Dari Kenaikan BBM ke Kampanye Kendaraan Listrik: Mengancam Lingkungan hingga Perempuan

Senin, 05 September 2022 - 23:56
Bagikan :
Dari Kenaikan BBM ke Kampanye Kendaraan Listrik: Mengancam Lingkungan hingga Perempuan
Perusahaan sedang menyiapkan pelabuhan bongkar muat dan akan buka jalan melalui lahan warga yang menolak tambang. Foto: Dokumen warga Wawonii

alfikr.id, Probolinggo-Presiden Joko Widodo resmi menaikkan harga Bahan Bakar Minyak, Sabtu (03/09/2022). Kenaikan tersebut menuai beragam respon. Mulai dari penolakan dengan aksi turun jalan hingga kampanye penggunaan kendaraan listrik. 

Sosialisasi percepatan penggunaan kendaraan listrik di Indonesia akan terus digencarkan seperti disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan. Ia menegaskan bahwa penggunaan kendaraan listrik akan dimasifkan. 

Luhut menilai kendaraan listrik mampu menjadi alternatif setelah kenaikan harga BBM. "Program ke depan salah satunya sepeda motor dan justru saya kira menguntungkan kita, sepeda motor akan kita listrik, kita akan dorong lebih cepat," ujar Luhut, dilansir dari Liputan6.com, Sabtu (3/9/2022).

Ia mengatakan rencana pengadaan 131 juta sepeda motor listrik akan dilakukan secara bertahap selama 10 tahun. Begitupun dengan mobil dan bus. "Harapannya sudah 80 persen pakai kendaraan listrik pada 2030," ujar Luhut.

Hal serupa juga diutarakan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif. Ia menilai bahwa penggunaan sepeda motor listrik mampu menghemat BBM hingga 60 persen ketimbang menggunakan sepeda motor berbahan bakar bensin. 

“Saving bisa 60 persen kalau pakai motor listrik,” kata Menteri ESDM pada 26 Agustus 2022 lalu dikutip dari Antara pada Senin (05/09/2022). Menggunakan sepeda motor listrik, kata Arifin, memiliki multiplier benefit atau banyak keuntungan. 

“Selain lebih ramah lingkungan juga memberikan penghematan baik bagi negara maupun bagi pengguna,” jelasnya melalui pers rilis Kementerian ESDM, (18/03/2022) lalu. 

Terkait dukungan kendaraan listrik, Presiden Jokowi sudah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang percepatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai untuk transportasi jalan. Targetnya, ada 2 juta unit kendaraan listrik di Indonesia sampai 2025.

Berdasarkan data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) hingga Juli 2022, jumlah kendaraan listrik yang telah mendapatkan sertifikasi registrasi uji tipe ada sebanyak 22.671 unit. Angka itu mengalami peningkatan sebanyak 41,16 persen atau setara 6.611 unit bila dibandingkan jumlah kendaraan listrik pada Maret 2022 yang hanya mencapai 16.060 unit.

Pada tanggal 8 Agustus 2019 lalu, Presiden Jokowi telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Kebijakan itu dinilai untuk meningkatkan efisiensi energi, ketahanan energi, dan konservasi energi sektor transportasi, dan mewujudkan energi bersih, kualitas udara bersih dan ramah lingkungan serta menurunkan emisi gas rumah kaca, dengan cara mendorong percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (Battery Electric Vehicle) untuk transportasi jalan.

Untuk mewujudkan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai itu, Pemerintah Indonesia terus menggenjot industri nikel. Seperti yang telah dibangun di dua kawasan industri nikel, yaitu di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, dan Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara.

Kendaraan Listrik Mengancam Lingkungan dan Masyarakat Rentan

Berdasarkan data yang dirilis oleh Aksi Ekologi Emansipasi Rakyat (AEER) dalam dokumen penelitian yang berjudul Rangkaian Pasok Nikel Baterai dari Indonesia dan Persoalan Sosial Ekologi, tercatat pada tahun 2013 Indonesia telah mengekspor bijih nikel yang mencapai 64,8 juta ton dengan nilai USD 1,6 milyar. Pada tahun yang sama, Indonesia menjadi pemasok utama bijih nikel ke Tiongkok (50%).

Indonesia tercatat sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar dunia, yaitu 23,7 persen total cadangan dunia. Tiga daerah dengan kandungan nikel terbesar adalah Sulawesi Tenggara (32%), Maluku Utara (27%), dan Sulawesi Tengah (26%). Dengan total cadangan nikel terbesar di Indonesia, Sulawesi Tenggara menjadi provinsi yang ditargetkan sebagai lokasi pertambangan nikel.

Dalam surat terbuka kepada Elon Musk, bos perusahaan kendaraan listrik Tesla, pada Senin (25/7), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebutkan bahwa investasi di industri nikel berdampak serius terhadap kerusakan lingkungan. Surat itu dilayangkan usai Presiden RI Joko Widodo bertemu dengan miliarder Elon Musk di Texas pada Mei 2022, untuk membahas potensi investasi di Indonesia. 

"Surat ini adalah pengingat kepada Tesla bahwa situasi eksisting industri nikel di Indonesia telah menghasilkan dampak pada lingkungan dan masyarakat," kata Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Rere Christianto ketika dikonfirmasi Republika, Jumat (29/7). 

Riset panjang yang WALHI temukan menunjukkan adanya daya rusak lingkungan yang besar pada rantai pasok industri nikel. Temuan mereka menyebutkan industri nikel menyebabkan meningkatnya deforestrasi dan ancaman pencemaran air di sungai, danau, dan pesisir. Mereka mencatat setidaknya 693.246,72 hektar kawasan tutupan lahan hutan di Indonesia telah diberikan kepada korporasi pertambangan nikel. 

