Gempa Jayapura, Peneliti: Pemerintah Enggan, Gamang dan Tidak Serius

Rabu, 15 Februari 2023 - 15:05
Bagikan :
Gempa Jayapura, Peneliti: Pemerintah Enggan, Gamang dan Tidak Serius
Ilustrasi gempa [sumber/Tribunnews]

alfikr.id, Probolinggo- Berdasarkan letak geografis, Indonesia merupakan wilayah rawan gempa bumi karena berada di Lingkaran Api Pasifik. Pemerintah semestinya sudah siap dalam mengantisipasi serta menangani bencana yang terjadi.

Data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), jika Indonesia merupakan daerah rawan gempabumi. Pasalnya, Indonesia dilalui oleh jalur pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu: Lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik.

Lempeng Indo-Australia bergerak relatip ke arah utara dan menyusup kedalam lempeng Eurasia, sementara lempeng Pasifik bergerak relatip ke arah barat.

Namun, pemerintah selalu gagap dalam menangani tiap bencana. Teranyar, gempa bumi dengan magnitudo 5,2 mengguncang Kota Jayapura pada Kamis lalu pukul 15.28 WIT. Gempa dengan durasi sekitar 5 detik ini memicu getaran yang kuat karena cukup dangkal, berada di kedalaman 10 kilometer.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Jayapura, gempa mengakibatkan 4 warga meninggal dunia dan 18 korban luka-luka karena tertimpa reruntuhan bangunan. Para korban luka mendapat perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura, Rumah Sakit TNI Angkatan Laut dr Soedibjo Sardadi, dan Rumah Sakit TNI AD Marthen Indey.

Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah mengatakan, di Indonesia kebijakan soal bencana biasanya hanya dibahas setelah terjadi suatu bencana. Namun, setelahnya tak pernah ada pembahasan lebih lanjut untuk jangka panjang.

"Gagap dan saya melihat elite sendiri juga enggak pernah berpikir seperti itu. Yang ada hanya sekadar wacana-wacana ketika ada masalah, sekarang ada gempa muncul diomongin, kalau enggak bencana kan enggak ada yang ngomongin," kata Trubus saat kepada CNNIndonesia.com.

Meskipun, Dia menambahkan, di UU Kebencanaan sudah ada KIE (komunikasi, informasi dan edukasi). Selain itu, soal rencana pembangunan bangunan tahan gempa, Trubus menyebut hal ini juga hanya wacana belaka.

Sejauh ini, rumah tahan gempa ini hanya dibangun untuk para korban yang rumahnya rusak parah akibat bencana. Namun, belum tampak upaya pemerintah untuk mendorong secara serius pembangunan atau pengubahan konstruksi bangunan tahan gempa.

Padahal, kata Trubus, hal ini juga perlu dilakukan. Menurut dia, kebijakan pemerintah tidak tegas. "Terkait kebijakan rumah tahan gempa itu pada akhirnya juga saya melihat pemerintah itu seperti ragu-ragu, gamang, dan enggak sungguh-sungguh," katanya.

Trubus menuturkan kebijakan rumah tahan gempa bisa diimplementasikan lewat syarat dalam proses pembuatan izin mendirikan bangunan (IMB). Ia menegaskan IMB semestinya tak jadi formalitas belaka.

Segendang sepenabuhan dengan Trubus, peneliti Pusat Geoteknologi BRIN Eko Yulianto menilai, imbauan untuk membangun rumah tahan gempa di Indonesia masih bersifat normatif. Padahal, Indonesia memiliki risiko sangat tinggi terhadap bencana gempa bumi.

"Imbauan membangun rumah tahan gempa oleh pemerintah cenderung masih bersifat normatif dan sulit untuk diimplementasikan," ucap Eko.

Menurutnya, sebagian besar masyarakat Indonesia yang perlu dilindungi dari risiko gempa telah memiliki rumah, tetapi kualitasnya belum baik. Rumah yang mereka tinggali pun sangat rentan rusak bahkan roboh saat diguncang gempa.

