Problematik Pluralisme dan Nahdlatul Ulama

Selasa, 28 Februari 2023 - 22:03
Bagikan :
Problematik Pluralisme dan Nahdlatul Ulama
[Istimewa]

Oleh: Dr. Amin Mudzakkir (Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional, Dosen Fakultas Islam Nusantara Unusia)

Artikel Marcus Mietzner dan Burhanuddin, The Myth of Pluralism: Nahdlatul Ulama and the Politics of Religious Tolerance in Indonesia, yang terbit dalam Contemporary Southeast Asia, Vol. 41, No. 1, 2020, cukup menghentak wacana mengenai NU. Berbeda dengan sejumlah kepustakaan yang menggadang-gadang NU sebagai promotor pluralisme, kedua penulis tersebut berpendapat sebaliknya. Menurut mereka, pada tingkat akar rumput NU sesungguhnya intoleran. 

Harus diakui pendapat mereka didukung oleh hasil survey yang meyakinkan. Membedakan antara pengikut dan anggota di dalam NU, mereka memang mengakui bahwa intoleransi yang dimaksud lebih banyak ditemukan di kalangan yang pertama dibanding yang kedua. Ketika ditanya berbagai pertanyaan terkait pluralisme, seperti sikap terhadap orang Cina-Indonesia dan keberadaan rumah ibadah agama lain di lingkungan mereka, sebagian besar jawaban menunjukkan sikap yang tidak pluralis. 

Berdasarkan data itu, kedua penulis menyimpulkan pluralisme NU adalah hanyalah mitos. Dalam kenyataannya ia hanya berkembang di sekitar elit NUdan PKB. Di luar mereka, sikap pengikut NU secara umum terhadap pluralisme sama saja dengan kelompok-kelompok Muslim lainnya. 

Tentu saja tulisan Mietzner dan Muhtadi harus dihargai. Mereka telah mengingatkan adanya jarak pemahaman mengenai pluralisme antara elit dan pengikut di tubuh NU yang teramat jauh. Ini adalah tantangan yang penting untuk dijawab baik oleh elit NU maupun siapapun yang peduli dengan pluralisme.

Akan tetapi, apa yang dimaksud pluralisme oleh kedua penulis tersebut tidak dijelaskan secara baik. Mereka mengandaikan begitu saja bahwa pluralisme adalah pemahaman yang harus diterima dan diperjuangkan. Pengandaian bahwa di balik pluralisme terdapat etik tertentu, yaitu liberalisme, tidak dipermasalahkan. Menurut hemat saya, kajian Jeremy Menchik dalam bukunya, Islam and Democracy di Indonesia: Tolerance Without Liberalism (2015), mengenai topik ini menyajikan kesimpulan yang lebih berimbang. 

Implikasi dari pengandaian begitu saja apa itu pluralisme sangat luas. Secara implisit mereka membayangkan adanya pluralisme ideal yang itu tidak ada di kalangan NU. Seolah-olah figur Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah pengecualian. Bahkan, konsepsi Islam Nusantara yang dilahirkan pasca-Gus Dur dinilai Mietzner dan Muhtadi lebih dimotivasi oleh kepentingan ekonomi-politik dalam rangka persaingan sumber daya dengan kelompok-kelompok Islam kanan. 

Memang kedua penulis tersebut lebih menekankan faktor kepentingan daripada gagasan. Ini merupakan pandangan khas ilmuwan politik modernterutama tradisi kaum behaviorisketika mengamati dinamika masyarakat religius. Kata kunci yang sering muncul adalah kompatibilitas atau kecocokan. Mengikuti kepustakaan yang suka mencari-cari hubungan antara Islam dan demokrasi, Mietzner dan Muhtadi pada dasarnya menanyakan hal yang sama: apakah praktik sosial pengikut NU cocok atau tidak dengan pluralisme sebagaimana diidealisasikan dalam filsafat Barat liberal. 

