Sepenggal Cerita Petani di Balik Megahnya PLTU Paiton

Minggu, 22 Januari 2023 - 22:44
Bagikan :
Sepenggal Cerita Petani di Balik Megahnya PLTU Paiton
Sumber Foto/Republika

alfikr.id Hidup di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton membuat kehidupan warga sekitar cukup mengenaskan. Setiap hari mereka harus menghirup udara kotor. Sebab, rumah warga jaraknya tidak jauh dari PLTU. Selain itu, hasil pertaniannya pun kian menurun. Tak jarang warga mengalami kekeringan.

Dampak itu sangat dirasakan betul oleh Sutarmi, warga lokal Dusun Buaran, Desa Kotaanyar. Kecamatan Kotaanyar, Kabupaten Probolinggo. Dia berprofesi sebagai petani. Ibu berkepala tiga itu menceritakan, dulu sebelum ada PLTU dia tidak susah untuk mengalirkan air ke sawah saat menanam padi. 

Kini, Sutarmi kesulitan mendapatkan air. Sungai yang biasa mengaliri sawahnya mengalami kekeringan. Di tengah kondisi itu, saban hendak mengaliri sawah, Sutarmi harus merogoh kocek Rp200.000 yang dia bayarkan kepada lobenyuh (orang yang bertugas mengaliri air).

Tak hanya itu, ada dampak lain yang dirasakan Sutarmi. Dia bersaksi, dulu kakeknya memiliki banyak pohon kelapa yang berjejeran sawah di pekarangan rumah. Namun kini nyiur-nyiur itu sudah tidak ada. “Banyak kelapa semua di pinggiran ini, sekarang tidak ada sama sekali," kenangnya sembari menunjuk ke sebuah tempat yang dulunya pohon kelapa itu tumbuh. 

Dia tak mengerti kenapa pohon-pohon kelapa itu mati. “Tidak tau, apa karena panasnya PLTU, tidak tahu juga”, katanya. Bukan hanya kekeringan dan punahnya pohon kelapa. Perempuan kelahiran 1970-an itu mendedahkan, saat musim tanam temvakau, hasilnya tak sebagia sebalum PLTU ada. Bahkan dia mengungkapkan tak jarang daun tembakau terpapar debu batubara PLTU. 

"Ketika sudah dipanen lalu dirajang, hasilnya kotor. Jadi, debu-debu itu yang membuat hasil tembakau Dusub Buaran tidak bagus seperti dulu lagi,” ungkapnya. 

Kisah serupa juga diutarakan Slamet. Sawah Slamet tak sesubur dulu. Kekurangan air pun dia alami. Dia bermukim di Buaran sejak tahun 2007. Melihat kondisi itu, pria berusia 42 tahun itu tak tinggal diam.

Dia memutar otak mencari cara agar panennya kembali memuaskan. Slamet rela menambah biaya produksi dengan membeli obat penyubur tanaman dan meningkatkan penggunaan pupuk. 

“Ya intinya menambah biaya untuk menyamakan pendapatan yang dulu,” kata Slamet. 

Penulis
Achmad Syaifuddin
Editor
Zulfikar

Tags :