Nestapa Petani Garam Randutatah Jelang Panen Raya

Sabtu, 21 September 2024 - 12:59
Bagikan :
Nestapa Petani Garam Randutatah Jelang Panen Raya
Buruh tambak memanen garam di kawasan Randutatah, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Musim panen raya berlangsung sejak Juli dan diperkirakan hingga Oktober 2024. [alfikr/Ibrahim La Haris]

alfikr.id, Probolinggo- Terik panas matahari di Desa Randutatah, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, tidak menyurutkan semangat para petani garam. Pukul 14:45 WIB, para petani sibuk mengeruk butiran garam dan memasukkannya ke dalam karung berukuran 50 kg. Sebagian besar garam telah diangkut ke tepi jalan.

Aris, seorang petani berusia 65 tahun, telah menekuni pekerjaan ini selama puluhan tahun. Siang itu, dia sedang beristirahat setelah menyelesaikan tugasnya mengawasi 30 petak tambak milik saudaranya, yang masing-masing berukuran 12×50 meter.

“Tambak milik saya sendiri ada tujuh petak, tapi karena baru saja kena tipu, empat petak terpaksa saya gadaikan,” ujar Aris.

Sejak kecil, Aris sudah tertarik dengan dunia produksi garam. Saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), ia sering membantu di tambak garam milik Haji Hasyim, warga Randutatah yang dikenal memiliki tambak garam pertama di daerah tersebut. Dari sana, Aris belajar banyak tentang proses produksi garam, mulai dari mengalirkan air laut hingga mengkristalkan garam.

Sejak SD, saya sudah ingin punya tambak garam sendiri. Awalnya saya bekerja ikut almarhum Haji Hasyim selama dua bulan untuk belajar ilmunya, setelah itu saya keluar dan buat tambak sendiri. Saya kerja bukan untuk jadi kuli, tapi untuk belajar, tutur Aris mengenang masa-masa awalnya.

Menurut Aris, petani garam tidak seperti petani padi yang harus menunggu tiga bulan atau lebih untuk panen. Petani garam bisa panen dalam waktu sekitar 10 hari, tergantung cuaca. Karena itulah Aris bertekad memiliki tambak garam sendiri.

***

Saat cuaca terik, Aris merasa bersyukur karena proses kristalisasi garam bisa berlangsung lebih cepat. Dengan bantuan pompa, ia mengalirkan air laut ke petak-petak tambak. Jika kondisi panas mendukung, panen bisa dilakukan dalam waktu 10-15 hari.

“Kalau musim panas, petani lain biasanya cari tempat berteduh, tapi saya justru masuk tambak,” kata Aris sambil tersenyum.

Panen raya garam di kawasan Randutatah, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. [alfikr/Ibrahim La Haris]

Musim kemarau kali ini, hasil produksi garam Aris cukup melimpah. Namun, dia mengeluhkan rendahnya harga garam yang ditawarkan tengkulak, hanya Rp 650.000 per ton. “Harga murah, dan tengkulak juga tidak lancar beli garamnya,” keluh Aris.

Aris mengakui bahwa stok garam di gudang petani masih penuh karena musim kemarau yang panjang tahun lalu. Akibatnya, tengkulak enggan membeli garam baru karena stok lama masih banyak, yang menyebabkan harga terus turun.

“Harganya terus turun, apalagi menjelang panen raya. Dulu kalau garam sedikit, tengkulak saling berebut,” tambah Aris.

Selain itu, tengkulak sering menunda pembayaran hingga tiga atau empat hari, berbeda dengan tahun lalu ketika harga garam mencapai Rp 1.500.000 per ton dan pembayaran dilakukan secara kontan.

“Sekarang pengepul kadang datang, kadang tidak. Petani jadi bingung mau makan apa, sementara pekerjaan kami cuma membuat garam. Kalau dulu, uangnya dikasih dulu ke petani sesuai jumlah garam yang diangkut,” jelas Aris kecewa.

Meski harga anjlok, Aris tetap terpaksa menjual garamnya agar bisa membayar upah lima orang buruh yang bekerja dengannya. Buruh-buruh tersebut bekerja dua kali sehari, pagi dan sore, dengan jeda istirahat di siang hari.

“Kalau tengkulak belum bayar, kami sering utang untuk kebutuhan sehari-hari. Begitu garam terjual, baru bisa lunasi utang,” ujar Aris.

Aris berharap agar pemerintah dapat membantu petani garam, misalnya dengan mendirikan KUD (Koperasi Unit Desa) yang bisa menampung garam petani sehingga harga tidak terlalu merosot.

“Kalau tidak ada KUD, harga garam akan merusak perekonomian petani garam,” harap Aris.

***

Pantauan Alfikr.id mencatat bahwa pada Januari hingga Mei 2024, harga garam di Randutatah stabil di angka Rp 1.200.000 per ton. Namun, menjelang panen akhir Juli, harga terus merosot, mulai dari Rp 1.000.000 per ton, hingga Agustus turun menjadi Rp 650.000 per ton.

Aris menyebutkan bahwa penurunan harga ini disebabkan oleh melimpahnya garam impor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa selama periode 2017-2022, Indonesia mengimpor 16,2 juta ton garam senilai 596,16 juta dolar AS, dengan negara utama pemasok adalah Australia dan India.

Kebutuhan garam nasional untuk konsumsi dan industri sejak 2020 mencapai lebih dari 4 juta ton per tahun, dengan lebih dari 2,5 juta ton di antaranya diimpor setiap tahun sejak 2017. Pada 2022, impor garam mencapai 2,76 juta ton.

Dinas Perikanan Kabupaten Probolinggo mencatat produksi garam dimulai sejak Mei, dengan total 517,5 ton dihasilkan hingga Juni. Jumlah tersebut masih jauh dari target produksi tahun 2024, yakni 14.190 ton.

Ratusan ton garam ini dihasilkan dari desa-desa di empat kecamatan, termasuk Desa Randutatah di Kecamatan Paiton, serta beberapa desa di Kecamatan Kraksaan, Pajarakan, dan Gending.

Ironisnya, meskipun Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, dengan panjang 96.181 km dan luas perairan laut mencapai 5,6 juta kilometer persegi, negara ini masih harus mengimpor garam untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Dengan sumber daya alam yang melimpah, Aris dan para petani garam lainnya berharap agar pemerintah mampu mendukung pengolahan garam lokal untuk meningkatkan kesejahteraan petani garam di Indonesia.

Penulis
Ibrahim La Haris
Editor
Khoirul Anam

Tags :