Puluhan Tahun Berkalang Takut

Minggu, 22 Januari 2023 - 22:45
Bagikan :
Puluhan  Tahun  Berkalang  Takut
Warga Pakel Banyuwangi berada posko di perjuanga. [alfikr/Andrean Dimas F]

alfikr.id, Banyuwangi- Sepulang dari berladang, Susiati, dengan menggendong buah hatinya, Siti Mukarromah, bersantai di depan rumah. Tak ada yang berbeda dengan suasana Hari Kemerdekaan kala itu. Namun, semua berubah, saat Susiati melihat dua kompi polisi turun satu persatu dari truk. Menangkap secara acak pria dewasa Pakel. “Pas di depan mata saya itu. Dihajar juga,” ucapnya. Ketakukan semakin mencekam saat Susiati ingat akan keselamatan suaminya. 

Suasana kalut. Beberapa tetangganya memilih bersembunyi di balik rumah tertutup rapat. Namun, dengan sedikit berlari, Susiati menerobos gerombolan aparat. Sembari menggandeng sang buah hati ia bergegas menyusul Harun, sang suami ke ladang. “Polisi bentak-bentak tanya Pak Harun. Itu saya gemetar,” lanjutnya. 

Tragedi yang menimpa warga Pakel masih kuat dalam ingatan Susiati. Ibu berkepala dua itu pernah hidup tanpa suami. Harun memilih kabur sekitar tiga bulan untuk menyelamatkan diri. Tak sedikit warga yang ditangkap. Bapak serta mertua Susiati pun tak luput menjadi korban penangkapan yang disertai kekerasan oleh aparat pada tanggal 17 Agustus 1999 silam. 

Kenangan pahit juga kental dalam ingatan Mulyadi, kepala desa Pakel. Ia melihat teman-temannya dilempar ke truk layaknya hewan. Injakan sepatu lars aparat sesekali mendarat di tubuh. Pondok-pondok warga di ladang dibakar. Bahkan, musala juga tak luput dibakar.“Kejadian itu melebihi tragedi 1965, aneh dan sangat ironis.” Lebih-lebih ketika warga dituduh merambah kayu jati. “Padahal pohon jati gak pernah tumbuh di wilayah Pakel,” imbuhnya.

Kekerasan yang dialami warga Pakel dalam upaya merebut haknya juga diceritakan oleh Suwarno. Ia adalah satu dari beberapa orang yang melarikan diri selama berbulan-bulan. Rumahnya digrebek. Pintunya ditendang. Barang-barang dijarah. “Ya aparat pelakunya. Ada Brimob, Polisi, Banser juga ikut.” Suwarno tak menyangka Banser ikut menangkapi warga, meski ia pernah menjadi bagian dari badan otomom Nahdlatul ulama itu “Lama kelamaan saya berhenti jadi Banser,” imbuhnya dengan sedikit kesal. 

Pria dewasa Pakel tidak hanya ditangkap. Beberapa warga juga digelandang ke dalam hutan. “Ditembak dulu warga di tengah hutan, kayak perang Aceh itu,” lanjutnya. Hal itu, diamini oleh Mulyadi, tembakan kerap kali dilesatkan pada warga. Namun, tak sedikit warga yang memiliki kanuragan. “Kalau peluru ya gak mempan. Pernah dulu ‘didoain’ beberapa kiai. Apalagi mereka yang berdiri di depan,” ujarnya.   

Kondisi itu membuat warga pakel dilema. Antara memilih menetap di Pakel lalu ditangkap dan dipenjara, atau memilih kabur namun berdampak kepada keluarga. Begitu pula Mulyadi, saat itu ia merasa tak tega meninggalkan istri sendiri. Baginya, kondisi perempuan Pakel saat itu kesulitan mendapat makanan dan imbasnya dirasakan oleh sang anak. “Banyak juga anak yang putus sekolah,” lanjutnya. 

