Rencana Reklamasi di Gersik Putih Sumenep Menabrak Banyak Regulasi

Sabtu, 08 Juli 2023 - 20:06
Bagikan :
Rencana Reklamasi di Gersik Putih Sumenep Menabrak Banyak Regulasi
MEMANAS: Warga Kampung Tapakerbau, Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, Sumenep, terus melakukan penolakan dalam upaya penggarapan tambak garam di pantai setempat, Rabu (5/7). [Foto: RadarMadura.id]

alfikr.id, Sumenep- Sedari tahun 2012, perjuangan warga Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep, mengusir investor yang hendak mengalihfungsikan pesisir menjadi tambak garam tak pernah usai.

Perlawanan demi perlawanan terus dilakukan. Tahun 2013, 2018, dan kini, tahun 2023 warga tetap berjuang mempertahankan ruang hidupnya, mempertahankan pesisir terakhir di desanya.

Kawasan pesisir di Desa Gersik Putih hanya tersisa 45 hektar. Tutupan mangrove masih tumbuh di beberapa tempat. Dari luasan pesisir itu, 41 hektar akan digarap jadi tambak garam, dan sekitar 21 hektar sertifikat hak milik (SHM) telah terbit.

Padahal di pesisir itulah warga Kampung Tapakerbau menggantungkan hidupnya dengan mencari kepiting, kerang, dan hewan laut lainnya. Dari pantai itulah akses satu-satunya warga untuk menuju laut. Selebihnya telah direklamasi dan dialihfungsikan menjadi tambak garam.

Ahmad Shiddiq, Ketua RT 01, RW 01, Dusun Gersik Putih Barat, Kampung Tapakerbau, Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, heran, dengan SHM yang terbit di tahun 2009 itu. Pasalnya, lahan itu merupakan kawasan pantai. Shiddiq menegaskan bahwa selama ini di lahan tersebut tidak ada aktivitas penguasaan lahan sedikit pun.

“Bahkan, dalam proses penerbitannya itu, warga Kampung Tapakerbau tidak dilibatkan. Ini mulai dulu tidak ada penguasaan. Karena ini memang lingkungan pantai,” ucap Ahmad Shiddiq kepada RadarMadura.id.

Amirul Mukminin, Ketua Gerakan Masyarakat Tolak Reklamasi (Gema Aksi) menjelaskan penolakan warga terhadap rencana reklamasi kawasan laut yang akan dijadikan tambak garam, bermula pada Selasa 7 Februari 2023.

Sejumlah warga RT 001/RW 001 Kampung Tapakerbau mendengar wacana bahwa Kepala Desa Gresik Putih bersama investor akan melakukan alih fungsi kawasan menjadi tambak garam.

Warga Gersik Putih terus memperjuangkan pesisir dan menolak reklamasi dan Pembangunan tambak garam [Penamadura]
Sehari kemudian Shiddiq membuat forum terbatas bersama pengurus setempat dan sejumlah tokoh pemuda melakukan kajian mengenai dampak aspek sosial-budaya, lingkungan, ekologis dan ekonomi jika terjadi reklamasi itu.

Pertemuan itu memutuskan bahwa reklamasi itu besar mudharatnya daripada manfaatnya. Sebab akan merusak tatanan sosial-budaya masyarakat, lingkungan dan berdampak negatif pada perekonomian warga yang bergantung pada pantai yang kaya dengan biota laut.

Rencana reklamasi di pesisir Desa Gersik Putih itu bertentangan dengan pelbagai regulasi. Antara lain tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sumenep Nomor 12 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sumenep Tahun 2013-2023, pasal 27, pasal 28, dan pasal 30.

Di dalam Perda tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa kawasan sempadan pantai di Gapura, termasuk di dalamnya yang ada di Desa Gersik Putih, masuk sebagai kawasan lindung dalam kategori kawasan perlindungan setempat.

Sempadan pantai yang merupakan kawasan perlindungan setempat juga dipertegas dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a, Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Wilayah sempadan pantai di Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, Sumenep, yang menjadi lokasi pembangunan tambak garam, Rabu (24/5/2023). [Foto: Moh. Faiq/Media Jatim].
Pantai, merujuk pada ketentuan Pasal 100 ayat (1) PP 13/2017, hanya boleh dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau; pengembangan struktur alami dan struktur buatan guna mencegah abrasi; pemanfaatan untuk pelabuhan; pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi pantai, pelabuhan, bandar udara dan pembangkitan tenaga listrik. Jika mengacu pada ketentuan tersebut, selain pemanfaatan di atas dilarang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, juga menyebutkan bahwa sempadan pantai merupakan kawasan lindung yang masuk kategori kawasan perlindungan setempat. UU 26/2007 tentang Penataan Ruang ini adalah landasan terbitnya PP 13/2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Perda 12/2013 tentang RTRW Sumenep.

Dalam Pasal 29 ayat (1) UU 26/2007 itu dinyatakan bahwa pantai adalah salah satu ruang terbuka hijau publik yang dikelola oleh pemerintah daerah untuk kepentingan masyarakat umum. Di samping itu, pantai, berdasarkan penjelasan Pasal 61 huruf d UU 26/2007, dinyatakan sebagai kawasan milik umum.

“Jadi, bila ada pantai yang diprivatisasi, apalagi sampai ada Sertipikat Hak Milik (SHM)-nya, apalagi kemudian di-planing untuk dialihfungsikan menjadi tambak guna kepentingan perorangan, jelas menurut saya adalah kekeliruan yang nyata,” terang Marlaf Sucipto, Penasihat Hukum Gema Aksi.

Dia menegaskan bahwa kawasan pantai atau laut itu tidak semestinya diterbitkan oleh BPN. Sebab sesuai ketentuan, laut atau pantai Desa Gersik Putih adalah kawasan lindung yang tidak boleh diotak atik untuk kepentingan apapun, termasuk untuk dibangun tambak garam.

”Jadi mereklamasi pantai untuk dijadikan tambak dengan dasar SHM tidak tepat, apalagi SHM tersebut dalam bentuk lautan, bukan daratan,” jelasnya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan, menegaskan, sempadan pantai merupakan kawasan lindung. Ia menjelaskan, ketentuan itu tertuang dalam Pasal 6 ayat 2 Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai.

“Jarak sempadan ke daratan adalah 100 m, dan wilayah tersebut masuk kawasan lindung yang tidak untuk diubah dan memang tidak boleh diubah. Bahkan untuk usaha jarak aman bahkan harusnya di atas 500 m sampai 1 KM,” tegas Wahyu.

Aturan tersebut dibuat, Wahyu menerangkan, berdasarkan pengalaman melihat alih fungsi pesisir yang ternyata memperburuk lingkungan sekitar. Mendorong abrasi dan rob, serta menganggu sosial ekonomi, sehingga aturan dimunculkan untuk mencegah.

“Toh seharusnya kawasan pesisir ini dipulihkan bukan malah diubah, juga urgensi reklamasi dan tambak garam juga tidak ada, kepentingannya hanya untuk segelintir orang,” terangnya.

Penulis
Khoirul Anam
Editor
Arwin

Tags :