Salah satu contoh akibatnya bisa dilihat di provinsi Sulawesi Selatan. Setidaknya 4.449,2 Ha hutan hujan di Sulawesi Selatan telah menghilang akibat pertambangan nikel. Akibatnya Danau Mahalona terpapar lumpur tambang sehingga menyebabkan pendangkalan dan pencemaran lumpur tambang pada sungai Pongkeru dan Sungai Malili hingga sampai ke Pesisir Lampia di Sulawesi Selatan. 

“Kejadian serupa juga terjadi di Pesisir Bungku, di Provinsi Sulawesi Tengah dimana paparan lumpur akibat pertambangan nikel menyebabkan pendangkalan pada sungai dan pesisirnya yang menyebabkan nelayan tradisional kehilangan pendapatan,” tulis mereka. 

Di sisi lai konflik antara warga dan industri nikel meningkatkan ancaman kriminalisasi. Menurut WALHI, industri nikel juga telah beberapa kali menciderai demokrasi dan mengancam kebebasan berpendapat dengan melakukan upaya kriminalisasi terhadap kelompok masyarakat yang menolak wilayahnya dirusak oleh pertambangan nikel. 

WALHI mencatat kriminalisasi itu seperti yang dialami tiga warga di Pulau Wowonii, Sulawesi Tenggara saat melakukan protes atas operasi pertambangan nikel PT Gema Kreasi Perdana yang ada di bawah Harita Group. Mereka mendapat panggilan dari pihak kepolisian dengan tuduhan menghalang-halangi aktivitas pertambangan. 

Pada kasus lainnya di tanggal 10 Maret 2022, Masyarakat Adat Lingkar Tambang PT Vale Indonesia Tbk yang melakukan aksi unjuk rasa menyampaikan pendapat di muka umum untuk menuntut perbaikan tata kelola perusahaan nikel tersebut. Namun justru direspon aparat keamanan dengan tindakan represif dan penangkapan para aktivisnya. 

“Setidaknya ada 4 orang yang ditahan oleh pihak kepolisian pasca aksi unjuk rasa warga tersebut,” imbuhnya. Keberadaan industri nikel juga akan mengancam kelangsungan hidup kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan orang disabilitas. 

"Fakta terkini menunjukkan bahwa industri pertambangan telah membiarkan pencemaran air dan udara, perampasan tanah, serta merusak wilayah pengelolaan masyarakat dan wilayah pengelolaan perempuan.”

Di samping itu industri nikel melanggar undang-undang. Sebab, banyak industri nikel di Indonesia beroperasi di pulau-pulau kecil. Hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 

Pulau Wawonii memiliki luas 867,58 kilometer persegi. Mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani dan nelayan. Pertanian warga didominasi oleh kelapa kopra, cengkeh, dan jambu mete. (Sumber: BBC News Indonesia)
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI menyebut dalam salah satu catatannya, pertambangan nikel yang memicu konflik agraria di Pulau Wawonii tidak terlepas dari ambisi pemerintah Indonesia yang ingin mempercepat kendaraan listrik berbasis baterai berbahan baku nikel.

“Alih-alih membangun kendaraan listrik yang ramah lingkungan, pertambangan nikel di Pulau Wawonii malah melahirkan krsisis demi krisis serta konflik demi konflik. Inilah tragedi ekologis dari ambisi kendaraan listrik berbasis baterai berbahan baku nikel,” tegas Parid. 

Kendaraan Listrik, tapi Masih Mengandalkan dari PLTU

Upaya meningkatkan kendaraan listrik atau EV bakal mendorong kebutuhan setrum domestik untuk mengisi baterai. Namun, sampai sekarang mayoritas pasokannya masih berasal dari pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU berbahan bakar batu bara. 

Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat program kendaraan listrik saat ini akan menciptakan sumber emisi baru yang berdampak buruk ke lingkungan. Dilansir dari Katadata.com, Tata menerangkan emisi tidak hanya bersumber dari PLTU, tapi juga pertambangan nikel sebagai bahan baku baterai. “Tata kelola pertambangan saat ini masih buruk,” katanya. 

Tata mengibaratkan mendorong mobil setrum tapi masih memakai listrik dari batu bara seperti membersihkan rumah dengan sapu kotor. Ia menegaskan perlu strategi lebih besar. Peta jalan kendaraan listrik sebaiknya selaras dengan transisi energi pembangkit dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik atau RUPTL.

Sumbet: Databooks, Katadata.com 

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, menjelaskan PLTU batu bara justru menjadi salah satu penyumbang polusi udara. Ia mengilustrasikan jika 1 mobil listrim membutuhkan 1000 warr per hari pada off-peak, maka 10.000 mobil butuh 10MW per hari. 

“Mobil listrik hanya akan memindahkan polusi saja jika sumber listriknya dari PLTU Batubara. “Nah, sementara 10 MW itu sama dengan emisi 17.850 mobil yang biasa berkendara 30km per hari,” jelas Bondan, dikutip dari Tirto.id.

Sederhananya PLTU batu bara, kata Bondan. hanya memiliki efisiensi pengolahannya dengan maksimal 65 persen. “Sisanya, 35 persen, jadi limbah. Ada yang ke udara dan jadi endapan. Jadi sama aja lebih banyak polusinya,” tambahnya.

Kecuali, kata Bondan, saat pengalihan ke transportasi publik, atau pengadaan listrik untuk transportasi publik, memang berasal dari sumber energi yang terbarukan, seperti salah satunya adalah energi surya.

Penulis
Abdul Haq
Editor
Adi Purnomo S

Tags :