Iwan Bule Menolak Mundur, Pengamat: PSSI Jangan Cuci Tangan
Sabtu, 08 Oktober 2022 - 19:31alfikr.id, Probolinggo-Pelbagai
pihak mendesak Mochammad Iriawan atau Iwan Bule mundur dari Ketua PSSI. Desakan
itu muncul imbas tragedi Kanjuruhan, termasuk desakan netizen lewat petisi
di yang dipasang di situs change.org.
Petisi onlin itu sudah ditandatangani 25.133 orang per Sabtu (8/10) pukul 18.45
siang.
"Kita juga meminta Ketua
Umum dan semua pengurus Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk
mundur dari jabatannya, sebagai bentuk hormat dan respect terhadap korban
tragedi kerusuhan Stadion Kanjuruhan, Malang dan untuk pembenahan sepakbola
secara keseluruhan," tulis Suhari Ete yang jadi penggagas petisi tersebut.
Ketika ditanya soal desakan
mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan sambil atau
Iwan Bule, menolak sambil mengucapkan salam kepada netizen. Iwan Bule,
sapaannya, pada kesempatan di Malang, Selasa (4/10/2022) bicara soal desakan
ini dan menurutnya, mundur berarti lari dari tanggung jawab.
Ia pun menolak desakan netizen yang minta ia dan pengurus PSSI mundur dari jabatannya sebagai bentuk tanggung jawab atas Tragedi Stadion Kanjuruhan. "Bentuk pertanggungjawaban saya adalah seperti sekarang (di Malang). Ini bentuk pertanggungjawaban saya sebagai Ketua Umum (PSSI)," kata Iwan Bule ketika ditemui awak media di Malang, seperti dikutip Kompas.com.
Desakan itu bukan tanpa alasan.
Pengamat dari Save our Soccer, Akmal Marhali, mengatakan PSSI selama ini telah
melakukan 'pembiaran' atas pelanggaran yang dilakukan operator kompetisi, klub
maupun panitia penyelenggara terkait aturan keselamatan dan keamanan.
Dia bahkan menyebut akibat kelalaian PSSI dan tidak tegasnya federasi menegakkan aturannya sendiri, 131 orang harus meregang nyawa. "Ini semua terjadi karena kelalaian dan tidak tegas. Makanya ke depan semua regulasi harus dijalankan dengan benar. Kalau dijalankan dengan benar tidak akan ada tragedi Kanjuruhan," sambung Akmal.
Melansir BBC Indonesia, regulasi soal keselamatan dan keamanan jalannya sebuah kompetisi profesional di Indonesia, menurut pengamat sepak bola Mohamad Kusnaeni, sebetulnya sudah dibuat pada tahun 2021 yang merujuk pada standar FIFA. Peraturan itu pun dinilai "sangat bagus" karena menjabarkan dengan rinci syarat-syarat yang harus dipenuhi panitia pelaksana dalam menggelar pertandingan yang aman dan nyaman.
Misalnya panpel wajib memastikan stadion telah diperiksa dan disertifikasi dengan Sertifikat Kelayakan yang diterbitkan oleh instansi berwenang. Serta menyiapkan rencana darurat sebagai upaya menangani insiden besar di dalam atau sekitar stadion. Kemudian di pasal 4 - 9 tercantum tugas dan tanggung jawab petugas keselamatan dan keamanan (safety and security officer).
Mulai dari melakukan penilaian
risiko pertandingan termasuk aktivitas penonton hingga memberikan masukan bagi
otoritas lokal seperti kepolisian ketika bertugas di stadion. Pasal 14 - 19
juga diatur soal stewards atau orang yang ditugaskan membantu manajemen
keselamatan dan keamanan penonton, pemain, panitia.
Ada pula kewajiban panpel,
petugas keamanan, dan polisi untuk mencegah segala bentuk tindakan provokatif
yang dilakukan penonton ke pemain atau kelompok pendukung. Total ada 58 pasal
di dalam regulasi yang ditetapkan oleh PSSI dan ditandatangani oleh Ketua
Umumnya Mochamad Iriawan.
Jika berdasarkan verifikasi
sederet aturan tersebut tidak bisa dipenuhi, menurut Kusnaeni, PT Liga
Indonesia Baru (LIB) selaku operator kompetisi bisa memutuskan untuk tidak
menggelar pertandingan. Tapi kenyataannya, selama ini dibiarkan oleh PSSI.
