Warga Gersik Putih Menolak Reklamasi dan Tambak Garam: Hampir Setiap Bulan Banjir Rob

Minggu, 09 Juli 2023 - 01:26
Bagikan :
Warga Gersik Putih Menolak Reklamasi dan Tambak Garam: Hampir Setiap Bulan Banjir Rob
Foto banjir rob di Kampung Tapakerbuy, Desa Gersik Putih, Selasa (06/06/2023). [Peka Aksara]

Alfikr.id, Sumenep- Penolakan warga Kampung Tapakerbau, Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, Sumenep terhadap rencana reklamasi dan pembangunan tambak garam bukan tanpa sebab. Mereka khawatir kondisi lingkungannya akan semakin buruk.

Belakangan, banjir rob dan abrasi di Kampung Tapakerbau bukan lagi sesuatu yang asing. 6 Juni 2023 lalu, banjir rob melanda kampung itu. Siti Masna, salah seorang warga menyebutkan bahwa sudah dua hari air bah itu menggenangi perkampungan.

“Dan hari ini, malah lebih besar dari yang kemarin,” ungkap Siti Masna dikutip dari maduratoday.com

Ia menyebutkan, banjir rob itu hampir terjadi setiap bulan. Terlebih saat bulan purnama, air pasang sangat tinggi. Bahkan, dia mendedahkan bawah permukaan air laut memang lebih tinggi dari daratan di kampung tempat dia tinggal.

”Untungnya, sekarang musim kemarau. Kalau musim hujan dan bersamaan dengan air pasang, sangat berbahaya sekali. Bisa benar benar tenggelam,” imbuhnya.

Lokasi pembangunan tambak garam di kawasan laut Desa Gersik Putih. [Dokumentasi Warga]

Banjir rob yang rutin melanda Kampung Tapakerbau itu, Siti Masna menduga, akibat perubahan ekologis kawasan muara di bagian barat. Yakni, mulai Desa Kalimook, Kecamatan Kalianget, Batudingding dan Baban Kecamatan Gapura yang dialih fungsi menjadi tambak ikan dan garam.

”Dulu setahun paling dua kali banjir rob, tapi beberapa tahun terakhir ini sudah hampir tiap tanggal 15 (bulan purnama) selalu banjir,” katanya.

Banjir rob ini menyebabkan sebagian kawasan pemukiman warga terendam air, sementara tambak ikan di sekitar kampung mengalami kerusakan.

Kondisi lingkungan itu menjadi perhatian serius dan alasan warga menolak reklamasi dan pembangunan tambak garam. Abrasi dan banjir rob itu mengancam 33 rumah yang berada di Kampung Tapakerbau.

Jika tambak garam tersebut sampai terealisasi, ketika laut pasang, air akan naik ke permukiman karena tidak ada pembuangan. Apalagi, rumah-rumah warga setempat tepat berada di pinggir pantai.

Achma Shiddiq, Ketua RT 01, RW 01 Dusun Gersik Putih Barat, menyampaikan, saat ini saja, satu bulan sekali air sudah masuk ke pekarangan warga. Apalagi jika pembangunan tambak garam terwujud, bisa berisiko tinggi terhadap permukiman warga. Dampak ekonomi, sosial, lingkungan, katanya, tidak sepadan dengan laba industri garam.

”Ketika air pasang, di sini ada sekitar 15 rumah warga yang tergenang,” katanya.

Di lokasi rencana reklamasi dan pembangunan tambak garam itu juga ada tutupan mangrove, tangkis laut alami untuk menahan banjir dan abrasi serta tempat hidup beberapa jenis biota laut. Bagi masyarakat setempat, mereka mempertahankan itu untuk para generasi mereka nanti.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur (WALHI) Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan, menegaskan bahwa rencana reklamasi dan pembangunan tambak garam tersebut jelas akan merusak keseimbangan ekosistem. Desa Gersik Putih di wilayah pesisir, kata Wahyu, mengalami abrasi yang cukup parah.

“Di mana permukaan air laut naik dan mulai menuju ke daratan. Hal ini dibuktikan juga dengan rencana lokasi tambak garam awal tenggelam oleh air laut dan maju ke arah darat,” jelas Wahyu kepada alfikr.id.

Warga Gersik Putih usir dan hentikan paksa pembangunan tambak garam. [Dokumentasi warga]

Pelbagai ikhatiar warga lakukan. Mulai dari menghadang alat berat, audiensi dengan pemerintah desa, camat, pemerintah kabupaten, maupun DPRD Sumenep. Bahkan warga melakhkan demonstrasi ke depan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumenep.

“Lahan yang kita tolak itu satu-satunya yang harus kita pertahankan. Dari barat sampai ke ujung Gersik Putih habis. Itu tinggal satu-satunya yang tersisa,” kata Shiddiq.

”Yang jelas, warga akan terus menolak rencana ini,” tegas Shiddiq melanjutkan.

Memanfaatkan Pesisir tanpa Merusak Lingkungan

Menyikapi persoalan di Desa Gersik Putih, Iskandar Dzulkarnain, penulis buku Sosiologi Garam, menuturkan, lahan-lahan pesisir yang tersisa itu seharusnya dipertahankan.

“Tidak usah dibuat tambak garam lagi,” kata Iskandar kepada MongabayIndonesia.

Ia menyarankan, lahan-lahan itu biarkan untuk keperluan masyarakat. Jika hanya ingin meningkatkan perekonomian masyarakat lewat industri garam, Iskandar menjelaskan, bisa memanfaatkan lahan-lahan garam yang tak tergarap PT Garam.

“Lebih baik desa minta ke PT Garam untuk menggarap lahan-lahan yang tidak produktif di Gersik Putih yang kebetulan milik PT Garam,” katanya Mei lalu.

Bagi Iskandar, rekomendasi itu, selain melindungi pantai tersisa, masyarakat juga bisa lebih ringan dan desa dapat keuntungan tanpa harus merusak alam. Ia juga mengingatkan, pemerintah perlu belajar pada sejarah pergaraman di Madura.

“Dan tak terus mengeksploitasi alam karena berbagai dampak buruk bisa muncul.”

Segendang sepenanuhan, Wahyu menegaskan, kondisi yang terjadi di Desa Gersik Putih mesti mendapat perhatian serius. Bagi Wahyu, Pemkab Sumenep harus menindak tegas alih fungsi kawasan pesisir, menjalankan amanah Perpres dan Perda, dan tidak lepas tangan.

“Serta ini menjadi peringatan bagi Pemkab Sumenep untuk tidak main-main dalam urusan sumber daya alam, karena dapat memicu konflik sosial-lingkungan hidup,” tegasnya.

Di samping itu, Wahyu menyebutkan, seharusnya wilayah Gersik Putih dipulihkan dan dikembalikan lagi fungsinya. Bila untuk aktivitas ekonomi, harusnya tidak mengubak kenampakan fisik pesisir, dijalankan oleh warga dan diawasi ketat oleh Pemkab Sumenep.

“Sifatnya partisipatif, terbuka dan demokratis. Misal konservasi mangrove dibarengi peningkatan ekonomi yang sejalan dengan mangrove, seperti budidaya sampai ekowisata,” terang Wahyu.

Penulis
Sukma Agung Adi Luwih
Editor
Adi Purnomo S

Tags :