Mengenang Gus Sholah dalam Arsip Majalah ALFIKR 2009

Senin, 03 Februari 2020 - 11:33
Bagikan :
Mengenang Gus Sholah dalam Arsip Majalah ALFIKR 2009

Sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan pesantren, Ir KH Salahuddin Wahid, cucu KH Hasyim Asy’ari ini terbilang produktif menuliskan gagasannya, dan telah banyak tulisannya yang telah dibukukan serta menghiasi surat kabar harian.

Gagasan dan pemikirannya terbentang mulai tentang pesantren, hingga politik. Tak hanya gagasan, pada pemilu 2004 pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang ini mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres).

“Dulu saya ditawari untuk maju jadi Cawapres. Tidak jadi ya tidak masalah, wong ruang mengabdi tidak hanya jadi pendamping presiden kok,” ungkapnya mengawali wawancara kepada Hasanuddin dan Achmad Sufyan di kediamanya, di Jombang, pada Laporan Utama Majalah ALFIKR edisi Juli - September 2009, Demokrasi Gaya Santri. Berikut petikan lengkapnya tentang politik santri.

Bagaimana pendapat anda tentang pilihan politik santri yang kadang ditentukan oleh kiainya?

Soal pilihan itu terserah masing-masing individu. Misalkan, ada kiai menganjurkan pilih partai A, ada yang mau mengikuti monggo saja, ada yang tidak mengikuti menurut saya tidak apa-apa. Kalau di sini (Pesantren Tebuireng-red) saya tidak pernah mengarahkan pilihan politik bagi santri. Silahkan saja pilih yang menurut santri sesuai dan cocok dengan hati nuraninya.

Apakah pilihan seorang kiai  dianggap lebih jernih atau lebih strategis?

Saya tidak bisa mengatakan pilihan saya lebih baik dari pilihan kiai A. Masing-masing orang punya pilihan. Tidak ada keharusan untuk memilih salah satu Partai Politik (Parpol). Layaknya memilih makanan, satu suka gado-gado, yang lain  suka rujak ya silahkan saja.

Hanya memang kiai, sebagai salah satu kelas sosial masyarakat, diakui komitmen keagamaan dan moralitasnya, sehingga terus menjadi tumpuan masyarakat, termasuk dalam pilihan politik.

Bagaimana pesantren melihat platfom parpol dengan asas yang bemacam-macam?

Saya pikir semua Parpol sama saja, kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI) yang jelas-jelas tidak mengakui agama Islam. Sekarang apa ada partai yang tidak membela kepentingan masyarakat? Baik asasnya, nasionalis atau Islam, mereka semua bekerja untuk mensejahterakan rakyat, melanjutkan cita-cita kemerdekaan dan perbaikan ekonomi Indonesia. Itu semua cita-cita Islam, tanpa melihat platfom partainya.

Perjalan Partai Politik pasca reformasi menurut anda bagaimana?

Menurut saya, parpol sekarang itu merosot. Banyak parpol yang mengecewakan rakyat. Pemimpin kita banyak yang korupsi (anggota DPR dan Kepala Daerah).

Jadi apanya yang salah, sistemnya atau orang-orangnya?

Undang-Undang kita sudah cukup baik, namun karena orang-orangnya tidak baik, jadi tidak jalan. Dulu, Indonesia pernah memakai demokrasi parlementer yang liberal. Saat itu, partai-partai menggunakan kesempatan itu untuk memperkaya diri. Akhirnya rakyat kecewa dan ingin kembali pada Undang-Undang Dasar (UUD 1945), dan terjadilah dekrit presiden pada 5 Juli 1959, menjadi pemerintahan yang otoriter (Orde Lama).

Pada masa Orde Baru juga hanya sebentar bangsa kita demokratis, setelah itu muncul pemerintahan yang otoriter lagi. Kemudian pasca reformasi 1998, UUD 1945 diamandemen kembali. Apakah kalau kembali kepada UUD 1945 masalah akan beres? Sementara orang-orangnya seperti sekarang ini?

Dari partai Islam maupun yang bukan, kalau kelakuannya hanya bisa korupsi, pastinya tidak akan beres dan mampu menyelesaikan masalah bangsa.

