan tersebut merupakan musim kemarau. Namun kini cuaca itu sudah tidak bisa ditebak.

Abd Rozak, Petani desa Sambirampak Kidul, Kecamatan Kotaanyar, Kabupaten Probolinggo mengatakan dulu hujan sangat jarang. Namun, hari ini meski tidak ada hujan, cuaca malah mendung. Padahal tembakau memerlukan panas matahari untuk menghasilkan kualitas yang bagus. Pasalnya ketika hujan turun, justru mempengaruhi kualitas tembakau. 

“Biasanya bulan 8 itu masih panas. Sekarang susah ditebak,” ungkapnya. Untuk mengantisipasi anomali cuaca itu, yang dilakukan Rozak sama dengan Jumainah, yakni menyiasati tembakau yang diletakkan di bidhik (tempat penjemuran) tipis-tipis agar cepat kering. 

Penjemuran itu biasanya dilakukan seharian. Namun bila mendung atau hujan, maka tembakau kering tak maksimal. Dia melanjutkan, kondisi itu berimbas pada kualitas tembakau yang tidak sebagus dulu, baik tekstur, aroma dan berat hasil panen. 

Tekstur tembakau saat ini, kata Rozak, ketika dipegang tidak selembut dulu. Sedangkan aroma tembakau Kotaanyar pun menurun. Di samping itu, berat tembakau hasil panen petani berkurang drastic. Perubahan itu terjadi di kurun waktu 10-15 tahun terakhir. 

Biasanya dalam 1000 pohon tembakau mampu menghasilkan seberat 1 kuintal 30 kilo. Kini petani dipaksa puas dengan hasil panen 70 kg. Rozak mengaku dalam waktu 2020-2021 saja, tonase tembakau hasil panennya berkurang sebanyak 20 kilogram. Keadaan tersebut kian diperparah oleh permainan harga tengkulak tembakau. 

Wahid menilai di tahun 2022 harga tembakau memang melonjak mahal. Kondisi itu disebabkan karena banyak petani yang tak menanam tembakau dan beralih menanam jagung. Pemuda berusia 24 tahun itu menyebutkan bahwa petani trauma dengan kondisi cuaca dan harga di tahun 2021. “Sekarang yang nanam tembakau sedikit, makanya mahal,” ucapnya.

Tembakau yang siap dirajang. [Foto: alfikr.id/Abdul Razak]

Ilusi Harga Mahal Tembakau dan Dampak Krisis Iklim

Ketua Asosiasi Petani Kabupaten Probolinggo (ASPEKPRO), Mudzakkir menyebutkan bahwa krisis iklim sangat merugikan para petani. Tembakau petani, dia melanjutkan, tak sedikit yang gagal panen. Secara kualitas pun menurun. Dia mengilustrasikan dampak nyata dari anomali cuaca, petani yang biasanya mampu menghasilkan satu kuintal tembakau turun drastis menjadi 25 kg. 

Imbasnya, Mudzakkir menerangkan bahwa petani banyak yang tak lagi menanam tembakau. Di samping itu, petani yang menanam tembakau hasil panennya cenderung menurun. Itu sebabnya, dia menilai bahwa mahalnya harga tembakau itu merupakan salah satu bentuk dari hukum ekonomi, yakni supply and demand (penawaran dan permintaan).

Mudzakir menegaskan bahwa harga mahal tembakau itu tak membuat petani sejahtera. Jika dibandingkan dengan biaya produksi, kata Mudzakkir, harga Rp50.000 bukanlah keuntungan yang besar. Selain harga bibit yang mahal, Mudzakkir juga menyoroti persoalan klasik petani tembakau, yakni pupuk.  “Sama saja harga pupuk juga mahal dan sulit dicari,” katanya. 

Sebagaimana diketahui, dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian, subsidi tiga jenis pupuk yakni ZA, SP-26, dan organik telah dicabut. Padahal pupuk tersebut sangat dibutuhkan oleh petani tembakau.  

Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo mencatat luas area tanam tembakau jenis Voor Oost (Paiton VO) itu menurun drastis, yakni 6.883 hektar. Sedangkan tahun 2021, seluas 9.700 hektar. Anomali cuaca, harga pupuk yang mahal, dan beralih ke tanaman lain, menjadi salah satu musabab berkurangnya lahan tembakau. 

Wahyu Eka Setiawan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur (Jatim) mengamini, jika krisis iklim berdampak serius terhadap petani. Temuan WALHI menyebutkan, lanjutnya, kondisi pertanian di Jatim tidak maksimal karena petani bergantung pada iklim. Ketidak maksimalan itu, disebabkan karena prediksi cuaca tidak menentu. 

Padahal tembakau merupakan jenis tanaman yang cenderung kering dan tak membutuhkan banyak air. Kelebihan kadar air, kata Wahyu, akan mempengaruhi kualitas tanamanan tembakau, yakni salah satunya daun mudah terserang hama dan busuk. Anomali cuaca menjadi salah satu kesulitan yang dialami petani dan mempengaruhi produktivitas hasil panen. 

“Tentu ini menjadi masalah. Artinya mereka tidak bisa memprediksi kapan harusnya tanam tembakau, kapan tembakaunya akan maksimal. Ternyata hujan terus dan tidak bisa diprediksi. Kadang hujan kadang panas. Ini kan berpengaruh pada ketahanan tanamannya,” terangnya.

Permasalahan yang dialami petani tembakau seharusnya tak disikapi main-main oleh pemerintah. Mudzakir menyayangkan sikap pemerintah Kabupaten Probolinggo yang tidak hadir memberikan solusi terhadap permasalahan petani tembakau.

“Mereka tidak hadir sama sekali,” tegas mantan Ketua Aliansi Petani Indonesia itu.

Wahyu menilai kebijakan pemerintah mesti mampu melihat lebih dalam akar masalah dari krisis iklim. Namun dia tak melihat komitmen pemerintah terkait transisi energi, terutama dari energi fosil yang berasal dari batu bara baik hulu maupun hilir. Padahal, batu bara merupakan penyumbang emisi karbon.

“Ternyata belum ada transisi energi yang benar-benar signifikan begitu,” tegasnya.

Penulis
Abdul Razak
Editor
Adi Purnomo S

Tags :