Fungsi Ganda Polisi; Pasukan Keamanan dan Instrumen Politik
Rabu, 05 Oktober 2022 - 22:15alfikr.id, Probolinggo- Aulia Rahman Maksum bersama enam temannya tak melewatkan big match Arema Vs
Persebaya, Sabtu (01/10/2022). Dia bersama teman-temannya membeli tiket dan
duduk di tribun 14. Sepanjang pertandingan, tidak ada kejadian apa pun.
Perkelahian antar suporter pun
tak ada. Tak satu pun Bonek—suporter Persebaya—tak diperkenankan menonton laga.
Namun usai peluit panjang ditiup, salah seorang Aremania turun ke lapangan,
mendatangi manajemen Arema.
“Kalau saya, hanya diam di
tribun. Tapi setelah satu orang pertama turun, beberapa orang lainnya ikut,”
kata Aulia kepada BBC News Indonesia.
Sejurus kemudian, polisi dengan
membawa senjata gas air mata masuk ke lapangan. Mereka menembak ke arah
kerumunan yang ada di lapangan. Parahnya, tembakan itu juga diarahkan ke tribun
14. Padahal, tidak ada satu pun Aremania yang berusaha manjat pagar masuk ke
lapangan.
“Saya sesalkan itu, kenapa
tembakan diarahkan ke kami. Malah, orang yang berada di lapangan itu aman,”
kata Aulia.
Tribun 12 dan 14 menjadi sasaran
polisi menembakkan air mata. Tak ayal, Aremania di kedua tribun itu dikuasai
kepanikan dan berdesak-desakan ke arah pintu keluar agar selamat.
Kekerasan aparat kepolisian di
Stadion Kanjuruhan bukan hal baru yang terjadi di Indonesia. Peristiwa Mei 2019
menjadi salah satu titik balik penggunaan gas air mata oleh kepolisian. Represifitas
aparat kepolisian saat aksi demonstrasi penolakan hasil Pemilu 2019
mengakibatkan kematian, beberapa di antaranya remaja.
Pada bulan Mei tahun itu, petugas
bentrok dengan demonstran ketika protes atas pemilihan presiden berubah menjadi
kekerasan, yang mengakibatkan kematian, beberapa di antaranya melibatkan
remaja. Setahun kemudian, aksi massa penolakan beragam regulasi meledak di
banyak tempat. Di Ternate pada bulan April lalu, petugas menembakkan gas air
mata ke kerumunan demonstran mahasiswa yang damai, membuat tiga balita sakit.
Saat menghadapi demonstrasi massa, aparat kepolisian kerap menggunakan gas air mata untuk melumpuhkan massa aksi. Dilansir dari situs lpse.polri.go.id, pengadaan gas air mata dianggarkan dengan menggunakan APBN. Pada tahun ini, Polri menganggarkan total Rp160,1 miliar untuk pengadaan gas air mata berikut pelontarnya. Anggaran pengadaan gas air mata dalam lima tahun terakhir paling besar dilakukan Polri pada 2017 yang mencapai Rp327,7 miliar.
Sana Jaffrey, direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) mengatakan kekerasan kepolisian telah menjadi pola. Dia mengatakan bahwa anggaran polisi selama bertahun-tahun telah dialokasikan untuk menangani banyak demonstrasi. Jacqui Baker, Pengamat Sosial Politik, Murdoch University, Perth, Australia menegaskan keadaan itu menjadi bukti kegagalan reformasi kepolisian di Indonesia.
Dia menilai, hal itu yang menyebabkan tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan. Kepada nytimes, dia menyebutkan bahwa insiden di Stadion Kanjuruhan harus dipahami dalam konteks yang lebih luas terkait impunitas Polri.
"Ketika polisi tak bertanggung jawab atas tindakan mereka, maka akan lahir ketidakprofesionalan," kata Baker.
Menurutnya, secara struktural, di Indonesia kepolisian tidak secara langsung dihitung sebagai lembaga demokrasi yang bisa dimintai pertanggungjawabannya.
"Akuntabilitas di sini termasuk harus dimintai pertanggungjawaban, atau menjelaskan tindakan dan keputusan Anda, dan (bisa) dijatuhi hukuman jika ada kesalahan. Dengan cara demikian, ini mekanisme penataan yang amat penting dalam perilaku institusional," kata Baker.
Baker menilai reformasi di tubuh Polri tidak berjalan sesuai dengan iklim demokrasi di Indonesia. "Kegagalan reformasi kepolisian yang demokratis di Indonesia berarti polisi dan pemimpin politik terisolasi dari bentuk pertanggungjawaban publik. Dalam konteks ini, malapraktik, inkompetensi, dan pembiaran berkembang," tutur Baker.
Dia menyoroti bahwa Polri tak melakukan evaluasi tentang penggunaan gas air mata. "Sebaliknya, kita menyaksikan terjadinya peningkatan kekerasan dalam penanganan ketertiban umum selama empat hingga lima tahun belakangan," imbuhnya.
Para ahli mengatakan tragedi itu
mengungkap masalah sistemik yang dihadapi polisi, banyak di antaranya kurang
terlatih dalam pengendalian massa dan sangat militeristik. Salah satunya, Made
Supriatma, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Yusof Ishak Institute,
Singapore, menegaskan bahwa di pemerintahan Joko Widodo, Polisi memaninkan
peran penting dalam politik dan pemerintahan Indonesia. Bahkan di periode
keduanya, Jokowi memberikan konsesi politik kepada polisi.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bahwa 30 pensiunan atau jendral polisi aktif memegang posisi strategis di pemerintahan Jokowi. Ombudsman pun mencatat ada sekitar 25 polisi menjabat di perusahaan dan anak perusahaan milik negara. Bahkan ada peningkatan anggaran institusi kepolisian. Di tahun 2014 43,95 triliun dan meningkat tajam di 2022, yakni 108,44 triliun.
“Tidak berlebihan untuk
mengatakan bahwa polisi semakin memainkan fungsi ganda, baik sebagai pasukan
keamanan maupun instrumen politik,” tegas Made dalam salah satu catatannya di
eastasiaforum.org.