Pilihan untuk menggunakan data kuantitatif, yaitu hasil survey, adalah konsekuensi metodologis dari paradigma berpikir itu. Dalam artikel Mietzner dan Muhtadi, NU menjadi sehimpunan angka yang ditafsirkan sedemikian rupa. Pengalaman individu NU dalam memperjuangkan pluralisme akan dipandang sebagai kisah-kisah antropologis yang secara statistik kurang berarti. Akan tetapi, dalam hal ini mereka curang. Sementara melebih-lebihkan peranan mantan Rais Aam PBNU yang sekarang menjadi Wakil Presiden RI, KH Maruf Amin, sebagai tokoh antagonis, keberanian KH Ahmad Ishomuddin yang juga salah satu Rais Syuriyah PBNU pada waktu itu yang membela Ahok di pengadilan dalam kasus penistaan agama tidak dilihat sama sekali. Dinamika internal yang sangat hidup seperti ini hilang dalam penafsiran. 

Pada tataran praktis, kesimpulan kedua penulis lulusan Australian National University ini bisa mendemoralisasi perjuangan sejumlah figur NU yang selama ini bekerja sungguh-sungguh dalam menciptakan kondisi yang pluralistik. Cukup pasti mereka tidak terlalu butuh rekognisi dari para ahli, tetapi menyembunyikan kisah-kisah mereka dalam kesimpulan-kesimpulan kuantitatif berdampak pada hal yang serius: seakan-akan gagasan keagamaan adalah instrumental belaka. Menurut saya hal ini harus dihindari karena pluralisme, bahkan kalau menggunakan definisi liberal, justru memerlukan sokongan argumen yang ditimba dari agama seperti dilakukan oleh Gus Dur dan para penerusnya yang belakangan mempopulerkan konsepsi Islam Nusantara. 

Sejatinya beberapa pokok yang diangkat oleh Mietzner dan Muhtadi dalam tulisannya telah saya sampaikan pada sesi NU dan negara di hadapan peserta Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU) di Pondok Pesantren Bumi Shalawat KH Agoes Ali Masyhuri Sidoarjo awal 2020. Saya, misalnya, mengatakan bahwa jangan lupa bahwa selama perdebatan di Konstituante 1955-1959, NU justru berada pada front yang sama dengan Masyumi. Keduanya memperjuangkan agar Pancasila kembali ke rumusan Piagam Jakarta. Informasi ini bisa kita temukan dalam buku Andree Feillard, NU vis-a-vis Negara (1999), dan Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (2003). Sementara itu, kecenderungan intoleran di kalangan Islam Indonesia kontemporer, termasuk NU, tergambar gamblang dalam buku yang disunting oleh Martin van Bruinessen, Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme (2014)

Jadi, keberatan pertama saya terhadap tulisan Mietzner dan Muhtadi, sekali lagi, adalah soal perspektif teoretis. Secara sewenang-wenang keduanya menyimpulkan bahwa pluralisme di tubuh NU adalah mitos tanpa menjelaskan apa yang dimaksud oleh mereka sebagai pluralisme. Tentu saja setelah melihat pertanyaan yang diajukan kepada para responden, mereka yang lebih ahli bisa menilai bahwa pluralisme yang diandaikan di sana adalah pluralisme liberal. Namun apakah publik yang lebih luas mengerti duduk perkaranya?

Memang mereka mengutip pendapat Kiai Said Aqil Siroj yang mengatakan bahwa di mata konstitusi, semua warga negara mempunyai posisi dan hak yang sama. Untuk menghindari penggunaan standard Barat terhadap masyarakat non-Barat, kutipan ini dipakai oleh Mietzner dan Muhtadi sebagai seolah-olah definisi mengenai pluralisme. Namun apa pandangan kedua penulis ini terhadap pernyataan Ketua Umum PBNU itu?

Tidak ada, selain pada bagian akhir mereka menyimpulkan bahwa dalam kenyataannya itu adalah retorika, sebab tidak diikuti oleh sebagian besar pengikut NU di tingkat bawah. Tidak hanya retorika, pernyataan Kiai Said Aqil Siroj tersebut juga dianggap tidak lebih dari sekadar instrumen dalam kompetisi ekonomi-politik memperebutkan sumber daya kekuasaan dengan kelompok lainnya, khususnya Islam Kanan. Mohon maaf, menurut hemat saya, cara pengutipan seperti ini adalah, dalam istilah Jawa, nabok nyilih tangan.

