Wacana Membeli Hutan: Krisis Kepercanaan Publik Terhadap Negara
Minggu, 21 Desember 2025 - 03:22
Alfikr.id, Probolinggo- Dunia maya belakangan diramaikan adanya usulan “membeli hutan” yang disampaikan oleh kelompok peduli lingkungan Pandawara Group. Wacana ini segera mendapatkan perhatian publik dan memantik diskusi tentang kemungkinan masyarakat mengambil alih peran negara dalam melindungi kawasan hutan.
Gagasan membeli hutan yang ramai diperbincangkan publik mencerminkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap negara dalam mengelola sumber daya alam. Di Tengah deretan bencana ekologis akibat deforestasi, wacana ini adalah simbol kritik atas rusaknya tata kelola hutan di Indonesia.
Menariknya, ide tersebut datang dari gerakan kolektif masyarakat. Kendati masih sebatas wacana, ajakan dengan tujuan konservasi itu dapat dibaca sebagai ekspresi ketidakpercayaan publik terhadap negara, yang dinilai gagal melindungi kawasan hutan dari kerusakan sistematis.
Kekecewaan memuncak setelah peristiwa bencana melanda Sumatera pada 25-27 November lalu. Longsor dan banjir bandang yang membawa gelondongan kayu berukuran besar itu menerjang pemukiman warga di tiga provinsi: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Melansir dari laporan Detik News, per 19 Desember 2025, petaka ekologis itu telah menelan korban sebanyak 1.068 orang, 190 orang dinyatakan hilang, dan 537.185 warga terpaksa mengungsi. Peristiwa tersebut diduga kuat berkaitan dengan deforestasi di bentang alam hutan Bukit Barisan, termasuk ekosistem Harangan Tapanuli atau Batang Toru. Menyusutnya entitas hutan menyebabkan rawan banjir karena daya serap air ketika hujan berkurang.
Bencana Sumatera adalah tragedi kemanusiaan yang tidak terpisahkan dari praktik pembalakan hutan yang masif sejak 2016 hingga 2025. Sekitar 631 perusahaan tercatat telah melakukan deforestasi seluas kurang lebih 1,4 juta hektare di Sumatera, sehingga daya dukung alam kian melemah dan tidak lagi mampu menampung akumulasi kerusakan.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh. Ahmad Solohin, menegaskan bahwa peristiwa tersebut menjadi peringatan keras. “Alam tidak lagi mampu menahan beban yang dipaksakan manusia (deforestasi, red),” ujarnya, dikutip dari walhi.or.id.
Dalam konteks inilah, unggahan Pandawara Group di Instagram yang berisi ajakan membeli hutan disambut antusias oleh publik. Sejumlah figur turut merespon, di antaranya selebritas ternama Atta Halilintar dan Rizki Aditiya Putra selaku bupati Lamandau, Kalimantan Tengah.

“Masalahnya bukan pada kemampuan publik membeli hutan, melainkan pada hilangnya kepercayaan terhadap negara sebagai pengelola sumber daya alam,” ujarnya, dikutip dari Kompas.id, 16 Desember 2025.
Anggota Komisi IV DPR RI, Riyono, menyebut bahwa regulasi yang ada sebenarnya membuka peluang bagi masyarakat untuk menguasai atau mengelola kawasan hutan untuk kepentingan tertentu. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang tata cara pelaksanaan hak, kewajiban, dan penerimaan negara di bidang kehutanan.
Namun, Riyono menekankan bahwa persyaratan yang harus dipenuhi sangat ketat dan berlapis. Mulai dari pengajuan izin penggunaan kawasan hutan, kejelasan identitas pemohon, rencana pemanfaatan kawasan, hingga berbagai dokumen administratif lainnya.
“Prosesnya berlapis, dari pengajuan permohonan, penilaian kawasan oleh tim ahli, penetapan harga, pembayaran, hingga penerbitan IPKH,” ucapnya, dilansir dari Tempo.co, Selasa, 16 Desember 2025.
Selain hambatan administratif, peluang masyarakat untuk membeli hutan semakin mengecil setelah pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang, Nusron Wahid. Menurutnya, tanah bukanlah komoditas yang bisa diperjualbelikan. “Itu adalah kawasan yang dilindungi negara,” katanya, dikutip dari Tempo.co.
Secara konstitusional, pernyataan Nusron Wahid sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konteks penguasaan tanah dan kawasan hutan, negara bertindak sebagai wali amanat yang bertanggung jawab mengelola bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Karena itu, kawasan hutan di Indonesia bukan komoditas yang dapat diperjualbelikan secara bebas. Statusnya adalah milik bersama (commons), dengan negara berfungsi sebagai wali amanat pengelola. Prinsip ini dikenal sebagai public trust doctrine atau doktrin kepercayaan publik.
“Negara merupakan wali amanat dari hutan dan sumber daya bersama lainnya sebagai pengejawantahan dari prinsip trust doctrine. Negara memikul tanggung jawab pelestarian dan pengelolaan sumber daya milik bersama atas nama publik,” menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, I Gusti Agung Made Wardana, dikutip dari Tirto.id.
Berbeda halnya dengan negara yang menerapkan konsep land trust, seperti Amerika Serikat. Dalam skema ini, jual beli tanah dimungkinkan melalui pihak ketiga yang bertindak sebagai wali amanat, umumnya organisasi nirlaba atau non-governmental organization (NGO).
Melalui skema tersebut, warga dapat mengumpulkan dana secara kolektif untuk kemudian diserahkan kepada organisasi nirlaba. Selanjutnya, NGO bertanggung jawab atas pengelolaan dan perlindungan lahan agar kawasan tetap lestari.