Maulid Nabi Muhammad: Teladan dalam Berpolitik
Jum'at, 07 Oktober 2022 - 19:58alfikr.id, Probolinggo-Maulid Nabi Muhammad SAW adalah peringatan hari
lahir Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 12 Rabiul Awal dalam penanggalan
Hijriah. Tahun ini, dalam Surat Keputusan Bersama 3 Menteri (SKB 3 Menteri)
memutuskan 12 Rabiul Awal jatuh pada 8 Oktober 2022.
Banyak tauladan Nabi Muhammad yang
dapat kita contoh dan teladani sifat luhurnya. Bukan hanya dalam melaksanakan
perintah agama. Termasuk sikap Nabi Muhammad dalam berpolitik. Sebab, di
samping sebagai pemimpin agama, beliau juga merupakan kepala negara.
Ustadz Quraish Shihab dalam salah
satu video di kanal Youtube Najwa bertajuk Shihab dan Shibab, menerangkan bahwa
dalam berpolitik, Nabi selalu mendahulukan apa yang menjadi kemaslahatan umum.
Sehingga beliau rela mengorbankan kepentingan sebagian kelompok demi kebaikan
bersama.
“Misalnya yang hidup harus didahulukan daripada yang mati, dan seterusnya. Itulah prinsip pertama dalam berpolitik seperti yang telah diajarkan oleh Nabi,” paparnya.
Prinsip kedua yang telah dipraktikkan oleh Nabi, Penulis Tafsir Al Misbah ini melanjutkan, yakni, beliau selalu mengarahkan kebijakan politik sebagai upaya untuk mempersatukan apa yang tercerai. Bahkan bila perlu Nabi berkorban secara lahiriah demi mencapai persatuan tersebut.
Beliau juga mencontohkan dari kisah
perjanjian Hudaibiyah, yakni perundingan antara kaum Muslim dan Musyrik Makkah.
Perjanjian terjadi di wilayah Hudaibiyah, salah satu daerah perbatasan antara
Yastrib (Madinah) dengan Makkah.
Dalam peristiwa tersebut, terdapat
butir-butir kesepakatan yang seolah terlihat merugikan ummat Islam. Bahkan
sampai membuat Sayyidina Umar menolak kebijakan tersebut. Namun Nabi
mengatakan: Jangan.
Kejadian tersebut bermula saat Nabi
mendikte Sayyidina Ali selaku juru tulis untuk menulis naskah perjanjian dengan
awalan Basmalah “Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha
penyayang”.
Sontak, kaum Musyrik Makkah menolak. “Bagaimana
mungkin kesepakatan tersebut diawali dengan menyebut nama Allah, Tuhan yang
tidak kami percaya?” dalih mereka. Maka Nabi memerintah untuk menuliskan, “Demi
namamu wahai Tuhan,” Nabi mengalah. Ali melanjutkan,“Ini perjanjian antara
Muhammad utusan Allah…” Lagi-lagi kaum Musyrik menolak.
“Bila kami percaya bahwa kamu adalah
seorang utusan, kami akan tunduk kepadamu sejak semula,” bantah mereka. Para
sahabat yang menyertai Nabi mulai tak tahan menyaksikan sikap kaum Musyrik.
Namun Nabi menenangkan mereka. Nabi memerintah Sayyidina Ali untuk mencoret
kata tersebut. Nabi pun mengalah lagi.
Dalam video tersebut Ustadz Quraish menjelaskan, dari
perjanjian Hudaibiyah barangkali telah menginspirasi tokoh-tokoh nasional kita
yang mengahapus 7 kata dalam Piagam Jakarta, sebagaimana Nabi juga menghapus 7
kata dalam naskah perjanjian Hudaibiyah.
“Karena itu, kita mencari kesepakatan bersama. Walaupun dengan mengalah atau mundur satu langkah demi mencapai satu tujuan yang lebih besar,” pungkas beliau.