Dug-gudug, Ritual Sedekah Petani
Sabtu, 06 Januari 2018 - 22:07SUMENEP, ALFIKR.CO-Ada yang menarik dari tradisi masyarakat, Desa Panagan, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep. Pasalnya, ketika masa penen padi tiba, warga pulau garam tersebut merayakannya dengan sebuah tradisi yang dikenal dengan ritual “Dug-gudug”, yakni sebuah ritual bersedakah para petani.
Pemberian nama Dug-gudug ini, diambil dari bunyi alat musik yang digunakan saat ritual berlangsung. Bentuknya menyerupai kepala sapi, namun dibawahnya dilubangi dan diberi benda keras. “Sehingga ketika dimainkan dengan cara memegang tanduk sapi dan menggoyangnya akan berbunyi dug....gudug....gudug,” kata Satlawi seorang warga yang menirukan bunyi musik tersebut.
Menurut Satlawi, tidak ada ketentuan khusus siapa yang berhak memainkan Dug-gudug yang ada sekitar delapan buah tersebut. Namun seringkali yang mamainkannya dari kaum para lelaki. Sedangkan para perempuan bertugas menyiapkan hidangan yang akan disuguhkan pada para tamu yang hadir untuk mengikuti ritual.
Dalam pelaksanaanya, ritual tersebut diawali dengan pembacaan surah yasin dan doa bersama yang kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Setelah itu, mereka berjalan keliling kampung sembari memainkan alat musik Dug-gudug melewati rute yang telah ditentukan. Perayaan ritual Dug-gudug biasanya menghabiskan waktu seminggu dan pada hari terakhir perayaan, semua warga berkumpul di makam Gung Karaton untuk berdoa dan makan bersama.
Konon, Gung Karaton atau yang dikenal dengan Bujuk Jete adalah saudara termiskin dari empat bersudara; Gung Karaton, Gung Pacarron, Gung Tatole dan Gung Jaruan. Melihat kondisi Gung Karaton yang memperihatinkan, ketiga adiknya tergerak untuk membantu ekonomi kakaknya. Gung Jaruan, sudara termuda memiliki inisiatif untuk membuat delapan alat musik yang menyerupai kepala sapi. Kemudian alat musik tersebut digunakan untuk meminta sedakah kepada masyarakat setiap masa panen tiba.
Pada saat ini, alat musik tersebut menjadi alat musik ritual sedekah petani yang dilaksanakan setiap setahun sekali. Namun demikian, ritual yang juga diyakini warga bisa melindungi pertanian, terutama padi, kini mulai mengalami pergesaran nilai. Padahal, kata Tirmidzi Mas`ud, tokoh agama kecamatan Gapura mengakui Dug-gudug merupakan tradisi yang positif dan tidak bertentangan dengan syari`ah islam. Karena tradisi tersebut menjadi sarana masyarakat untuk berinfak dan bersedakah.
“Masyarakat yang menyakini ketika sawahnya di dilewati riltual Dug-gudug rezekinya akan berlimpah, perlu diluruskan keyakinannya, tanpa harus menghapus ritual tersebut,” pungkasnya.