Penghapusan Jurusan di SMA, Darmaningtyas Menilai: Kebijakan Keliru
Jum'at, 26 Juli 2024 - 15:33alfikr.id, Jakarta- Kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Kemendikbudristek) tentang meniadakan jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA),
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan bahasa di jenjang Sekolah Menengah Atas
(SMA) yang akan mulai diterapkan pada tahun ajaran 2024/2025 itu menuai
polemik.
Menurut pengamat pendidikan, Darmaningtyas menilai, implementasi Kurikulum
Merdeka dengan penghapusan jurusan di SMA merupakan kebijakan keliru. Meskipun
kebijakan itu sudah diterapkan diberbagai negara-negara maju, kata dia, seperti
negara daratan Skandinavia, "Hal itu tidak dapat menjadi legitimasi bagi
Indonesia supaya segera mengikuti langkah tersebut," jelasnya, dikutip
dari tempo.co.
Penerapan Kurikulum Merdeka yang menghapus sistem penjurusan di SMA dapat
berakibat mata pelajaran seperti fisika, kimia, biologi, dan matematika, sepi
akan peminat. Padahal mata pelajaran itu, Darmaningtyas mengingatkan, merupakan
rumpun keilmuan utama dalam mengembangkan sains dan teknologi. "Ditakutkan
peserta didik SMA hanya memilih paket mata pelajaran yang mudah saja,"
sambungnya.
Sementara Kepala Badan Standar Nasional Kurikulum dan Asesmen Pendidikan
Kemendikbudristek, Anindito Aditomo mengatakan, peniadaan jurusan di SMA
sebetulnya bagian dari implementasi Kurikulum Merdeka yang sudah diterapkan
secara bertahap sejak 2021.
Menurut dia, dihapusnya sistem jurusan di SMA bertujuan untuk menghilangkan
diskriminasi kepada siswa yang non-IPA. "Seperti peserta didik IPS dan
bahasa ketika penerimaan mahasiswa baru," ujarnya. Kebijakan itu, melalui
Kurikulum Merdeka memberikan kesempatan bagi siswa-siswi kelas XI dan XII untuk
dapat memilih mata pelajaran secara leluasa.
"Sesuai dengan kemampuan, minat, bakat, aspirasi studi lanjut, dan
kariernya," terangnya, dilansir dari KOMPAS.com.
Hal senada disampaikan oleh Anang Ristanto, pelaksana tugas Kepala Biro
Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek, dia berpendapat,
penghapusan jurusan di tingkat SMA dilakukan sebagai bentuk pendorong untuk
peserta didik mengeksplorasi dan merefleksi minat, bakat, dan aspirasi karier
mereka.
"Kurikulum ini pula memberi peluang siswa-siswi mengambil mata
pelajaran secara lebih fleksibel sesuai dengan rencana," ujarnya, dikutip
dari tempo.co.
Terlebih dalam penerapan Kurikulum Merdeka, dia menyatakan, semua peserta
didik lulusan SMA dan SMK dapat melamar ke berbagai program studi di perguruan
tinggi tanpa dibatasi klasifikasi program jurusan ketika di SMA atau SMK.
Karena ketika berdasarkan pengelompokan jurusan, seringkali terjadi
sebagian besar siswa-siswi memilih jurusan IPA. "Sebab jurusan IPA
memiliki keistimewaan lebih banyak saat mendaftar program studi di perguruan
tinggi," imbuhnya.
Anindito Aditomo pun menambahkan, selain menghilangkan diskriminasi,
peniadaan jurusan untuk memantapkan persiapan studi lanjutan bagi peserta didik
SMA. "Ini justru memperkuat kesiapan kuliah," tuturnya.
Namun sialnya, dilansir dari NU Online, Edi Subkhan selaku pengamat
pendidikan menerangkan, keputusan penghapusan tersebut mengurangi jumlah
minimal jam mengajar guru yang akhirnya berdampak pada hak sertifikasi dan
tunjangan guru. "Guru harus paham betul tujuan kebijakan itu,"
tegasnya.
Tak hanya itu, menurutnya, dalam aturan lama sebagai syarat sertifikasi
guru harus mengajar minimal memenuhi jumlah 24 jam per Minggu. "Perlu
keterlibatan kebijakan pusat mengenai sertifikasi," kemudian dia
menyarankan, guru harus dapat membuat pemetaan kemauan studi lanjut peserta
didik, pilihan mata pelajaran, dan karier peserta didik sesuai dengan pilihan
mata pelajaran.
"Jika guru tidak dapat mengarahkan dan siswa-siswi SMA asal memilih,
malahan makin tak jelas masa depannya."
Darmaningtyas turut menegaskan, penghapusan jurusan itu berakibat pada
sekolah ketika mempersiapkan tenaga pengajar. Saban tahun, pilihan siswa-siswi
bisa berubah-ubah dalam memilih paket pelajaran.
Berbeda dengan sistem penjurusan, kata dia, sekolah dapat memprediksi
secara pasti kebutuhan tenaga pengajar. "Pertimbangannya tergantung
banyaknya kelas setiap jurusan," ujarnya.
Dia berharap, implementasi Kurikulum Merdeka sedapat mungkin
memprioritaskan kemajuan literasi dan numerasi peserta didik di sekolah.
Kemendikbudristek, cenderung berlebihan dalam melangkah hingga melupakan
evaluasi pada penerapan Kurikulum 2013. Bagi dia, sebab tidak mengamati
sosiokultural dan politis di Indonesia. "Kebijakan populis tapi tak
cerdas," pungkasnya.