Kalau menurut saya, sekarang ini ada beberapa pasal dalam UUD 1945 (hasil amandemen-red) yang perlu diperbaiki, dan lembaga pembuat Undang-Undang seharusnya mencari pasal-pasal yang tidak tepat untuk diperbaikinya.

Pasca Pemilu, ada harapan perubahan kondisi bangsa menjadi lebih baik?

Kalau Pemilu mampu melahirkan pemimpin yang jujur, bersih dan amanah, Undang-Undang yang ada bisa dijalankan dengan sempurna dan baik. Bahkan kalau perlu harus ada revisi Undang-Undang.

Misalnya?

Misalnya, UU Migas, UU Penanaman Modal, dan UU Sumber Daya Air karena sangat tidak berpihak pada masyarakat kecil.

Realitasnya, kebijakan pemerintah sejak zaman Soeharto tidak pernah berubah. Partai Islam juga jarang yang sepenuhnya memperjuangkan rakyat kecil terutama para petani. Terus di mana yang disebut berasaskan Islam? Dan apa yang diperjuangkan partai Islam itu? Mungkin hanya urusan ubudiyah (soal keagamaan), sementara urusan sosialnya sama saja. Saya kira perjuangan Islam dalam kehidupan masyarakat itu ada dua. Pertama, keadilan dan yang kedua adalah kemaslahatan umat. Kalau yang dua itu terpenuhi maka itulah yang disebut Islami.

Bagaimana membenahi itu semua?

Untuk membenahinya, bisa dari sisi pendidikan dan kesehatan. Anggaran pendidikan sebesar 20 persen sudah terealisasi, tinggal penggunaannya saja yang harus ditingkatkan pada sisi kualitasnya. Pendidikan swasta, jangan dianaktirikan, mulai dari pendidikan dasar, menengah sampai ke Perguruan Tinggi (PT) harus segera diperbaiki.

Sementara untuk kesehatan, anggarannya hanya ada 1,6 triliun. Mestinya, pada tahun 2010 nanti harus sudah naik menjadi 3,2 triliun. Tentunya dengan catatan bahwa birokrasinya diperbaiki. Artinya, bukan mengobati orang tapi mencegah orang biar tidak sakit.

Itu semua bertumpu pada persoalan ekonomi. Sementara kebijakan yang dipakai negara Indonesia masih pro pengusaha. Di masa Soeharto dulu, ada pembagian 25 juta hektar hutan kepada kurang lebih 300 perusahaan, sementara petani malah tidak mendapatkan tanah. Sebanyak 25 juta petani di Indonesia, hanya mempunyai 12 hektar, sementara pengusaha malah lebih banyak. Lalu, apakah itu yang dimaksud dengan islami dan perbuatan adil? Semua apa yang saya sampaikan itu, sampai sekarang belum juga dirubah.

Menurut anda kriteria pemimpin bagi Indonesia seperti apa?

Pemimpin itu harus memiliki pemikiran yang baik, visi yang baik, mengetahui masalah bangsa, mempunyai kebijakan yang pro rakyat.

Kalau dia tidak memberikan perhatian penuh kepada pendidikan swasta, berarti dia bukan pemimpin yang pro rakyat. Sekarang, guru PNS digaji Rp 2 juta, sementara guru swasta tidak. Semestinya, paling tidak gaji guru swasta itu separuh dari gaji guru PNS. Undang-Undang Dasar telah menjamin bahwasanya pendidikan adalah hak semua warga Negara Indonesia, tidak disebutkan bahwa pendidikan itu hanya untuk sekolah negeri saja.

Para petani seharusnya diberikan tanah untuk membuat rumah. Saya kira, negara mampu kalau pemimpinnya sehat dan tidak korupsi. Caranya, hak-hak tanah yang diberikan ke swasta yang belum dipakai bisa diambil lagi, untuk diberikan pada rakyat miskin untuk membuat rumah. Dulu yang memperjuangkan hal seperti ini adalah PKI, namun, dengan memakai cara-cara yang tidak benar. Kalau cara itu dilakukan secara benar, bisa dikatakan Islami juga. Pemerataan harus selalu menjamin keadilan dengan cara yang benar, jujur, amanah, fatonah (cerdas) dan berani mengambil resiko demi perubahan yang mensejahterakan rakyatnya.

Penulis
Hasanuddin, Sofyan Anshori
Editor
Iqbal Muhammad

Tags :