Sejarah dan Keutamaan Bulan Muharram
Rabu, 19 Juli 2023 - 05:26alfikr.id,
Probolinggo- Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Kitab
Fathul-Baari menjelaskan asal muasal lahirnya penanggalan hijriyah. Menurutnya,
dilansir dari mui.or.id, pada tahun 17 Hijriyah Gubernur Abu Musa Al-Asyari
mengirimkan surat kepada Khalifah Umar bin Khattab berisi kebingungan perihal
surat yang tidak memiliki tahun. Sedangkan, umat Muslim masih mengadopsi
peradaban Arab pra-Islam yang hanya menuliskan sebatas bulan dan tanggal di
dalamnya.
Abu Musa Al-Asy’ari
kesulitan saat melakukan pengarsipan dokumen sehingga dari keresahan tersebut
muncullah gagasan awal untuk menetapkan kalender Islam. Khalifah Umar memanggil
Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf RA, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam
RA, Sa’ad bin Waqqas, dan Thalhan bin Ubaidillah sebagai tim yang bertugas
penyusunan kalender Islam.
Pembahasan
mengenai penentuan tahun pertama, ada beberapa usulan dari para Sahabat.
Pertama, dimulai di tahun Gajah, yaitu waktu kelahiran Nabi. Kedua, di tahun pengangkatan
menjadi Rasul. Ketiga, di tahun hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah.
Usulan dari Ali
bin Abi Thalib lah yang disepakti sebagai awal tahun baru Islam, yaitu ditandai
dengan peristiwa hijriah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah. Karena dianggap
sebagai peristiwa besar bagi Islam yang mana hijrah merupakan simbol
perpindahan masa jahiliyah ke masyarakat madani.
Sementara itu,
menentukan bulan pertama untuk mengawali tahun Islam, ada usulan dua usulan,
pertama pada bulan Rabiul Awwal dikarenakan Rasulullah hijrah pada bulan
tersebut. Kedua, bulan Muharram yang diusulkan oleh Umar Bin Khattab sebagai
bulan pertama dalam tahun Islam dan usulan tersebut didukung oleh Utsman bin
Affan.
Khalifah Umar
memberikan alasan mengapa mengambil bulan tersebut karena wacana hijrah dimulai
setelah beberapa sahabat membaiat Nabi yang dilaksanakan pada penghujung bulan
Dzulhijjah. Sedangkan setelah bulan tersebut muncul bulan Muharram. Maka dari
itu, pilihan Khalifah Umar disepakati menjadi bulan pembuka dalam tahun
Hijriyah.
Keutamaan
Bulan Muharram
1. Perbanyak
amalan saleh dan jauhi maksiat
Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma berkata tentang tafsir firman Allah Ta’ala dalam Surat At-Taubah
ayat 36:
“Maka
janganlah kalian menzhalimi diri kalian...”; Allah telah mengkhususkna empat
bulan dari kedua belas bulan tersebut, dan Allah menjadikannya sebagai bulan
yang suci, mengagungkan kemulian-kemuliannya, menjadikan dosa yang dilakukan
pada bulan tersebut lebih besar (dari bulan-bulan lainnya) serta memberikan
pahala (yang lebih besar) dengan amalan-amalan shalih,”
(Tafsir Al-Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir).
Oleh karena itu,
hendaknya kita perbanyak amalan-amalan ketaatan kepada Allah pada bulan
Muharram ini dengan membaca Al-Qur’an, berdzikir, shadaqah, puasa dan
lainnya. Selain itu, berusaha untuk menjauhi maksiat. Karena dosa pada
bulan-bulan haram lebih besar dibandingkan dengan dosa-dosa selain bulan haram.
Qatadah rahimahullah
juga mengatakan. “Sesungguhnya kezaliman pada bulan-bulan haram lebih besar
kesalahan dan dosanya daripada kezaliman yang dilakukan di luar bulan-bulan
haram tersebut. Meskipun kezaliman pada setiap kondisi adalah perkara yang
besar, akan tetapi Allah Ta’ala menjadikan sebagian dari perkara menjadi agung
sesuai dengan kehendaknya.”
