Enam Srikandi Sang Pengejar Kesetaraan di Polri
Kamis, 01 September 2022 - 05:09alfikr.id, Probolinggo - Pidato Bung Karno, dikutip dari buku Wanita Indonesia Selalu Ikut Bergerak dalam Barisan Revolusioner (1964), Presiden Sukarno memuji polisi-polisi wanita yang ia ibaratkan seperti bunga, bunga yang oleh Bung Karno disebut Bunga Kartini. Tokoh emansipasi wanita paling populer di Indonesia (hlm. 7).
Perjuangan Enam Perempuan Militer menarik simpati Sang Proklamator Indonesia. Pasalnya, mereka menjadi inisiator gerakan kesetaraan di tubuh Polisi. Hal itu, dibuktikan dengan mereka menjadi perempuan pertama yang masuk barisan militer.
Sayang, setelah era Orde Lama berakhir dan digantikan rezim Orde Baru dengan Soeharto selaku presiden, proses pendidikan untuk calon polisi wanita masih berlanjut. Namun, yang berminat tidak terlalu banyak. Selain itu, belum ada institusi pendidikan khusus yang menaunginya.
Kaderisasi polwan semakin tersendat setelah Polri melebur dengan TNI menjadi ABRI dan penerimaan taruni (taruna perempuan) dihapuskan. Kondisi ini mengakibatkan Polri tidak memiliki lulusan polwan dari Akademi Kepolisian.
Tahun 1975, Sekolah Anggota Kepolisian RI di Ciputat, Jakarta, dibawah naungan Polda Metro Jaya (kala itu bernama Komdak VII Jaya) membuka kelas khusus untuk mendidik bintara polwan. Tahun 1982, kelas ini diperluas menjadi Pusat Pendidikan Polisi Wanita (Pusdikpolwan).
Dua tahun kemudian, tepatnya pada 30 Oktober 1984, status Pusdikpolwan berubah menjadi Sekolah Polisi Wanita (Sepolwan) yang dinaungi Direktorat Pendidikan Polri (Tjuk Sugiarso, Ensiklopedi Kepolisian Tingkat Dasar, 1986: 82).
Berdirinya Sepolwan lambat-laun menarik minat perempuan untuk menjadi polisi, kendati secara presentase masih sangat kecil di sepanjang dekade 1980-an. Hingga era 1990-an, ada peningkatan jumlah personil polwan di tubuh Polri.
Data dari Markas Besar Kepolisian RI (1993), seperti dihimpun Satjipto Rahardjo dalam buku Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan (2007), menyebutkan bahwa terjadi kenaikan akseleratif jumlah polwan, yaitu dari 3 persen pada 1990-1991 menjadi 9 persen pada 1991-1992 (hlm. 108).
Jumlah keseluruhan polwan pada 1992 adalah 5.277 orang dari total 166.658 polisi di Indonesia. Mereka mayoritas berpangkat sersan, selain 18 polwan dengan pangkat kolonal dan 1 orang dengan pangkat brigadir jenderal.
Selang 20 warsa kemudian, presentase jumlah polwan ternyata tidak meningkat, bahkan cenderung menurun seiring semakin bertambah banyaknya personil polisi pria. Hingga akhir 2012, jumlah anggota polwan hanya 13.200 orang dari total 398.000 polisi atau cuma 3,6 persen.
Terkini, tahun 2018, populasi polwan naik signifikan. Seperti yang dikatakan Kapolri Tito Karnavian, jumlah polwan sekitar 30 ribu personil, atau hampir 10 persen dari total jumlah anggota Polri yang berjumlah kurang lebih 400 ribu orang.
Kenaikan ini, salah satunya, barangkali disebabkan oleh kebijakan Polri yang sejak 25 Maret 2015 memperbolehkan anggota polwan mengenakan kerudung, jilbab, atau hijab. Meskipun begitu, presentase yang kata Tito hampir 10 persen itu masih jauh dari harapannya. Waktu itu Tito mencanangkan target 30-40 persen untuk anggota polwan dari jumlah total polisi keseluruhan.
Peran polwan di era milenial saat ini memang amat diperlukan, termasuk untuk pendekatan yang lebih humanis lantaran selama ini polisi kerap dicitrakan kurang bersahabat.