Mietzner dan Muhtadi hanya menggali apa yang disebutnya gejala intoleransi agama-kultural dan intoleransi agama-politik. Gejala ini bisa diidentifikasi dan dihitung dari sikap para responden terhadap beberapa indikator (penolakan rumah ibadah non-Muslim, penolakan pemimpin non-Muslim, persetujuan terhadap pemimpin yang satu etnik, dan persetujuan terhadap intervensi pemimpin kuat tanpa intervensi legislatif dan yudisial). Pertanyaannya, bagaimana bisa dari gejala-gejala yang empiris ini mereka menyimpulkan tidak adanya pluralisme yang normatif? Dengan ungkapan lain, apakah dari apa yang senyatanya bisa disimpulkan apa yang seharusnya?

Tidak bisa tidak untuk mengakui bahwa yang lebih berkembang di Indonesia adalah konsepsi toleransi komunal daripada individual. Dalam bahasa Orde Baru, toleransi komunal adalah tenggang rasa. Sementara mayoritas harus mengayomi minoritas, pada saat yang sama minoritas harus tahu diri. Termasuk dalam hal ini adalah masalah pendirian rumah ibadah, pemimpin daerah, hingga kewenangan eksekutif ketika disandingkan dengan legislatif dan yudikatifpertanyaan-pertanyaan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menjadi rujukan Mietzner dan Muhtadi.

Sebenarnya problematik toleransi komunal itulah yang mau ditembak oleh Mietzner dan Muhtadi, sehingga mereka tidak setuju dengan kesimpulan Jeremy Menchik dalam Islam and Democracy: Tolerance without Liberalism (2016). Akan tetapi, penyembunyian perspektif teoretis yang digunakan memberi kesan kuat mereka sedang menggurui. Kalau dituliskan secara lugas, sejatinya mereka mau bilang begini: hai NU, jika pun toleren, maka toleransi yang kalian praktikkan itu baru sebatas toleransi komunal, belum sampai pada toleransi individual! Makanya pluralisme yang selama ini sering disematkan kepada kalian oleh para pengamat asing itu hanya mitos!

Selanjutnya, saya akan mengurai problematik metodologis dari tulisan Mietzner dan Muhtadi tersebut. Bagaimana kedua penulis mengumpulkan dan menafsirkan data, menurut saya, terkesan sangat tebang-pilih, sehingga mengabaikan keketatankalau bukan objektivitasyang seharusnya diterapkan dalam sebuah tulisan ilmiah. Memang metodologi yang dipakai oleh Mietzner dan Muhtadi dalam membangun argumen cukup menarik. Berangkat dari beberapa literatur mengenai perjalanan sejarah politik NU, mereka menggenapkan argumennya dengan merujuk pada sebuah laporan survei LSI terbaru. Sepintas ini terlihat meyakinkan, tetapi mari kita lihat secara seksama bolong-bolong metodologis yang mereka gunakan.  

Untuk menunjukkan bahwa sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an NU pada dasarnya intoleran, Mietzner dan Muhtadi menyebut setidaknya tiga peristiwa. Pertama, NU berjuang mengembalikan tujuh kata dari Piagam Jakarta dalam perdebatan di Konstituante yang terbentuk pasca-Pemilu 1955. Ini artinya, sebagaimana kelompok politik Islam lainnya, NU dianggap sama-sama mempunyai aspirasi negara Islam yang berhadapan dengan kelompok politik nasionalis-sekuler. Kedua, namun secara paradoksal, NU malah mendukung keputusan Presiden Soekarno yang membubarkan parlemen dan Konstituante serta pembubaran Masyumi dan PSI di akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an. Ketiga, keterlibatan NU dalam pembunuhan massal 1965. 

