Menerawang Pilihan Politik Kaum Santri

Rabu, 02 Agustus 2023 - 23:29
Bagikan :
Menerawang Pilihan Politik Kaum Santri
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melepas kirab santri dan jalan sehat sahabat santri dalam rangka puncak peringatan Hari Santri Nasional 2018, di Alun-alun Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (28/10) pagi,/[Antarafoto/Umarul Faruq].

Probolinggo, alfikr.id- Hampir di setiap hajatan demokrasi lima tahunan, pesantren acapkali menjadi palagan politisi dalam merebut suara kaum sarungan. Silaturahmi ke pesantren-pesantren merupakan kegiatan wajib para kontestan yang berlaga. Kentalnya politik 'nderek' (ikutan) dan kultur "sami'na wa atho'na" (mendengarkan dan mematuhi) di pesantren, turut berperan dalam mendongkrak elektabilitas politik.

Dukungan kiai baik terang-terangan ataupun secara tidak, dianggap mampu mempengaruhi pilihan politik umatnya; santri, alumni, dan simpatisan. Mereka menganggap pilihan politik sang kiai ataupun pimpinan pesantren merupakan pilihan terbaik dan memiliki landasan baik secara agama dan sosial.

Menurut Muhammad Imam Aziz, kultur hubungan kiai dan santri di pesantren memang sangat kental, tetapi dalam aspirasi pilihan politik boleh saja keduanya bersebrangan. Sebab, lanjutnya, dalam sistem politik demokrasi tidak ada hubungan abdi dan tuan. pada prinsipnya semua warga negara memiliki hak yang sama untuk bebas menentukan pilihan.

Kiai dan santri yang berpolitik, harus memposisikan diri sebagai warga Negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Tidak boleh membawa indentitas, gaya politik patron-kline, dan membeda-bedakan orang. Jadi siapapun dia, kalau terjun ke politik, harus disadari semua yang dihadapi adalah warga Negara Indonesia. Karena berpolitik itu, untuk kemaslahatan bersama rakyat tanpa pandang bulu.

Sebagai negara penganut sistem demokrasi, bila mau berpolitik, harus mengikuti konstitusi. "Maka kiai dan santri yang berpolitik, harus mengikuti aturan politik. Jangan sampai berpolitik ikut aturan pesantren. Sementara, di pesantren ikut aturan mainnya politik, itu tidak boleh," ungkap Staf Khusus Wakil Presiden RI, Bidang Penanggulangan Kemiskinan dan Otonomi Daerah tersebut. 

Bagi kiai yang mengajak santrinya untuk memilih salah satu calon dalam persaingan politik. Itu artinya aturan pesantren digunakan untuk berpolitik. Seharusnya, menggunakan aturan per-Undang-Undang (UU) tentang politik.

Bila terjadi seperti itu, berarti kiai dan santri terjebak dalam politik praktis. Karena, beliau menilai, sejauh ini, sistem politik demokrasi lima tahunan, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Legislatif (Pileg), Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, masih terjebak pada model politik praktis.

"Orang yang melakukan politik praktis hanya berfikir harus menang, maka segala sesuatu dilakukan itu sebenarnya harus dicegah. Karena dampaknya, tidak hanya kepada demokrasi itu sendiri, tetapi juga terhadap kehidupan masyarakat, kebangsaan, dan ekonomi," sesal salah satu pendiri LKIS ini.

Bila dilihat dalam negara demokrasi, katanya, politik praktis sangat dinamis. Sehingga kontestasi perpolitikan harus selalu diperbaiki secara terus-menerus, untuk mewujudkan kualitas demokrasi yang semakin meningkat.

Demokrasi yang berkualitas tersebut, ketika semua warga negara sudah mampu menentukan pilihannya sendiri; tanpa dipengaruhi oleh agama, uang, paksaan, dan hasutan lain. 

Untuk itu, "Tugas kita bersama untuk membuat demokrasi semakin meningkat dan berkualitas. Kalau kita tidak mau menjaga ruang demokrasi, para pengusaha, dan elite partai politik akan berbuat semau-maunya," harapnya. 

Sementara, menurut Akhmad Muzakki, para penguasa dan elit partai politik yang mendekati pesantren, pasti memiliki kepentingan. Karena tidak mungkin, para penguasa dan elit politik melakukan pendekatan, tanpa ada suatu kepentingan. Tinggal apakah kepentingan yang terkait, ketemu dengan kepentingan untuk kemaslahatan bersama. Di situlah kemudian, peran kiai sangat penting untuk menjamin bahwa ikhtiar-ikhtiar oleh elit partai politik harus berorientasi kepada kepentingan pencapaian kemaslahatan bersama.

Karena kiai yang masuk dalam perpolitikan, pasti mempunyai pertimbangan-pertimbangan dasar kaidah fiqhiyah. Sementara penggunaan kaidah fiqhiyah itu, bisa tidak sama antara satu momen politik dengan yang lain, tergantung situasi dan kondisinya.

Karena kaidah fiqhiyah ada banyak yang bisa dipraktekkan oleh para kiai dalam keadaan yang berbeda. Hal itu, merupakan keterampilan para kiai untuk mempraktekkan ilmu agama yang menjadi keahliannya, ketika berkaitan dengan pelbagai persoalan termasuk politik.

Dalam dunia pesantren, kiai dengan keahlian ilmu agamanya, menjadi suri teladan, dan sumber arus informasi satu-satunya santri. Tapi, kini mengalami perubahan, karena pesatnya perkembangan teknologi. hadirnya sosial media, dan media massa. Para santri bisa saja mendapatkan pelbagai sumber informasi melalui media sosial dan media massa.

Hal itu, membuat kiai tidak lagi menjadi sumber informasi satu-satunya bagi para santri, dan memudarnya nilai-nilai ketaatan kepada kiai. Dengan begitu, bisa saja aspirasi pilihan politik kiai akan bersebrangan dengan santri.

"Padahal dulu, ketaatan santri kepada kiai hampir mutlak dibanyak bidang persoalan termasuk politik. Tetapi ada pergeseran belakangan ini, ketaatan santri terhadap kiai, tidak seutuhnya sama dalam pelbagai persoalan lagi," imbuhnya.

Akan tetapi, "Kiai dan santri mempunyai kekuatan moral. Jadi setiap praktik politik seperti apapun di ruang publik itu, membutuhkan kehadiran kiai dan santri sebagai penjaga moralitas," kata Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA).

Maka santri dan kiai jangan sampai meninggalkan politik. Sebab politik itu adalah ruang persaingan bersama yang dampaknya untuk mengurusi hajat orang banyak. Kalau politik ditinggalkan, maka ruang itu akan diisi orang-orang jahat.

"Buruknya ruang publik, bukan karena aktifnya orang jahat, tapi pasifnya orang baik," pungkasnya.


Sumber: Majalah ALFIKR edisi 33

Penulis: Risky Herman Tumangka

Penulis
Badrul Nurul Hisyam
Editor
Zulfikar

Tags :