Masyarakat Tak Siap Hadapi Kenaikan BBM
Sabtu, 03 September 2022 - 21:29alfikr.id, Jakarta-Pemerintah baru saja mengumumkan kenaikan harga Pertalite, solar subsidi, hingga Pertamax non-subsidi. Namun, pengamat menilai kenaikan harga BBM subsidi dilakukan di waktu yang tidak tepat, terutama jenis Pertalite.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan masyarakat jelas belum siap menghadapi kenaikan harga Pertalite menjadi Rp 10.000 per liter. Dampaknya, Indonesia bisa terancam stagflasi, yakni naiknya inflasi yang signifikan tidak dibarengi dengan kesempatan kerja.
“Kenaikan harga BBM subsidi dilakukan di waktu yang tidak tepat, terutama jenis pertalite. Masyarakat jelas belum siap menghadapi kenaikan harga pertalite menjadi Rp10.000 per liter. Dampaknya Indonesia bisa terancam stagflasi, yakni naiknya inflasi yang signifikan tidak dibarengi dengan kesempatan kerja,” kata dia kepada Tirto.id, Sabtu (03/09/2022).
Menurutnya BBM bukan sekedar harga energi dan spesifik biaya transportasi kendaraan pribadi yang naik. Namun juga berdampak ke banyak sektor. Ia mencontohkan harga pengiriman bahan pangan akan naik di saat yang bersamaan pelaku sektor pertanian mengeluh biaya input produksi yang mahal, terutama pupuk.
Inflasi bahan makanan, dia menerangkan, masih tercatat tinggi pada bulan Agustus yakni 8,55% year on year, bakal makin tinggi. Diperkirakan inflasi pangan kembali menyentuh dobel digit atau di atas 10% per tahun pada September ini. Sementara inflasi umum diperkirakan menembus di level 7-7,5% hingga akhir tahun dan memicu kenaikan suku bunga secara agresif.
"Konsumen ibaratnya akan jatuh tertimpa tangga berkali kali, belum sembuh pendapatan dari pandemi, kini sudah dihadapkan pada naiknya biaya hidup dan suku bunga pinjaman," ujarnya.
Bhima mengatakan masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi dan tidak memiliki kendaraan sekalipun, akan mengurangi konsumsi barang lainnya. Sebab BBM merupakan kebutuhan mendasar, ketika harganya naik maka pengusaha di sektor industri pakaian jadi, makanan minuman, hingga logistik semuanya akan terdampak.
Pelaku usaha dengan permintaan yang baru dalam fase pemulihan, tentu risiko mengambil jalan pintas dengan melakukan PHK massal. "Sekarang realistis saja, biaya produksi naik, biaya operasional naik, permintaan turun ya harus potong biaya-biaya. Ekspansi sektor usaha bisa macet, nanti efeknya ke PMI manufaktur kontraksi kembali di bawah 50," jelasnya.