Bagi Mietzner dan Muhtadi, dasar yang menggerakkan NU dalam tiga peristiwa itu tiada lain adalah kepentingan diri (vested interest). Argumen-argumen keagamaan yang melatari politik NU pada periode itu seperti ditulis oleh M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (1994) tidak dilirik. Seolah-olah NU, saat itu masih berbentuk partai politik, melakukan semuanya hanya untuk mengincar posisi menteri agama. 

Menurut saya, problematik utama Mietzner dan Muhtadi adalah mereka melepaskan pembacaan sejarah politik NU dari konteksnya. Perdebatan dalam Konstituante masa lalu dibaca dengan perspektif masa kini, sehingga aspirasi untuk mengembalikan rumusan Piagam Jakarta dianggap sebagai tindakan yang secara otomatis mencederai citra NU sebagai organisasi pluralis. Dalam studi sejarah, ini dinamakan anakronisme. Mereka, oleh karena itu, tidak mampu mengenali secara lebih detail apa makna negara Islam pada masa itu yang dikontestasikan tidak hanya oleh NU dan Masyumi, tetapi juga Darul Islam (DI) yang lebih memilih jalan pemberontakan daripada prosedur demokrasi liberal”

Keterlibatan NU dalam pembunuhan massal 1965 juga dipahami oleh Mietzner dan Muhtadi secara sembrono, seakan-akan itu lahir dari kebencian ideologis-keagamaan belaka terhadap komunisme. Saya tidak menemukan penjelasan tentang, katakanlah, manipulasi tentara terhadap situasi antagonistik pada periode itu. Pengebirian terhadap gerak organisasi NU pasca-1965 yang dilakukan oleh rezim Orde Baru tidak diungkap. Cerita tentang para kiai dan santri yang dikejar-kejar tentara di awal 1970-an agar memilih Golkar diabaikan. Dengan kata lain, terkait dengan peristiwa 1965, NU dilihat semata sebagai pelaku tunggal alih-alih korban. 

Oleh karena itu, permintaan maaf Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ketika menjadi Presiden RI awal tahun 2000-an terhadap keluarga PKI benar-benar dilupakan. Upaya rekonsiliasi kultural sejumlah anak muda NU yang tergabung dalam Syarikat Indonesia pimpinan M. Imam Aziz yang sekarang menjadi salah satu ketua PBNU hilang dalam pengamatan. Bahkan kemunculan kelompok-kelompok seperti Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) dan LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) dinilai lebih sebagai akibat dari adanya agen-agen donor pengembangan pluralisme dari luar. 

Sementara itu, meski memuji Gus Dur sebagai ikon pluralisme yang mentransformasi NU pasca-Muktamar Situbondo 1984, Mietzner dan Muhtadi mencatat lagi-lagi setidaknya tiga hal yang membuat hal itu tersebut patut dipertanyakan. Pertama, menjelang akhir kekuasaan Orde Baru, Gus Dur justru meminta mahasiswa untuk tidak melakukan demonstrasi menentang Soeharto. Kedua, segera setelah pemilu 1999, Gus Dur malah ikut mendukung pendapat mayoritas ulama yang melarang perempuan menjadi pemimpin. Ketiga, ketika posisinya sebagai presiden digoyang, Gus Dur mengancam pembekuan parlemen yang terpilih secara demokratis pada Pemilu 1999 dan pembubaran partai politik yang melawan kebijakannya. 

Tentu saja saya tidak akan dan tidak perlu menyangkal tiga hal yang disampaikan oleh Mietzner dan Muhtadi mengenai Gus Dur tersebut, tetapi jelas sekali mereka melakukannya secara sangat tendensius. Sama dengan cara memahami perjalanan sejarah politik NU pada tahun 1950-an dan 1960-an, tindakan Gus Dur juga dilepaskan dari konteksnya. Kedua penulis tidak memperhitungkan sama sekali ketegangan sosial-politik yang berlangsung pada saat itu, suatu kondisi yang membuat Gus Dur memerankan dirinya sebagai penyeimbang di antara kelompok Islam garis keras dan nasionalis garis keras. 

