Enam Srikandi Pencetus Polisi Wanita
Kamis, 01 September 2022 - 03:19alfikr.id, Probolinggo-Tanah Minangkabau menjadi saksi sejarah lahirnya Polisi Wanita (Polwan). Sebab, 74 tahun silam saat agresi militer Belanda kembali menyerang Indonesia untuk merebut kekuasaannya kembali. Muncul enam Srikandi berdarah Mingkabau menjadi turut andil sebagai barisan terdepan dalam menjaga kemerdekaan. lahirnya Polwan.
Dikutip dari Tirto.id. Jika keenam perempuan itu menjadi pelopor lahirnya Polwan. Namun, Pendirian Polwan tidak hanya sekedar sebagai benteng pertahanan negara. Melainkan ada berbagai nilai yang terkandung didalamnya.
Dikutip dari jurnal Dharmasena terbitan Pusat Penerangan Pertahanan dan Keamanan (1995), keenam calon petugas wanita itu menjalani pelatihan sebagai inspektur polisi bersama dengan 44 peserta pria (hlm. 21). Mereka mulai mengikuti pendidikan di Sekolah Polisi Negara (SPN) Bukittinggi pada 1 September 1948, yang kemudian ditetapkan sebagai hari kelahiran polwan di Indonesia.
Enam polisi wanita perintis ini juga menjadi anggota Angkatan Bersenjata RI perempuan pertama. Rata-rata, mereka nantinya pensiun dengan pangkat kolonel polisi atau komisaris besar polisi.
Yang dicemaskan pun terjadi. Di pengujung tahun 1948, terjadi Agresi Militer Belanda II. Ibukota RI, yang waktu itu terletak di Yogyakarta, diduduki. Para petinggi negara, termasuk Sukarno, Mohammad Hatta, dan beberapa orang menteri, ditawan lalu diasingkan ke luar Jawa.
Ketika pusat pemerintahan di Yogyakarta gamang, Bukittinggi justru unjuk gigi. Atas restu Presiden Sukarno, didirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di salah satu daerah penting di Sumatera Barat tersebut.
Keenam polisi wanita itu turut ambil bagian dalam perjuangan mempertahankan pemerintahan darurat di Bukittinggi. Salah satu fragmen aksi mereka terungkap dalam buku Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa (1998) karya Hasril Chaniago dan Khairul Jasmi.
Disebutkan, Bukittinggi harus dikosongkan pada awal 1949 karena pasukan Belanda semakin mendekat. Kesatuan Brigade Mobil pimpinan Inspektur Polisi Amir Machmud ditugaskan mendirikan basis pertahanan untuk melindungi proses pengosongan tersebut. Dalam pasukan ini, terdapat tiga orang polisi wanita, yaitu Rosmalina, Jasmaniar, dan Nelly Pauna (hlm. 136).
Setelah situasi mereda, akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara penuh, keenam polisi wanita itu melanjutkan pendidikan ke SPN Sukabumi, Jawa Barat. Mereka lulus pada Mei 1951 sebagai inspektur polisi (Achmad Turan & Awaloeddin Djamin, Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2000: 119).
Enam Srikandi inilah yang menjadi pelopor lahirnya kesatuan polisi wanita di Indonesia. Mereka mengemban tugas yang tidak kalah penting dari polisi pada umumnya, kendati secara jumlah masih jauh di bawah populasi polisi lelaki.