"Kalau bicara kompetisi
profesional, penonton tidak hanya butuh aman tapi nyaman. Misalnya stadion
masih banyak yang single seat. Toilet dan ruang ibadah tidak memenuhi syarat.
Kalau gitu mau nyaman gimana? Kalau ada apa-apa, panpel nggak tahu yang duduk
di sana siapa," ujar Kusnaeni kepada BBC News Indonesia, Kamis (06/10).
"Dan itu problemnya, selama
ini tidak pernah serius dibenahi oleh PSSI bersama operator kompetisi.
Seolah-olah ketidaklayakan itu dibiarkan tanpa upaya serius untuk melakukan
pembenahan."
Untuk urusan stadion, kata
Kusnaeni, PSSI semestinya bisa meminta klub untuk ikut berinvestasi merawat
stadion yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Tidak hanya membayar sewa. Dengan
begitu stadion di Indonesia yang berstatus tidak layak, bisa memenuhi standar.
Itu mengapa Kusnaeni berharap, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGPF) Kanjuruhan yang dibentuk pemerintah mengeluarkan rekomendasi khusus kepada PSSI dalam bentuk konkret. Sebab apa yang terjadi di Kanjuruhan bukan cuma persoalan hukum olahraga, tapi juga kemanusiaan. "Saya harap tim tidak memberikan rekomendasi yang sifatnya menyenangkan publik. Tapi lebih konkret yang membawa ke arah perbaikan."
Juru bicara PSSI, Ahmad Riyadh, menolak disalahkan atas Tragedi Stadion Kanjuruhan dan sangkaan bahwa federasi melakukan pembiaran atas pelanggaran aturan keselamatan serta keamanan. Dia mengklaim semua anggota wajib mengetahui, memahami, dan melaksanakan regulasi itu. Apalagi, katanya, dalam setiap rapat koordinasi panitia penyelenggara selalu membacakan aturan-aturan yang ada di dalamnya.
"Misalnya pada H-7 ada rapat koordinasi keamanan dan H-1 panitia pertandingan memimpin rapat koordinasi tentang pelaksanaan pertandingan esok hari. Jadi silakan saja berpendapat [PSSI melakukan pembiaran]. Tapi dilihat masing-masing pertandingan apakah itu dilaksanakan atau tidak? Tidak elok juga saling menyalahkan," dalihnya.
Jangan Cuci Tangan
Menurut Pengamat Sepakbola Tommy
Welly, insiden di Stadion Kanjuruhan memang tak lepas dari kelalaian panitia
dan kecerobohan aparat keamanan. Namun, ini bukanlah insiden biasa, melainkan
tragedi kemanusiaan dan tragedi memilukan dalam dunia sepakbola yang
mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia.
Sehingga, tidak cukup hanya
sekadar keputusan Komdis PSSI. Pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya pada
1 Oktober 2022 adalah pertandingan resmi, bukan pertandingan sepakbola liar.
PSSI mendelegasikan pelaksanaan pertandingan atau kompetisi kepada panitia pelaksana (panpel/dari Arema) dan operator pertandingan (PT Liga Indonesia Baru/LIB). Tiga lembaga ini yang semestinya bertanggung jawab menjamin keamanan dan keselamatan pertandingan atau kompetisi. “Tidak cukup hanya dengan menghukum panpel, harus ada pertanggung jawaban yang lebih. Ini bukan kasus biasa,” kata Tommy Welly kepada VOI, Rabu (5/10).
Dia khawatir dan menduga keputusan Komdis hanyalah upaya untuk melokalisasi kesalahan hanya kepada panitia pelaksana dan institusi yang lebih tinggi justru tidak mau bertanggung jawab. “Masa PSSI cuci tangan. Apakah itu hanya tanggung jawab panpel, kan tidak, tanggung jawab operator liga juga, tanggung jawab institusi PSSI juga. Kok bisa ada gas air mata,” ucapnya.
Menurut Tommy Welly, Mochamad Iriawan harus mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI. “Bahkan, tidak cuma Iwan Bule (sapaan Mochamad Iriawan), jajaran Exco PSSI juga harus mundur sebagai bentuk tanggung jawab moral dan etika.” PSSI harus bisa memberikan contoh sikap keteladanan. Tragedi Stadion Kanjuruhan secara filosofis menyimpulkan PSSI tidak bisa menyelenggarakan pertandingan dengan aman.
“Pertandingan itu di bawah PSSI
semua. Jadi, ketika ada sebuah kesalahan yang begitu fatal, dia harus punya
tanggung jawab moral, bukan cuma urusannya Panpel,” imbuhnya.