Mariati, adalah satu dari beberapa anak yang merasakan dampak dari tragedi Agustus 1999. Di usia yang masih belia, Mariati kecil yang masih duduk di kelas satu Sekolah Dasar (SD) itu, sudah dihadapkan dengan tragedi menakutkan di desanya. ia masih mengingat jelas, ketika pintu rumahnya digedor-gedor polisi tengah malam. Seketika itu, bersama sang ibu, ia bersembunyi di belakang rumah. “Gak mikir takut hantu waktu itu,” kenangnya.

Selama tiga bulan, Mariati kecil tak menginjak tanah kelahirannya. Ia harus bersembunyi menyelamatkan diri dan terpaksa tidak naik kelas. Rumah nenek di Kecamatan Bangsring berjarak 54 KM dari desanya menjadi tempat aman Mariati kecil bersama sang ibu. Selepas kembali ke tanah Pakel, Mariati melihat rumahnya berantakan. Pintu rumah terlihat bekas didobrak. Clurit, pisau, dan beberapa benda tajam tak ada di tempat. Bahkan jejak sepatu polisi masih membekas di lantai rumahnya. 

Masa-masa itu berpengaruh pada kehidupan sang buah hati. Sosok bapak yang acapkali mewarnai hari-harinya tak lagi dirasakan. Kekerasan yang terjadi kepada sang ayah menjadi trauma sangat mendalam. Susiati melihat anaknya tak lagi bersemangat belajar dan tak sedikit anak-anak Pakel bernasib seperti Mariati.

Penangkapan pria dewasa kala itu menjadi mimpi buruk bagi perempuan Pakel. Kekejaman PT. Bumisari dan Perhutani menyisakan dampak yang serius, baik dari segi sosial, politik, dan ekonomi. Kelaparan sering mereka alami. Singkong adalah makanan yang akrab mereka konsumsi sebagai pengganjal perut. Padahal, Pakel merupakan desa yang kaya akan hasil alam. 

Dari hari ke hari, selama kurun waktu dua tahun warga pakel hidup dengan serba kekurangan. Susiati bercerita, pada tiga bulan pertama pasca tragedi mereka hanya  bisa saling bergantung satu sama lai. Menanak dan makan bersama menjadi rutinitas baru yang dilakukan. Sebagian perempuan yang ditinggal sang suami, ‘pulang’ dan menumpang hidup pada mertua. Hal itu, menurut Susiati, disebabkan minimnya nasi. Cadangan beras yang ia miliki, hanya cukup untuk sang anak. “Cuma Rom yang disuapin nasi. Gak tega saya kalau ingat itu. Ngenes,” kenangnya.

Penangkapan dan upaya menyelamatkan diri dari kejaran aparat menjadikan Desa Pakel hanya dihuni perempuan dan anak-anak. Desa yang awalnya ramai dan tentram mendadak sepi. Desa tanpa suami itu seketika dikenal dengan desa janda. Mobil angkutan umum yang jarang terlihat tiba-tiba ramai dan berhenti di depan rumah warga. “Banyak janda sekarang ey,” ucap Susiati menirukan ucapan salah satu sopir. 

Stigma desa janda yang dibangun sopir-sopir angkutan umum melahirkan ketakutan. Beberapa perempuan-perempuan Pakel memilih kabur saat melihat mobil angkutan umum berhenti di depan rumahnya.  Namun, tak sedikit perempuan yang justru melawan dan melabrak si sopir. Salah satunya, Susiati. Ia tak terima dicap janda. “Punya mulut dijaga,” ucapnya kala itu. 

Kini, 27 tahun telah berlalu, namun ingatan perempuan desa Pakel masih segar dengan tragedi pada tahun 1999. Kejadian kala itu menjadi trauma yang tak akan pernah hilang dari tanah pakel, terutama bagi kaum perempuan. Beberapa orang menolak ketika diminta untuk menceritakan kembali, sementara beberapa orang lainnya hanya bisa menjawab dengan air mata mereka.

Sumber: Majalah ALFIKR edisi 34 

Penulis: Andrean Dimas F.

Penulis
Abdul Razak
Editor
Zulfikar

Tags :