Ekspresi Kemarahan di Stadion Kanjuruhan, Bagaimana Sejarah ACAB di Dunia Sepak Bola?
Sabtu, 08 Oktober 2022 - 18:36alfikr.id, Probolinggo-Grafiti dan poster bernada
prihatin sekaligus marah terlihat di Stadion Kanjuruhan usai peristiwa tragis
pada Sabtu (1/10/2022) lalu. Salah satu grafiti yang terlihat bertuliskan
“1312” atau “ACAB”, apa artinya? Sebelum Tragedi Kanjuruhan, kode 1312 atau
ACAB pun sudah kerap diterakan di ruang-ruang publik. Tidak hanya di Indonesia,
tetapi juga di berbagai penjuru dunia lain.
Rivalitas antar kelompok suporter
garis keras kerap mewarnai dinamika sepak bola dunia. Kehadirannya membawa dua
narasi: untung dan buntung. Keuntungannya berupa suntikan dana dan semangat.
Kerugiannya mereka melanggengkan fanatisme buta.
Kerusuhan pun terjadi. Di
situlah, pihak kepolisian ikut campur. Alih-alih dapat menyelesaikan masalah,
kehadiran polisi sering memperkeruh masalah. Kekerasan polisi terhadap suporter
jadi buktinya. Suporter yang geram pun menyuarakan: All Cops Are Bastards
(A.C.A.B).
Bukan rahasia umum bila mana
fanatisme buta dalam dunia sepak bola berbahaya. Bahkan, dapat mengundang maut.
Semua akan dilakukan demi klub kesayangannya. Fanatisme itu tak hanya diamini
oleh individu, tapi juga kelompok suporter. Tragedi Heysel, misalnya. Tragedi
itu bermula dari Liverpool (Inggris) berjumpa Juventus (Italia) di final Piala
Champions Eropa pada 29 Mei 1985.
Stadion Heysel, Belgia didaulat
jadi tempat berlaga. Masing-masing kelompok suporter dari kedua kesebelasan tak
menyia-nyiakan kesempatan untuk nonton langsung di Stadion Heysel. Tensi panas
mengiringi kedua kelompok suporter. Aksi lempar-lemparan botol jadi menu
pembuka. Kemudian, para suporter beringas. Perkelahian tak terhindarkan.
Di dalam lapangan kelompok suporter Juventus dan Liverpool bertemu. Polisi yang bertindak sebagai petugas keamanan coba meredakan amarah suporter. Mereka terdesak. Alih-alih menenangkan, polisi justru tampil beringas. Banyak di antara fans Liverpool dan Juventus yang dihajar secara brutal oleh polisi. Gas air mata, suara tembakan polisi, dan pukulan adalah yang paling dominan terlihat.
Alhasil, perkelahian itu memakan
korban jiwa: 39 orang meninggal dunia dan 600 lainnya luka-luka. Narasi yang
sama juga muncul di Argentina. Kala itu River Plate menjamu Belgrano berakhir
dengan hasil imbang 1-1, setelah sebelumnya kalah 0-2. Fans River Plate tak
kuasa menahan kesedihan klub kesayangannya terdegradasi ke Divisi B pada musim
kompetisi 2010-2011.
Kerusuhan pun pecah. Kelompok
suporter dari River Plate harus menghadapi polisi huru-hara. Polisi menghajar
suporter secara membabi buta. Yang mana, peristiwa itu menimbulkan korban jiwa.
Satu orang suporter tewas, 55 orang suporter, dan 35 polisi terluka serius.
“Penggunaan mobil water cannon,
peluru karet, dan gas air mata ternyata gagal meredam amukan suporter di dalam
Stadion El-Monumental -- kandang River. Malahan, titik bentrokan yang semula
hanya di sekitar stadion meluas ke semua penjuru distrik Nunez dan Belgrano.
Raungan ambulans dan mobil polisi bergantian terdengar di mana-mana. Asap hitam
membumbung tinggi di beberapa pusat bisnis dan perbelanjaan akibat tong sampah,
kendaraan, dan toko-toko yang dibakar serta dijarah suporter.”
