Tragedi Kanjuruhan, Koalisi Masyarakat Sipil: Terjadi Secara Sistematis

Senin, 10 Oktober 2022 - 00:54
Bagikan :
Tragedi Kanjuruhan, Koalisi Masyarakat Sipil: Terjadi Secara Sistematis
Aksi solidaritas kawan-kawan suporter untuk Aremania. [Antara]

alfikr.id, Malang-Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan temuan terkait tragedi Kanjuruhan Malang. Dalam tragedi kemanusiaan ini, ada sebanyak 131 orang meninggal dunia dan ratusan orang mengalami luka-luka. Tim menilai tragedi di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 itu merupakan kejahatan yang terjadi secara sistematis.

Kepala Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andi Muhammad Rizaldy menyatakan, hal yang pertama kali ditemukan sesuai keterangan saksi korban adalah pengerahan mobilisasi aparat keamanan. Mereka membawa gas air mata pada babak kedua.

”Pada saat itu tidak ada ancaman atau potensi gangguan keamanan. Jumlah penonton yang masuk ke lapangan itu direspons secara berlebihan oleh aparat keamanan dan mengakibatkan suporter lain ikut turun ke dalam lapangan,” jelas Andi pada acara konferensi pers Pemaparan Hasil Investigasi yang dilakukan secara digital melalui Zoom dan kanal Youtube Yayasan LBH Indonesia, Minggu (9/10/2022).

Jauhar Kurniawan, Anggota LBH Surabaya, menambahkan, berdasarkan video yang telah beredar saat ini di masyarakat dan melalui keterangan saksi dan korban secara langsung, tidak ada upaya pemberitahuan secara lisan dari petugas kepolisian ataupun penggunaan water cannon untuk mengendalikan massa.

Tetapi secara langsung tanpa peringatan menembakan gas air mata. Sehingga, tindakan tersebut membuat suporter panik dan berujung pada aksi berdesak-desakan hingga berujung kematian.

Dalam peristiwa penembakan gas air mata ini, dia melanjutkan, adanya potensi pelanggaran terhadap aturan pengendalian massa yang mana dalam tataran penggunaan gas air mata merupakan tahapan ketiga yang bisa dilakukan.

“Harus didahului dengan imbauan secara lisan, penertiban massa, penggunaan water cannon,dan baru ketika kondisi tak terkendali penggunaan gas air mata,” ucap Jauhar.

Konferensi pers Pemaparan Hasil Investigasi yang dilakukan secara digital melalui Zoom dan kanal Youtube Yayasan LBH Indonesia, Minggu (9/10/2022). [Tangkapan layar Zoom]

Padahal berdasarkan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan, Polisi harus melalui tahap-tahap tertentu sebelum mengambil tahap penembakan gas air mata.

Di samping itu, berdasarkan kesaksian para suporter, penembakan gas air mata tidak hanya ditujukan ke bagian lapangan, tetapi juga mengarah ke bagian tribun sisi selatan, timur, dan utara. 

“Sehingga hal tersebut menimbulkan kepanikan yang luar biasa bagi suporter yang berada di tribun," imbuhnya.

Pengaburan Fakta

Daywin Prayogo, tim advokasi Lokataru Foundation, mengatakan, sampai hari ini pihaknya tidak menemukan proses rekonstruksi kasus yang melibatkan korban. 

”Kita masih bertanya-tanya, sebagian saksi juga bertanya-tanya, apa yang terjadi pada keluarga mereka ataupun dirinya,” katanya.

Prayogo menyinggung soal data spesifik, utamanya terkait korban meninggal. Jika ada yang meninggal tidak wajar, polisi berhak meminta otopsi jenazah korban. Namun, sampai sekarang pihaknya belum mendapatkan jawaban terkait soal otopsi itu. 

“Bahkan, soal penyebab kematian saja koalisi belum mendapatkan informasi cukup detail mengenai apa yang terjadi,” katanya lagi.

Demikian halnya soal proses pengaburan fakta. Ada beberapa orang ”diamankan” lebih dulu terkait dengan informasi yang mereka ketahui, termasuk yang berusaha mengunggah ke media sosial. Ini dinilai bisa berdampak pada keraguan orang untuk mengungkapkan kebenaran.

Daniel Alexander Siagian dari LBH Surabaya Pos Malang menilai, tragedi Kanjuruhan merupakan dugaan kejahatan secara terstruktur, tidak hanya melibatkan pelaku lapangan. Pihaknya sudah turun ke lapangan sepekan terakhir, menginventarisasi dan berfokus pada perspektif korban. 

“Ketemu saksi mata, keluarga korban, dengan kondisi yang masih trauma. Temuan awal ini akan di-update,” katanya.

Soal proses hukum pidana yang dilakukan pada anggota polisi, menurut Andi, idealnya dilakukan oleh suatu tim independen. Proses hukum yang dilakukan polisi terhadap polisi berpotensi bias terkait fakta. Begitu pula terkait indikasi adanya intimidasi pada sejumlah saksi dan korban, hal itu berpotensi menebar ketakutan bagi saksi dan korban itu sendiri.

”Kami dorong pihak tertentu untuk menghentikan intimidasi itu karena ada berbagai fakta penting untuk diungkap ke publik. Dan, LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) harus aktif memberikan rasa aman kepada saksi dan korban,” katanya.

Soal pelaku di lapangan yang sudah menjadi tersangka, koalisi menduga ada aktor-aktor lain yang punya kewenangan lebih tinggi dalam melakukan perintah soal penggunaan gas air mata. Pasalnya, tidak mungkin aparat setingkat komandan batalyon atau kepala unit dengan berani melakukan perintah menembakkan gas air mata di dalam kerumunan banyak orang.

Penulis
Abdul Haq
Editor
Abdul Razak

Tags :