Ngaji Kilat Merawat Tradisi Salaf

Kamis, 05 November 2020 - 10:33
Bagikan :
Ngaji Kilat Merawat Tradisi Salaf
Foto: ALFIKR.CO/PADHORRASIT

Pengajian kitab hadits Imam Bukhari di beberapa pesantren bisa memakan waktu berbulan-bulan. Tetapi, di pesantren Al-Hidayah hanya ditempuh selama 20 hari.

ALFIKR.CO, KEDIRI- Berjarak sekitar 1 Km dari Kampung Inggris ke arah selatan, tampak bangunan sederhana yang terlihat dari Jl. Mayor Bismo, jalan alternatif menuju Kota Malang, tepatnya di Desa Tertek, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Di sanalah berdiri sebuah pondok pesantren yang terbilang cukup tua usianya, yakni pondok pesantren salaf Al-Hidayah.

Jam telah menunjukkan pukul 19.30 WIB, saat ALFIKR berkunjung ke kediaman KH. Thoifur Mujtaba, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah. Setelah mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan ALFIKR ke pondok pesantren tersebut barulah beliau mengizinkan kami.

Berdasarkan penuturan KH. Thoifur Mujtaba, pondok pesantren Al Hidayah didirikan pada tahun 1947 oleh Syaikh Juwaini, salah satu santri pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Sebelum itu, Syaikh Juwaini lebih dulu membangun pondok pesantren dari tanah pemberian Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari di Daerah Jombo, perbatasan Pare-Jombang. Selang beberapa waktu, setelah Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng ini wafat tanah tersebut dikembalikan lagi kepada ahli waris.

Sejak saat itulah Syaikh Juwaini pindah dan mendirikan pondok pesantren Al Hidayah di desa Tertek. Tetapi ketika Syaikh Juwaini wafat tahun 1974 pesantren yang dibangunnya itu vakum selama sepuluh tahun, hingga akhirnya digantikan oleh putranya KH. Imam Hamzah Juwaini yang wafat pada 2013 lalu. Kini Pondok Pesantren Al Hidayah diasuh oleh cucu Syaikh Juwaini, yakni KH. Thoifur Mujtabah.

Meski mengalami tiga kali pergantian pengasuh, pesantren yang sudah berumur 69 tahun ini teguh mempertahankan tradisi salaf. Bahkan desakan dari pelbagai pihak agar mendirikan lembaga pendidikan formal pun tak juga dikabulkan oleh pengasuhnya.

“Saya sendiri tidak berani meninggalkan tradisi lama. Kalau menambah mungkin, mengubahnya tidak, Tetapi saya sendiri kayaknya masih berat,” kata KH. Thoifur, panggilan akrab KH. Thoifur Mujtaba, pada ALFIKR saat di temui di kediamannya.

Salah satu tradisi peninggalan Syaikh Juwaini yang hingga kini tetap lestari ialah ngaji kilat yang disiapkan bagi santri yang telah menguasai ilmu alat atau gramatika bahasa, untuk mendalami dan mengembangkan ilmu Agama Islam. Tradisi ini berawal dari anjuran Mbah Ma’shum dari Lasem, yang juga keponakan Syaikh Juwaini, agar setiap santrinya yang hendak boyong diarahkan terlebih dahulu mematangkan ilmu Agama Islam kepada Syaikh Juwaini, pendiri Pondok Pesantren Al Hidayah.     

“Kalau santri Lasem ingin boyong sama Mbah Yai Ma’shum diarahkan kesini (red. PP. Al Hidayah) dulu. Kadang 40 hingga 50 orang yang mondok. Terus kebutuhannya dicukupi sama kakek (red. Syaikh Juwaini),” tutur KH. Thoifur “Santri pertama PP. Al Hidayah pun santrinya Mbah Yai Mkasum,” 

Dulu ngaji kilatan, cerita KH. Thoifur, dilakukan secara rutin oleh Syaikh Juwaini. Bahkan setiap kali hatam kitab kuning bukan lantas pengajian selesai, melainkan ngaji dimulai dari awal lagi. “Kerjanya Syaikh Juwaini hanya ngaji, semua waktunya dicurahkan untuk ngaji tidak peduli dengan kesehatannya,” tambahnya.

Saat mengasuh pondok pesantren Al Hidayah, KH. Thoifur melanjutkan tradisi ngaji kilat yang ditetapkan waktunya oleh KH. Imam Hamzah Juwaini, yang mengawali ngaji kilat pada bulan Dzulhijjah, bulan Rabi’ul Awal, bulan Jumadil ‘Ula yang bertepatan dengan haul pendiri dan terakhir di bulan Ramadhan yang biasanya selesai tanggal 20 ramadhan. Pengajian dilaksanakan paling lama 15-20 hari.

Kitab-kitab yang di baca dalam metode kilatan ini diantaranya adalah kitab hadist Quttubus sitha, fiqih dan juga tasawwuf. Seperti kitab hadist karya Ibnu Majah, Abi Daud, Tirmidzi, dan Bukhori. “Kalau di pesantren lain misalkan, kitab bukhori dibaca selama berapa bulan, di sini hanya 20 hari,” Ungkap pengasuh ke tiga PP. Al Hidayah tersebut.

Sementara kitab yang di wajibkan kepada santri, jelas KH. Thoifur, adalah Ihya’ ‘Ulumuddin dan Tafsir Jalalain. Kedua kitab ini dikaji secara rutin, sehingga oleh santri Pondok Pesantren Al Hidayah dianggap sebagai kitab wiridan.

Selain teguh mempertahankan tradisi salaf serta metode kilatan, santri pondok pesantren Al Hidayah, juga diberikan kebebasan berbaur langsung dengan masyarakat sekitar dan bekerja sesuai dengan keinginan santri, tanpa merasa malu selama itu halal.  

Bahkan, tambah Arif Hakim, salah satu pengurus pondok pesantren Al Hidayah, selain bekerja sebagian santri memanfaatkan waktu kosong dengan belajar Bahasa Inggris di Kampung Pare, yang letaknya tidak terlalu jauh dari pondok. “Santri yang kursus bahasa Inggris tidak mengganggu jam belajar pesantren karena sebelumnya sudah disesuaikan jadwalnya,” tambah santri asal Lampung, Sumatera Selatan.

Arif Hakim mengaku, di samping mondok, dirinya juga bekerja sebagai penjaga sebuah tokoh milik seorang warga di lingkungan pesantren Al-Hidayah. “Daripada diam santai, lebih baik berbaur bersama masyarakat sambil belajar dari pengalaman mereka,” Kata Arif Hakim santri aktif PP. Al Hidayah, yang juga bekerja sebagai penjaga toko warga dengan gaji ditentukan oleh pemiliknya.

Sumber: Majalah ALFIKR NO. 29 Nopember 2016 - APRIL 2017

Penulis
SYAIFUDDIN YAHYA, PADHORRASIT
Editor
M. Risky

Tags :