Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa, Pakar Hukum: Rawan Korupsi
Kamis, 26 Januari 2023 - 00:40Alfikr.id, Probolinggo - Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Ketua Program Studi Hukum Universitas Nurul Jadid, Paiton Probolinggo, Mushafi Miftah turut mengomentari tentang perpanjangan
masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun. Menurutnya, hal tersebut berpotensi rawan terjadinya tindakan korupsi, lantaran terlalu lama berkuasa.
Hal ini diperkuat data yang dikeluarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari tahun 2012 hingga 2021 tercatat ada 601 kasus korupsi dana desa di Indonesia, bahkan sebanyak 686 kepala desa terjerat kasus tersebut.
Mushafi—sapaan akrabnya—juga menyampaikan bahwa penambahan masa jabatan bukan sebuah solusi dalam menyelesaikan suatu masalah yang ada di desa, melainkan justru akan menambah masalah.
“Jika pergantian jabatan menjadi sembilan tahun dan kekuatan diabsolutkan, maka hal itu berpotensi melakukan korupsi,” kata Musafi saat diwawancarai ALFIKR.
Bukan hanya itu, ruang untuk melakukan penyalahgunaan wewenang (abause of power) juga akan semakin tinggi. Kata Mushafi, meskipun kita tidak boleh suudzan dalam menyikapi isu tersebut, namun perlu diketahui bahwa ruang korupsi akan semakin terbuka ketika jabatan itu diperpanjang.
Terhitung dari tanggal 17-25 Januari, ribuan Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) dan Asosiasi Kepala Desa (AKD), serta perangkat desa yang tergabung dalam Persatuan Perangkat Daerah Indonesia (PPDI) melakukan aksi demo hingga jilid tiga di depan Kantor DPR RI Senayan. Salah satu tuntutan yang dibawa adalah tentang konflik di akar rumput. Mereka menuntut agar masa jabatan ditambah menjadi sembilan tahun untuk meredam konflik tersebut.
Namun, berbeda dengan Mushafi, dia mengatakan bahwa solusinya bukan malah menambah masa jabatan. Akan tetapi mencari instrumen lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah desa untuk meredam konflik horizontal tersebut.
“Program konsolidasi pelbagai di desa juga bisa meredam konflik di akar rumput. Tergantung pada niatnya saja, jika niatnya baik dan bertujuan membangun desa, maka hal baik pula yang akan terjadi,” terangnya.
Sebenarnya problem-problem tersebut tidak terletak pada konfliknya, namun pada bagaimana para pemimpin (kepala dan perangkat desa) mencari instrument yang ideal dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Selain isu konflik horizontal, alasan kepala desa ingin menambah masa jabatan juga terletak di pembangunan. Bagi Mushafi, hal itu tidak masuk akal, karena semuanya tergantung pada integritas kepala desanya, apabila kepala desa memiliki komitmen dalam membangun secara transparan, maka akan mudah dicapai dan pasti mendapat dukungan dari masyarakat.
“Jika uang pembangunan tertutup, misalnya dana yang harus dikeluarkan pertahun tidak ada bentuk konkritnya pada desa, maka masyarakat enggan memilih. Begitu pun sebaliknya, masyarakat pasti akan tetap memilih jika dana tersebut dimanfaatkan dengan jujur untuk kepentingan desa dan masyarakat,” tegasnya.
Seyogianya, masa enam tahun sudah ideal. Bahkan bisa dikatakan terlalu panjang dalam menjabat. Terlihat ketika kepala desa yang menjabat—melakukan kewajibannya dengan baik dan jujur—akan merasa waktu enam tahun terlalu lama.
“Waktu enam tahun sudah cukup lama bagi masyarakat untuk melakukan evaluasi kinerja pemerintah desa. Apalagi ditambah menjadi sembilan tahun,” selorohnya.
Sesuai dengan yang diamanatkan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, Pasal 39 Ayat 1 berbunyi, “Kepala desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.” Sialnya, ketentuan jabatan enam tahun ini dirasa masih kurang cukup untuk menyelesaikan masalah-masalah di desa menurut kepala dan perangkat desa.
“Momentumnya ya di situ, ketika dia (kepala desa) sudah terpilih harus bisa menciptakan program-program yang baik untuk membangun desa. Jadi jangan terlalu banyak menuntut,” pungkas Mushafi.