Karena dilepaskan dari konteksnya, drama pemakzulan Gus Dur hilang sepenuhnya dari analisis. Mungkin Mietzner dan Muhtadi sudah tahu bukunya Virdika Rizky Utama, Menjerat Gus Dur (2019), tetapi cukup pasti tidak (akan) mengutipnya. Tindakan Gus Dur yang meminta para pendukungnya pulang ke rumah saat dia dipaksa keluar dari Istana barangkali dianggap hal yang memang seharusnya. 

Penilaian terhadap sejarah politik NU dan peran Gus Dur yang dilepaskan dari konteksnya adalah problematik metodologis yang sangat serius. Data kualitatif yang kaya dan berlapis-lapis direduksi sedemikian rupa untuk mendukung argumen bahwa pluralisme NU adalah mitos belaka. Ironsinya, tidak ada satu pun literatur otoritatif karya orang NU sendiri yang dijadikan rujukan oleh mereka. 

Problematik metodologis juga bisa kita temukan dalam cara Mietzner dan Muhtadi membaca survei LSI. Penentuan untuk lebih memilih persepsi pengikut daripada anggota NU sudah menyimpan catatan tersendiri sejak awal. Dengan ini mereka bisa secara leluasa melihat adanya intoleransi, bukan sekadar toleran tanpa liberal seperti dikatakan oleh Jeremy Menchik, dalam tubuh NU. Sekadar informasi, Menchik memilih melakukan survei terhadap anggota, tepatnya pengurus NU, daripada pengikut karena diyakini lebih presisi mengungkap perilaku NU sebagai organisasi. 

Dalam kenyatannya, apa yang disebut sebagai pengikut NU sangat tergantung pada konteks di mana mereka berada seperti diulas dengan cemerlang oleh Alexandre Paquin-Pelletier dalam disertasinya di Universitas Toronto, Radical Leaders: Status, Competition, and Violent Islamic Mobilization in Indonesia (2019). Melalui karya ini kita bisa mengetahui bahwa persepsi pengikut NU di Jawa Timur mengenai hal ihwal toleransi berbeda dengan persepsi pengikut NU di Jawa Barat. Namun yang lebih memengaruhi persepsi para pengikut itu bukan faktor NU-nya, melainkan konteks daerahnya. Di Jawa Timur dan Jawa Barat, para pemimpin agama mempunyai status sosial dan kompetisi politik yang berlainan, sehingga model relasi dan derajat pengaruh mereka dalam memobilisasi para pengikutnya pun tidak sama. Problematik ini sebenarnya disinggung oleh Mietzner dan Muhtadi, tetapi tidak ditindaklanjuti. Seolah-olah pengikut NU di mana pun mereka berada adalah intoleran belaka.  

Kalau mau diurai lagi, masih banyak problematik metodologis lainnya yang bisa dibongkar dari tulisan Mietzner dan Muhtadi. Pada tataran yang lebih teknis misalnya, mereka membandingkan begitu saja persepsi pengikut NU dan Muhammadiyah, padahal margin of error data kedua kelompok itu secara signifikan berbeda. Biarlah atau semoga ada penulis lain di kemudian hari membahasnya. 

Implikasi dari problematik metodologis ini sangat luas, mencakup etika akademik yang saya yakin sangat dijunjung tinggi oleh Mietzner dan Muhtadi. Mereka pada dasarnya mau mengkritisi pengamat asing yang terlalu simpatik kepada NU, seperti Robert Hefner dan Greg Barton. Sebagai usaha profesional hal ini tentu sah-sah saja, tetapi dampaknya terhadap subjek yang mereka gambarkan sebaiknya juga dipertimbangkan secara matang. Saya tidak akan mengulang dampaknya seperti apa, sebab penilaian akademik terhadap NU yang tendensiusbaik yang terlalu simpatik maupun sebaliknyamemang sudah biasa. Ya, sudah! 

(Tulisan ini merupakan kompilasi dari tiga artikel penulis yang diterbitkan oleh Alif.id pada 17 Juni 2020, 23 Juni 2020, dan 30 Juni 2020)

Penulis
Abdul Razak
Editor
Adi Purnomo S

Tags :