Eko pun memahami jika masyarakat perlu bantuan untuk membuat rumah tahan gempa atau memperbaiki rumah agar lebih aman. Sebab, kondisi ekonomi warga bisa jadi tak memadai.

"Karena itu, salah satu tindakan realistis untuk melindungi masyarakat dari ancaman gempa adalah dengan mengkampanyekan hadirnya 'ruang aman' di setiap rumah atau bangunan yang dapat digunakan untuk berlindung ketika gempa melanda sehingga tetap selamat meskipun rumahnya roboh atau rusak," ujarnya.

Eko menerangkan 'ruang aman' ini dapat berupa satu ruang tidur atau kamar mandi yang diperkuat konstruksinya sehingga tidak roboh saat gempa.

Selain itu, bisa juga berupa perabot seperti meja dan tempat tidur yang diperkuat kaki-kakinya sehingga dapat dipakai untuk berlindung ketika terjadi gempa.

"Dengan demikian, meskipun bangunan rumah roboh penghuninya masih selamat sehingga korban jiwa dan luka dapat ditekan," kata dia.

Di lain sisi, Eko menyampaikan upaya mitigasi bencana oleh pemerintah kini sudah meningkat. Namun, upaya tersebut perlu dilakukan secara sistemik dan lebih masif.

Eko menuturkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat dalam upaya mitigasi bencana perlu terus didorong, utamanya oleh pemerintah daerah sebagai penanggungjawab penanggulangan bencana di wilayah masing-masing.

"Pengurangan risiko bencana perlu dijadikan modalitas pembangunan bukan saja menjadi program dan kegiatan pembangunan," kata Eko.

Belajar dari Gempa Turki

Sepasang gempa bumi dahsyat mengguncang Turki pada 6 Februari lalu, menyebabkan lebih dari 7.800 orang tewas. Banyak pula orang terluka, ada pula yang mengungsi.

Gempa pertama, dekat Gaziantep dekat perbatasan Suriah, dengan magnitudo 7,8 dan terasa hingga Inggris Raya. Guncangan kedua terjadi sembilan jam kemudian, sepertinya terjadi karena patahan yang saling bertemu, dengan magnitudo 7,5.

Runtuhnya 3.450 bangunan, menurut pemerintah Turki, juga memperbesar dampak gempa. Banyak bangunan modern yang rebah menjadi semacam kue dadar bertumpuk (pancake mode) akibat keruntuhan struktur.

Menukil dari Theconnversation, kalau banyak bangunan yang runtuh tampaknya dibangun dari beton tanpa penguatan seismik yang memadai. Ketentuan seismik bangunan di wilayah Turki, menunjukkan bangunan ini seharusnya mampu menahan gempa bumi yang kuat saat tanah bergoyang sangat cepat sebesar 30% hingga 40?ri gravitasi normal) tanpa menimbulkan kegagalan struktur.

Gempa berkekuatan 7,8 dan 7,5 tampaknya menyebabkan guncangan dalam kisaran 20 hingga 50% gravitasi. Sebagian dari bangunan ini dengan demikian gagal pada intensitas goncangan yang lebih rendah dari aturan desainnya.

Meski otoritas Turki tahu banyak bangunan tidak tahan gempa, masalah ini masih sulit dipecahkan. Banyak bangunan sudah berdiri, dan ongkos penguatan seismik mungkin mahal atau tidak diprioritaskan ketimbang tantangan sosio-ekonomi lainnya.

Namun, rekonstruksi setelah gempa memberikan peluang pendirian kembali bangunan yang lebih aman. Pada 2019, Turki mengadopsi peraturan baru untuk memastikan bangunan lebih siap menghadapi guncangan.

Penulis
Abdul Razak
Editor
Imam Sarwani

Tags :