“Ringkikan pasukan polisi berkuda
dan bunyi suara beberapa helikopter di atas langit Buenos Aires yang hilir
mudik mencari perusuh, membuat daerah utara kota, yang dikenal sebagai tempat
elite itu menjadi seolah-olah tempat perang,” ungkap Aqwam F. Hanifan dalam
buku Brazillian Football and Their Enemies (2014).
Dipelopori Band Punk Inggris
Kekerasan polisi dalam dunia
sepak bola bukan barang baru. Kejadian di Belgia dan Argentina jadi bukti pihak
aparat keamanan yang harusnya menjadi juru selamat, berubah bak dewa kematian.
Kelompok suporter di dunia pun menganggap musuh bebuyutan mereka yang utama
adalah polisi.
Kebencian kaum suporter akan
polisi diwujudkan dengan satu narasi. Sebuah narasi yang kerap mewakili hajat
kebencian masyarakat umum kepada polisi sejak berpuluh tahun lalu. Pesan itu
adalah All Cops Are Bastards (A.C.A.B). Artinya, semua polisi adalah
bajingan.
Saban hari kerusuhan terjadi dan
polisi bertindak sebagai keamanan, niscaya pesan A.C.A.B tersebar dimana-mana
lewat ragam medium. Dari poster hingga coretan tembok. Termasuk dalam Tragedi
Heysel dan kerusuhan fans River Plate.
Bagi mereka, kekerasan dan polisi adalah dua kata yang tak dapat dipisahkan. Kekerasan itu banyak membuat suporter bola memendam dendam kesumat kepada polisi. Sebab, musuh kelompok suporter tak melulu kelompok suporter lainnya. Musuh bebeyutan suporter yang abadi, konon adalah polisi. Dan slogan A.C.A.B mewakili kebencian mereka terhadap polisi.
Akronim itu pertama kali muncul di depan umum saat seorang jurnalis Newcastle bernama Eric Partridge menghabiskan malam di penjara pada tahun 1977. Waktu itu dia mendokumentasikan akronim ACAB yang tertulis di dinding penjara. Dia kemudian menerbitkan sebuah buku berjudul "The Dictionary of Catchphrases". Menurut dia, akronim ACAB ada sejak awal 1970-an, tapi dia mendengar arti dari ungkapan itu pada lagu di tahun 1920-an:
"Saya akan menyanyikan sebuah lagu untuk Anda, itu tidak terlalu lama: semua polisi adalah bajingan." Menurut pengetahuannya, frasa tersebut sudah ada sepanjang abad ke-20 dan telah digunakan “di antara penjahat dan penjahat profesional, setidaknya selama satu generasi sebelumnya.”
“Slogan All Cops Are Bastards
kemudian mulai booming setelah pada medio tahun 1980-an, band punk Inggris, The
4-Skins, membuat sebuah lagu dengan judul yang sama. Hingga saat ini, belum ada
penelitian resmi terkait sejarah awal mula kemunculan slogan A.C.A.B. Pun
demikian, dalam konteks situasi politik saat ini, slogan A.C.A.B tak lagi hanya dimiliki oleh barisan ultras
(suporter fanatik) yang berhaluan kiri. Para suporter sayap kanan pun juga
turut mendengungkan semangat All Cops Are Bastards.”
“Bahkan, kelompok suporter yang
berbasiskan agama pun-seperti Super Jews, kelompok ultras Ajax Amsterdam-juga
turut menyuarakan semangat A.C.A.B. Pada 7 Januari 2011, tiga suporter Ajax
didenda karena memakai t-shirt bertuliskan angka 1312, yang tak lain merupakan
kode lain dari A.C.A.B. Di Italia, makna A.C.A.B bahkan menjadi kode etik
tersendiri yang dikenal dengan istilah UItras Codex. Salah satu fungsi kode
etik itu mengatur pertempuran antar ultras tersebut agar dapat berlangsung
lebih fair dan berbudaya,” terang Edward S. Kennedy dalam buku Sepak Bola
Seribu Tafsir (2014).