Lampu Merah dan Nasionalisme Kiai As'ad

Selasa, 25 Oktober 2016 - 23:50
Bagikan :
Lampu Merah dan Nasionalisme Kiai As'ad
KHR. As'ad Syamsul Arifin

SITUDONDO, ALFIKR.CO - Suatu saat KH. As'ad Syamsul Arifin bepergian jauh ke luar kota dari Sukorejo dengan mengendarai mobil. Beliau bersama sopirnya Musyirin yang kini juga sudah menjadi seorang kiai.

Sehabis isya' Musyirin memacu mobil di jalanan kota Semarang. Hingga sampai pada perempatan jalan yang ada lampu lalu lintas. Lampu merah menyala yang artinya semua kendaraan yang melaju wajib berhenti. Namun Musyirin memilih untuk tetap menerobos rambu jalan itu. 

Tak dinyana, tokoh pendiri Nahdlatul Ulama ini langsung naik pitam melihat aksi Musyirin. "Turun dulu, Nak!," ujar Kiai As'ad dengan nada menghentak.

Mendengar perintah kiai itu, Musyirin langsung melambatkan laju mobil dan berhenti. Tak seperti biasanya, Kiai As'ad menunggu turun dari mobil ketika dibukakan pintu. Kali ini beliau langsung turun sendiri.

"Mengapa kamu tidak berhenti padahal ada lampu merah?," tanya Kiai As'ad.

"Mohon maaf kiai. Saya pikir karena jalanan sedang sepi," jawab Musyirin dengan memelas.

Kiai As'ad justru semakin mengeraskan suara. "Lho? Kamu itu harus ngerti dan paham. Lampu lalu lintas itu undang-undang negara. Para pemimpin mengadakan rapat (membahas persoalan lalu lintas) butuh biaya besar. Hormati, undang-undang itu", ujar beliau.

Musyirin hanya tertunduk malu dan mengangguk-anggukkan kepala dengan penuh penyesalan. Lalu Kiai As'ad melanjutkan menceramahi sopirnya itu.

"Biaya yang dipakai itu uang rakyat, uang orang banyak. Kamu bisa dosa pada orang banyak. Biasakan kamu punya pandangan luas, jangan hanya yang ada di depan mata," kata Kiai As'ad.
Mendengar wejangan itu Musyirin hanya bisa menjawab, "Iya, Kiai. Saya janji tidak akan mengulangi di kemudian hari".

Terkadang hal yang dianggap sepele seperti menaati rambu-rambu lalu lintas acapkali dilanggar karena ada kesempatan. Meski Kiai As'ad adalah seorang ulama besar dan terkemuka pada zamannya. Namun, kelebihan itu tidak disalahgunakan pada hal-hal yang melanggar pada aturan-aturan negara. 

Di mata Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah ini hal terbesar dan terkecil dari negara ini semuanya dibangun dengan menghabiskan jiwa, raga, dan biaya yang tidak sedikit. Maka adalah sebuah kemaksiatan jika ada seseorang yang mau mengusik keutuhan negara dan segenap tatanannya.

Begitu luas pandangannya yang susah untuk dijangkau oleh orang biasa, serta betapa mendalamnya rasa nasionalisme kiai berjuluk singa podium ini.

Penulis
Putro Hadi
Editor
Ahmad Efendi

Tags :