Achmad Mufid Rifa’i: Kopi, Sarung, dan Filosofi Bayar Seikhlasnya

Selasa, 21 Januari 2025 - 23:41
Bagikan :
Achmad Mufid Rifa’i: Kopi, Sarung, dan Filosofi Bayar Seikhlasnya
Achmad Mufid Rifa’I (sebelah kiri) sedang berbincang santai dengan pelanggannya. [Sumber foto: Alfikr.id/Shahib Kholil]

Alfikr.id, Probolinggo-  Di tengah keramaian Expo Jatim Pendidikan & UMKM di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, stand bernomor 39 tampak mencuri perhatian dengan kemudahannya. Mesin-mesin kopi berjejer rapi, menanti pelanggan yang mungkin belum sempat menyadari keunikan di balik stand bernama Pawon Baja itu.

Achmad Mufid Rifa'i, pria kelahiran Malang 1998, duduk bersila dengan santai di belakang meja. Sarung dan kopyah yang dikenakannya memberikan sentuhan khas pesantren yang begitu familiar.

Wajahnya sumringah ketika ia mulai berbagi cerita kepada awak ALFIKR tentang perjalanan hidup dan kopinya. Ia terlihat menikmatinya sebagai pembelaan, meski diakui bahwa keikutsertaannya di Expo ini bermula dari sebuah kebetulan.

“Awalnya Gus Aulia Rohman Iskandar, salah satu kiai di Pondok Pesantren Manbaul Ulum Malang, bilang kalau pondok-nya diundang untuk mengisi stand di sini. Tapi karena jadwal berbenturan dengan kegiatan di pondok, akhirnya saya diminta menggantikannya,” ujar Mufid mengenang awal mula dirinya terlibat dalam acara ini.

Gus Aulia tahu betul bahwa Mufid telah lama bergelut di dunia perkopian. Itulah mengapa kepercayaan untuk mengelola stand tersebut diberikan padanya. Mufid menerimanya dengan penuh rasa hormat, bahkan ia tetap mencantumkan nama pesantren dalam setiap produk yang ia jual.

“Di cangkir kopi ini, saya tulis PP Mambaul Ulum Malang. Ini bentuk penghormatan saya pada pondok. Meski saya ada di sini, nama pondok tetap saya bawa,” jelasnya sambil menunjukkan gelas kopi yang sudah didesain khusus.

Filosofi Kopi dan Bayar Seikhlasnya

Namun, ada satu hal yang membuat Pawon Baja benar-benar berbeda. Di hari pertama Expo, Mufid menerapkan sistem bayar seikhlasnya untuk setiap kopi yang ia jual. Terlebih lagi, ia tidak mau menerima uang langsung dari pelanggan. Ia menutup tempat uang di standnya agar pembeli bisa menyelipkan uang secara bebas tanpa harus merasa canggung.

“Orang itu kalau ngasih uang kan kadang malu. Jadi, saya sengaja menutup tempat uangnya, biar mereka bisa bayar seikhlasnya tanpa sungkan,” katanya dengan senyum lebar.

Mufid sedang meracik kopi untuk pelanggannya. [Sumber foto: Alfikr.id/Shahib Kholil]
Mufid sedang meracik kopi untuk pelanggannya. [Sumber foto: Alfikr.id/Shahib Kholil]

Keberanian ini, menurut Mufid, dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang ia pelajari semasa menjadi santri. Sebagai seseorang yang tumbuh di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), ia ingin memberikan sesuatu yang berkesan di acara yang juga diadakan oleh warga NU ini.

“Saya besar di keluarga NU, acaranya juga acara NU ya sudah, ini saya kasih kopi yang enak. Kamu punya uang atau tidak, yang penting kamu bisa ngopi enak. Intinya di situ,” ucapnya sambil tersenyum.

Baginya, kopi bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang bagaimana secangkir kopi bisa menjadi media untuk berbagi dan menghormati sesama. Meski sistem bayar seikhlasnya ini hanya diterapkan pada hari pertama, ia merasa puas karena setidaknya ia telah memberikan yang terbaik untuk para pengunjung standnya.

Semangat di Tengah Sepinya Stand

Mufid paham betul bahwa tidak semua stand di Expo ini ramai pengunjung, termasuk standnya sendiri. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatnya. Dengan tenang, ia duduk bersila di balik meja, mengamati suasana sekitar sambil sesekali menyapa pengunjung yang datang.

“Ya, namanya juga usaha. Yang penting saya nikmati saja. Lagi pula, ini juga bisa untuk menunjukkan rasa hormat saya di pesantren,” tuturnya.

Kesederhanaan dan ketulusan Mufid menjadi daya tarik tersendiri. Bukan hanya kopinya yang menarik perhatian, tetapi juga cerita di balik setiap cangkir yang ia sajikan.

Bagi Mufid, Pawon Baja bukan sekadar nama. Ia ingin menjadikan stand ini sebagai simbol dari perjuangan kecilnya di dunia kopi, sekaligus bentuk dedikasi kepada pesantren yang telah membesarkannya.

Penulis
Abdul Rofid Juniardi
Editor
Adi Purnomo S

Tags :