2. Perbanyaklah
puasa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhuma, Nabi Muhammad SAW bersabda
شَهْرُ
اللهِ
المُحَرَّمُ
،
وَأفْضَلُ
الصَّلاَةِ
بَعْدَ
الفَرِيضَةِ
Artinya:
"Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram,
dan sholat yang paling utama setelah sholat fardhu adalah sholat malam,"
(HR Muslim).
Sufyan Ats Tsauri
rahimahullah mengatakan. “Pada bulan-bulan
haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya,” (Lathaif Al Ma’arif,
Ibnu Rajab).
3. Selisihi orang
Yahudi dengan puasa Tasu’a (tanggal 9 Muharram)
Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu
'anhuma beliau mengatakan, Ketika Rasulullah berpuasa 'Asyuro dan
menganjurkan para sahabatnya untuk berpuasa, mereka berkata, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan
Nasrani”. Maka beliau bersabda, “Kalau begitu tahun depan Insya Allah kita akan
berpuasa juga pada hari kesembilan (Tasu'a, untuk menyelisihi Ahli kitab)”.
Ibnu 'Abbas berkata, “Belum sampai tahun berikutnya, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam telah wafat.”
Sebagian
ulama ada yang berpendapat di-makruh-kannya (tidak disukainya) berpuasa pada
tanggal 10 Muharram saja, karena menyerupai orang-orang Yahudi. Tapi ada ulama
lain yang membolehkannya meskipun pahalanya tidak sesempurna jika digandengkan
dengan puasa sehari sebelumnya (tanggal 9 Muharram).
(Asy Syarhul Mumti, Ibnu 'Utsaimin).
4. Puasa ‘Asyuro
(tanggal 10 Muharram)
Hari ‘Asyuro
merupakan hari yang sangat dijaga keutamaannya oleh Rasulullah SAW, sebagaimana
hadits dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau mengatakan, “Aku
tidak pernah melihat Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam begitu menjaga
keutamaan satu hari di atas hari-hari lainnya, melebihi hari ini (yaitu hari
'Asyuro) dan bulan yang ini (yaitu bulan Ramadhan).” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Selain itu,
Rasulullah menyebutkan pahala bagi orang yang melaksanakan puasa sunnah ‘Asyuro,
sebagaimana riwayat dari Abu Musa Al Asy’ari
radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, Nabi Muhammad SAW
ditanya tentang puasa ‘Asyuro, kemudian beliau menjawab, “Puasa ‘Asyuro menjadi
penebus dosa setahun yang telah lewat,” (HR. Muslim).
5. Muhasabah dan
introspeksi diri
Sebuah pertanyaan
besar, “Semakin bertambah usia kita, apakah amal kita bertambah atau malah
dosakah yang bertambah?” Maka pertanyaan ini hendaknya kita jadikan alat untuk
muhasabah dan introspeksi diri kita masing-masing.
Ibnu Mas'ud radhiyallahu
'anhu pernah mengatakan, “Tiada yang pernah ku sesali selain keadaan ketika
matahari tenggelam, masa hidupku berkurang, namun amalanku tidak bertambah. ”Wahai
saudaraku, sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk menuju perjalanan yang
panjang di akhirat kelak dengan amalan-amalan shalih? Sudahkah kita siap untuk
mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah kita perbuat di hadapan Allah
kelak? Allah Ta'ala berirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan setiap diri hendaklah memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)…” (QS. Al Hasyr: 18).
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata tentang tafsir ayat ini, “Yaitu, hendaklah kalian menghitung-hitung
diri kalian sebelum kalian di-hisab (pada hari kiamat), dan perhatikanlah apa
yang telah kalian persiapkan berupa amal kebaikan sebagai bekal kembali dan
menghadap kepada Rabb kalian.”
Oleh karena itu, kita
dianjurkan untuk selalu introspeksi diri sebelum datang hari dihisabnya semua
amalan, sekaligus berupaya menjauhkan diri dari perbuatan maksiat yang bisa
membuat noda hitam di hati kita.