Bahaya yang Mengintai Pesisir Probolinggo

Jum'at, 19 Januari 2024 - 16:58
Bagikan :
Bahaya yang Mengintai Pesisir Probolinggo
Banjir rob dari pantauan udara di Desa Kalibuntu, Kecamatan Kraksaan, Probolinggo. [Twitter @Sutopo_BNPB]

“Banjir rob bukan hal baru bagi masyarakat pesisir Kabupaten Probolinggo. Alih fungsi lahan, kenaikan muka air laut, dan laju penurunan muka tanah diduga menjadi penyumbang terbesar.”

alfikr.id, Probolinggo- SATUMI, WARGA DUSUN Krajan, Dringu, Probolinggo, Jawa Timur, masih mengingat dengan baik saat banjir menerjang rumahnya, 8 Maret 2021 lalu. Air bah luapan Sungai Kedunggaleng itu tiba-tiba datang saat ia tengah asyik menonton televisi sekitar pukul 21.00 WIB. Sontak perempuan 61 tahun ini berlari menyelamatkan keempat cucunya. Mereka terpaksa diamankan di atap rumah miliknya sebelum akhirnya mengungsi ke rumah sanak keluarga di desa tetangga. 

Saat air bah datang, ia tak lagi mempedulikan barang berharga. Televisi, sound system, kompor, bahkan kulkasnya taka da yang tertolong. “Kalau kulkas, sudah renang (ngapung, red) di dapur,” ujarnya sembari tertawa mengingat peristiwa itu. Yang lebih menyedihkan, banjir itu membuat ayah dari empat cucunya meninggal 14 Maret 2021 setelah sempat selama empat hari dirawat di Rumah Sakit Wonolangan karena penyakit leptospirosis. Itu penyakit yang umum menyerang akibat banjir.  

Apa yang dialami Satumi merupakan pengalaman yang cukup banyak dialami oleh warga pesisir Probolinggo. Menurut informasi yang dihimpun ALFIKR, warga desa yang berada di dekat pantai di Kabupaten Probolinggo rata-rata merasakan banjir rob dua kali dalam sebulan. Peristiwa yang seolah berlangsung rutin itu membuat masyarakat akrab dan mampu memprediksi datangnya air bah. Patokannya adalah kalender Jawa di setiap awal, pertengahan, dan akhir bulan. Situasinya makin parah saat musim hujan tiba.

Satumi menuturkan, daerahnya merupakan langganan banjir saat musim hujan tiba. “Tapi tak separah (tahun, red) ini,” katanya. Awalnya air luapan sungai hanya menggenangi halaman rumah. Tetapi pada tahun 2005 air sudah mulai masuk ke rumah. Ia menduga tingginya curah hujan di wilayah hulu seperti Kecamatan Bantaran, Kuripan, hingga wilayah Gunung Bromo, turut berkontribusi terhadap intensitas banjir. Ditambah lagi oleh air laut yang pasang.

Banjir serupa juga pernah terjadi di Blok Tambaan, Dusun Mandaran, Desa Pondok Kelor, Paiton, Probolinggo, Jumat 28 Februari 2020 lalu. Suhria, warga Blok Tambaan, mengisahkan bahwa sehari sebelumnya ada hujan yang sangat lebat. Keesokan malamnya, saat dia sudah terlelap, tiba-tiba air bah datang. Ia pun terbangun dan bergegas meminta bantuan tetangga untuk menyelamatkan barang berharganya.

Suhria mengatakan, banjir tahun lalu itu menggenangi rumahnya selama tiga hari. Akibatnya, perempuan 63 tahun itu harus tidur di tempat seadanya berdesak-desakan dengan anggota keluarganya di atas dipan berukuran dua meter setengah. Ia menambahkan, banjir sebenarnya biasa menghampiri rumahnya. Tetapi tahun 2020 itu volume airnya lebih banyak. Setidaknya ada 20 rumah di RT 20 dan 15 rumah di RT 17, Blok Tambaan, Dusun Mandaran, yang terdampak oleh banjir itu.

Penyebab banjirnya tak sama dengan yang terjadi di Dringu. Suhria menengarai tambak udang modern dan alih fungsi lahan punya peran dalam banjir besar ini. Ia menunjuk ke aliran sungai yang semakin sempit di dekat rumahnya. “Dulu ini lebar. Bahkan dulu perahu bisa lewat sini. Sebelum ada tambak udang modern, ini tambak tradisional yang di pinggirnya banyak mangrove sebagai penahan,” kata dia.

Memang ada dua konsesi tambak udang modern yang mengepung rumah Suhria. Di sebelah utara ada PT Manunggal Setia Makmur yang luasnya 16 ha dengan 63 petak tambak. Di sebelah barat ada PT Tanjung Windu, yang berada di Dusun Karanganom, Desa Karanganyar, seluas 14 hektare dengan 36 petak tambak. Catur Iwan, Manajer PT Tanjung Windu, mengatakan, dua perusahaan itu dimiliki satu orang, yakni Kian Fuk.

