Membina Akhlak Melalui Ajaran Tarekat
Jum'at, 27 September 2019 - 17:37Pondok Pesantren Attarbiyah Attijaniyah tetap mempertahankan tradisi pendidikan salaf, yang mengutamakan pendidikan ahlak dengan menanamkan nilai-nilai ajaran tarekat At-Tijaniyah.
PROBOLINGGO, ALFIKR.CO - Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam, akhirnya wartawan ALFIKR tiba di Pondok Pesantren Attarbiyah Attijaniyah, Desa Brani Wetan, Kecamatan Maron, Kabupaten Probolinggo. Area pesantren dipenuhi dengan pepohonan mangga nan rindang, menambah sejuknya udara pagi. Sementara itu, para santri sedang berkumpul di Masjid untuk melaksanakan sholat dhuha berjamaah.
Sesaat kemudian, salah seorang santri menghampiri kami seraya bertanya “ada perlu apa mas?” Kamipun menjawab dengan pertanyaan, ”Habib Ja’far ada di dhalemnya?” Ia mengiyakan pertanyaan kami disertai anggukan kepala “ia beliau ada mas,” jawabnya.
Kami langsung diarahkan ke kediaman Habib Ja’far Bin Ali Al-Baharun yang nampak sederhana; begitu pun sosok pengasuh Pondok Pesantren Attarbiyah Attijaniyah ini, memakai baju hijau muda, sarung bermotif kotak dan kopyah putih. Sembari menjawab salam, beliau mempersilahkan untuk duduk. Tak lama kemudian, kami mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan terhadap beliau.
Berdasarkan penuturan Habib Ja’far Bin Ali Al-Baharun, berdirinya Pesantren ini tidak luput dari petunjuk yang didapat ayahnya melalui mimpi. “Aba bermimpi cahaya atau malaikat Jibril turun ke tanah milik bapak Jali di Desa Brani Wetan ini, pada sekitar tahun 1987,” terangnya.
Beliau melanjutkan, waktu itu, tanah yang dimiliki bapak Jali dihargai lima juta rupiah. Sedangkan uang yang dimiliki oleh Habib Ja’far tidak cukup untuk membelinya. Namun, karena titah sang ayah mensyaratkan untuk segera membelinya. Beliau segera membeli walaupun harus meminjam uang kepada masyarakat setempat.
Usai tanah terbeli dari bapak Jali, dibangunlah masjid dan Pondok Pesantren. Berdirinya Pondok pesantren tersebut, tidak pernah Habib Ja’far meminta sumbangan ke masyarakat secara materi. Dana bantuan dari pemerintah pun tidak pernah beliau terima. Sebab menurutnya, penting untuk menghindari uang subhat, ketika membangun Pondok Pesantren. “Masjid, Pondok dan semuanya dari gusti Allah dan atas seizinnya,” kenang beliau.
Pondok Pesantren Attarbiyah Attijaniyah berdiri sekitar 1991 yang namanya diambil dari pendiri tarekat At-Tijaniyah, yakni Ahmad Bin Muhammad Bin Al-Mukhtar At-Tijani. Menurut Ustad Abdul Malik, Habib Ja’far Bin Al-Baharun selain menjadi pengasuh beliau adalah Mursyid tarekat At-Tijaniyah. Untuk itu, santri yang mondok diharapkan dapat mengikuti akhlaknya.
Kegiatan di Pondok Pesantren Attarbiyah Attijaniah dimulai dari pukul 07.15 pagi. Para santri mulai memasuki ruang kelas Madrasah Diniyah sesuai tingkatan masing-masing. Antara lain Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah.
Walaupun banyak dari berbagai kalangan termasuk juga pemerintah yang menawarkan untuk membangun sekolah formal. Namun, pendidikan di Pesantren ini tetap mempertahankan tradisi pendidikan salaf. “Karena menurut pengasuh lebih baik memberi dari pada menerima,” paparnya.
