Bagaimana Aturan Polisi Menggunaan Gas Air Mata?
Minggu, 02 Oktober 2022 - 16:53alfikr.id, Probolinggo-Kematian ratusan supporter Arema FC menjadi tragedi
kemanusian yang memilukan. Banyak pihak menganggap tindakan aparat kepolisian
yang menggunakan gas air mata di dalam Stadion Kanjuruhan menjadi musababnya. Penggunaan
gas air mata yang dilarang oleh FIFA dalam penanganan kerusuhan akhirnya
berbuntut korban jiwa.
Saat para pendukung terkonsentrasi di satu titik, mereka
banyak yang mengalami sesak napas dan kekurangan oksigen. Satu per satu korban
bertumbangan dan meregang nyawa. Sebenarnya bagaimana aturan penggunaan gas air
mata sebagai penggunaan kekuatan di institusi kepolisian?
Aturan penggunaan gas air mata Penggunaan gas air mata oleh
anggota kepolisian diatur melalui Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Pada Pasal 5 disebutkan mengenai
enam tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.
Tahapan tersebut pada Pasal 5 ayat (1) disebutkan terdiri
dari:
1. Tahap 1: Kekuatan yang memiliki dampak
deterrent/pencegahan;
2. Tahap 2: Perintah lisan;
3. Tahap 3: Kendali tangan kosong lunak;
4. Tahap 4: Kendali tangan kosong keras;
5. Tahap 5: Kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain
gas air mata, semprotan cabe ,atau alat lain sesuai standar Polri;
6. Tahap 6: Kendali dengan menggunakan senjata api atau alat
lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka,
yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota
masyarakat.
Dari ke enam tahapan kekuatan tindakan kepolisian ini,
pelaksanaannya memiliki ketentuan yang diatur pada Pasal 5 ayat (2). Di
dalamnya memuat ketentuan: "Anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan
kekuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai tingkatan bahaya ancaman
dari pelaku kejahatan atau tersangka dengan memperhatikan prinsip-prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3."
Dengan demikian, pada kasus pemakaian gas air mata, anggota
kepolisian tidak serta merta boleh melepaskannya. Aparat mesti menimbang dahulu
sebelum menentukan tahapan penggunaan kekuatan terhadap bahaya ancaman yang
dihadapi dari ulah pelaku kejahatan.
Pertimbangan tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip
penggunaan kekuatan tindakan kepolisian yang diatur di Pasal 3 meliputi:
a. Legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian
harus sesuaidengan hukum yang berlaku;
b. Nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat
dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan
situasi yang dihadapi;
c. Proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan
harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat
kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan
kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan;
d. Kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota Polri diberi
kewenangan untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaian sendiri,
untuk menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum;
e. Preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian
mengutamakan pencegahan;
f. Masuk akal (reasonable), yang berarti bahwa tindakan
kepolisian diambil dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi
dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya
terhadap masyarakat.
<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
<!--[endif]-->