Abai Budiono, warga Dusun Karanganom, Desa Karanganyar, mengatakan, dulunya di daerah ini ada mangrove yang ditanam warga, dan ada juga yang tumbuh secara alami. Namun mangrove itu dibabat habis oleh PT Manunggal Setia Makmur pada tahun 2016. Menurut taksiran Abai, sekitar lebih dari satu hektare mangrove yang saat itu dibabat.

Soal jumlah mangrove di Kabupaten Probolinggo, sudah pernah diteliti oleh Aristiya Putri dan Tubagus Solihin pada Desember 2018. Hasilnya, luas lahan mangrove di Kabupaten Probolinggo dalam kurun waktu 20 tahun mengalami perubahan yang fluktuatif. Pada tahun 1998, jumlahnya ditaksir seluas 514 ha, 2008 seluas 385 ha, dan 2018 seluas 464 ha. Meski terkesan ada penambahan luas, namun kerapatan kanopinya rendah.

Catur Iwan membantah tudingan bahwa saat pembangunan tambak udang modern yang berada di sempadan pantai itu menebang mangrove dan mempersempit sungai. “Gak ada yang nebang mangrove,” kata dia. Ia menyatakan bahwa banjir yang dialami warga itu karena air laut yang pasang dan bukan akibat keberadaan tambak, Iwan juga menyampaikan, PT Tanjung Windu turut berperan memitigasi banjir dengan menormalisasi sungai.

ALFIKR mencoba menelusuri soal mangrove tersebut menggunakan data history map citra satelit Google Earth. Hasilnya menunjukkan adanya indikasi pembabatan mangrove di Blok Tambaan Dusun Mandaran terjadi berkisar pada bulan Juli 2016 yang digantikan petak-petak tambak udang. Soal sungai yang dimaksud oleh Catur Iwan, saat ALFIKR cek ke lokasi pada 29 September 2021, itu tak lain adalah selokan selebar tak sampai satu meter.

Perubahan lahan mangrove menjadi petak tambak udang di Desa Pondok Kelor, Paiton, Kabupaten Probolinggo. Sumber: Google Earth [alfikr.id/Agus Wahyudi] 

Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Probolinggo enggan berkomentar soal ini. Saat ALFIKR datang ke kantornya yang beralamat di Jalan Raya Dringu No. 81 pada pertengahan September dan menyampaikan surat permohonan wawancara soal degradasi lingkungan dan alih fungsi lahan di pesisir Kabupaten Probolinggo, sampai November 2021 belum ada jawaban. “Sebentar masih mau dirapatkan dengan pimpinan,” ungkap M. Sachri Iskandar, perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Probolinggo.

Sachri Iskandar mengatakan, wilayah pantai merupakan kewenangan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur. “Katakanlah bukan provinsi, itu (yang menangani, red) dinasnya adalah Dinas Perikanan,” kata dia saat ditanya soal ini.

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Probolinggo tahun 2010-2029 dijelaskan bahwa hutan mangrove terdapat pada Bagian Kedua Kawasan Lindung Pasal 23 huruf d soal kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya. Dalam dokumen tersebut juga dijelaskan bahwa sempadan pantai termasuk pada Kawasan Perlindungan Setempat yang berfungsi untuk melestarikan fungsi pantai dengan jarak minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Dokumen yang sama juga menjelaskan bahwa rencana pengembangan kawasan peruntukan budidaya perikanan berupa tambak dan kolam yang berada pada kawasan-kawasan berfungsi lindung dan dilindungi akan dibatasi dan direlokasi. Hanya saja, aturan itu lebih banyak di atas kertas saja. Pantauan ALFIKR di beberapa pesisir Probolinggo masih terlihat petak-petak tambak berdiri di atas sempadan sungai dan pantai. Keberadaan tambak udang juga dinilai memperparah abrasi.

Abrasi dan juga kenaikan permukaan air laut adalah fenomena yang banyak kita saksikan belakangan ini dan dinilai sebagai salah satu bukti nyata dari dampak perubahan iklim akibat pemanasan suhu bumi. Dalam Webinar bertajuk “Ancaman Tenggelamnya Kota Pesisir Pantai Utara Jawa, Apa Langkah Mitigasinya?” pada 16 September 2021, Prof. Edvin Aldrian, Pakar Iklim dan Meteorology Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menjelaskan, perubahan iklim yang disebabkan aktivitas manusia mengakibatkan tingkat banjir lebih tinggi.

Menurut Edvin Aldrian, hilangnya wilayah pesisir dan kemunduran garis pantai di Asia Tenggara telah diamati dari tahun 1984-2015. Sebuah proyeksi menunjukkan bahwa permukaan laut regional rata-rata terus meningkat. Ini akan membuat kejadian banjir lebih sering di daerah pantai. “Termasuk yang terjadi pada pesisir utara Pulau Jawa,” kata Wakil Ketua Kelompok Kerja I Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) itu seperti dikutip ekuatorial.com.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, membenarkan bahwa banjir rob dan abrasi dipicu kondisi iklim yang tengah mengalami krisis. “Kenaikan muka air laut yang sangat signifikan menjadi bukti perubahan iklim,” kata dia. Iklim yang tidak bisa diprediksi itu semakin menyulitkan masyarakat. Masyarakat pesisir dan masyarakat yang hidupnya sangat tergantung pada iklim, menjadi korban yang pertama.