Selain itu, dalam kegiatan pembelajaran santri menggunakan kitab Mantiq, Balaghah, Fathul Wahhab, Fathul Mun’im, Jurmiyah, Alfiyah dan lain-lain. Sedangkan referensi tarekat At-Tijaniyah mengunakan kitab Martabah Samilah. Kemudian sekitar pukul 12.00, seluruh santri melaksanakan sholat Dzuhur berjamaah.
Seusai sholat Dzuhur, santri dituntun belajar pengembangan bahasa Arab. Karena interaksi sesama santri di Pesantren wajib menggunakan bahasa Arab. “Bagi yang melangar akan dikenakan sangsi,” katanya.
Setelah itu, pada pukul 02.00-03.10 santri istirahat dan dilanjutkan persiapan datangnya sholat Ashar, sambil diisi dengan kegiatan membaca Muhafadah yang sekaligus menghafalnya. Bakda sholat Ashar, kegiatan berlanjut dengan istigosah bersama.
Sebelum pengajian kitab kuning dimulai, santri diberi waktu untuk makan. Pengajian ini dilaksanakan pada pukul 16.30 sampai datangnya waktu sholat Magrib. Bakda Maghrib diisi dengan ngaji kholaqoh sampai menjelang waktu sholat Isyah berjama’ah.
Pada pukul 20.00-22.00 kegiatan dilanjutkan dengan musyawarah bersama. Kemudian dari pukul 22.30-02.30 santri dipersilahkan istirahat untuk mempersiapkan diri bagun melaksanakan sholat Tahajjud dan sholat Witir berjama’ah, yang wajib diikuti seluruh santri. Ditambah dengan membaca Al-Qur’an satu jus perorang.
Dengan membaca Al-Qur’an satu jus, santri Pondok Pesantren Attarbiyah Attijaniyah mampu menghatamkan Qur’an selama satu bulan perorang. Seusai mengerjakan Sholat subuh berjama’ah, santri melaksanakan wirit wadzifah. Untuk hari minggu dan selasa pagi seluruh santri menempum pengembangan bahsa Arab.
“Sedangkan setiap malam jum’at diadakan kegiatan membaca manaqib tarekat At-Tijaniyah sampai waktu sholat Isya, kemudian dilanjutkan dengan sholat tasbih yang rutin dilaksanakan sejak awal berdiri Pondok Pesantren Attarbiah Attijaniah sampai sekarang”, sambung Abdul Malik.
Abdul Malik menambahkan, selaku Wakil Kepala Pondok Pesantren Attarbiyah Attijaniyah. Sebelum wafat Habib Ali Bin Umar Al-Baharun, beliau berpesan pada santrinya. “Wahai santriku, ini adalah jalanku dan janganlah kalian berbelok dari jalanku, karena nanti kalian tidak akan bertemu dengan saya,” tirunya dalam menyampaikan pesan ayahanda pengasuh.
Sedangkan pesan dari Habib Ja’far Bin Ali Al-Baharun, Abdul Malik menuturkan, “kalau mau pulang jangan sampai kalian memutus atau meniggalkan amalan-amalan yang sudah dibina mulai setahun ada di Pondok dan apa yang ada dipondok harus dikerjakan,” teragnya. Dengan tujuan harus istiqomah, agar pulang selama dua minggu dalam satu tahun tidak rusak.
Dengan begitu santri di pondok pesantren Attarbiyah Attijaniyah tidak luput dari konteks pendidikan ahlak melalui jalan pendiri terekat At-tijani yakni Ahmad Bin Muhammad Bin Al-Mukhtar At-Tijani, karena beliau orang yang di cintai Allah dan ahklaknya menyerupai nabi Muhammad SAW. “mungkin dengan cara ini kita akan di cintai juga,” terangnya.
Di sisi lain keberadaan santri di Pondok Pesantren Attarbiyah Attijaniyah sampai saat ini hanya dihuni oleh laki-laki. Luas Pesantren kurang lebih tiga hektar ini, tercatat santri yang berdatangan mondok ada dari luar Jawa seperti Kalimantan, Sumatra, Bali, Batam hingga Papua. Lebih jauh lagi alumninya sudah mampu berkiprah di masyarakat. Semisal membuat pesantren, menjadi kyai, ustad dan lain-lain.
(Sumber Foto; Risky H.T)