Afdillah menjelaskan, masifnya alih fungsi lahan, baik di hulu dan hilir, turut berkontribusi bagi krisis iklim. Mangrove yang semestinya merupakan tameng alami, justru dibabat dan dikonversi menjadi tambak udang. Lebih-lebih tambak-tambak modern itu hanya dikuasai segelintir orang. Afdillah menyebut, kondisi itu merupakan bukti dari ketidakadilan pengelolaan sumber daya alam. Kenyataan pahit itu membuat masyarakat mengalami ketidakadilan berlipat ganda. “Mereka sudah kehilangan lahan, kemudian terkena banjir,” kata dia.

Konversi lahan di wilayah pesisir untuk tambak dan hunian meningkatkan kerentanan wilayah terhadap kerugian akibat tergenang pada saat pasang tinggi. Sumber Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian Oseanografi 2012-2013. [alfikr.id/Agus Wahyudi]

Data simulasi kenaikan muka air laut dari lembaga riset Climate Central menunjukkan di tahun 2080 seluruh kecamatan pesisir di Kabupaten Probolinggo terancam berada di bawah permukaan air laut alias tenggelam. Sumber: Climate Central. [alfikr.id/Agus Wahyudi]

Banjir rob, kata Afdillah, tidak seperti tsunami yang datangnya sangat tiba-tiba dan menghancurkan. Dampak banjir rob itu pelan-pelan. Ia menyebut kasus di pesisir Muara Gembong, Bekasi, sebagai kasus paling nyata. Banjir rob itu menghancurkan semua kehidupan, bahkan kuburan. “Kalau itu tidak dicegah. (Pesisir Probolinggo, red) tinggal menunggu waktu aja. Mungkin tidak hari ini. Tapi tahun depan, dua tahun, tiga tahun ke depan. Kebayangkan sepuluh tahun lagi daerah itu akan kosong,” ungkapnya.

Banjir rob di beberapa pesisir di Indonesia, menurut Afdillah, juga dipicu oleh land subsidence (penurunan muka tanah). Land subsidence disebabkan oleh masifnya pembangunan dan penyedotan air tanah. Hanya saja, Afdillah belum bisa memastikan banjir rob yang melanda pesisir Probolinggo ada kontribusi penurunan muka tanah.

Namun penelitian yang dilakukan Peneliti dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas, menyebutkan adanya penurunan muka tanah di pesisir Kabupaten Probolinggo. Berdasarkan citra satelit, ia mencatat laju amblesnya tanah di daerah ini sekitar 1-5 cm per tahun. Ia menduga angkanya justru lebih tinggi jika dilihat dari intensitas banjir. “Kalau dalam sebulan (terjadi banjir, red) dua kali itu biasanya penurunannya lebih besar, kayaknya,” kata dia.

Heri Andreas mengatakan, dugaan itu dapat dibandingkan dengan angka sea level rise (naiknya permukaan air laut). Data kenaikan permukaan air laut sekitar 6-7 ml per tahun. “Di bawah satu sentimeter ada kenaikan. Kita lihat ada pasang-surut, tetapi semakin tinggi 6 ml per tahun. Sehingga sebenarnya masih kecil tetapi banjir robnya ke arah yang luar biasa. Berarti tanahnya turun,” ujarnya.

Sugeng S. Yoga, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Probolinggo mengatakan, kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan menyebabkan pendangkalan sungai yang berakibat pada merosotnya daya tampung sungai. Saat ALFIKR tanyakan terkait alih fungsi lahan, Sugeng tidak membantah.

“Dengan berubahnya hutan mangrove menjadi tambak ini akan merugikan lingkungan kalau tidak dikaji lebih mendalam. Itu harus ada kajian dulu, jangan hanya ada izin, (lalu, red) dilaksanakan. Harus dikaji ke depannya. Amdalnya bagaimana. Dampaknya bagaimana? Itu harus dikaji betul. Kalau aman silahkan jalan. Tapi sekiranya membahayakan, itu harus dicegah,” kata Sugeng S. Yoga.

Banjir yang melanda pesisir Probolinggo, kata Sugeng S. Yoga, juga disumbang oleh deforestrasi yang terjadi di hulu sungai. “Di Dringu kemarin, di samping derasnya hujan dalam waktu yang panjang dan bertepatan dengan pasangan air laut, mereka bertemu dan bertolak. Artinya ada tekanan dari atas dan dari bawah itu sendiri. Setelah diteliti ternyata ada beberapa gunung yang sudah gundul dan kekurangan pohon untuk menyerap air,” ujarnya.


Sumber: Majalah ALFIKR edisi 34

Reporter: Abdul Razak, Mundir Mufidi, Abdul Haq

Penulis: Abdul Haq

Penulis
Zulfikar
Editor
Adi Purnomo S

Tags :