Kemandirian dan Kedermawanan KH. Mas Ruji Dalam Menuntut Ilmu

Selasa, 06 September 2022 - 14:25
Bagikan :
Kemandirian dan Kedermawanan KH. Mas Ruji  Dalam Menuntut Ilmu
Istimewa

alfikr.id, Probolinggo - Semangat lelaki itu dalam mencari ilmu mulai tertanam sejak ia masih dini. Meskipun tergolong dari keluarga yang kurang mampu, tekadnya untuk memperdalam ilmu tidak pernah pudar di dalam sanubarinya.

Mas Roji namanya. Lahir pada tahun 1874, di Desa Kebun Teluk Dalam, Kecamatan Sangkapura, Bawean. Baginya pergi ke sawah dan berkebun merupakan aktivitas yang tidak boleh absen, dimana sejak kecil ia menghabiskan hari-harinya bersama petani di desanya.

Ketika usianya beranjak dewasa, ia memutuskan untuk menuntut ilmu di pesantren di tanah jawa. Namun, keputusannya tentu memeranjatkan kedua orang tuanya. H. Toyib—orang tua Roji—meskipun kurang mampu, tetap memikirkan segala kebaikan untuk putra tercintanya itu.

Dengan tekad yang bulat, Mas Roji meyakinkan kedua orang tuanya agar tidak memikirkan segala kebutuhanya, termasuk bekal, biaya dan semua keperluan selama berada di pesantren. Kemandirian inilah yang menjadi karakternya hingga ia dewasa.

Dikutip dalam buku Ulama Bawean dan Jejaring Keilmuan Nusantara, karangan Burhanuddin Asnawi, selama Roji menjadi santri, ia juga bekerja sambil mengaji. Menurut cerita teman sepondoknya semasa di pesantren, ketika bekal hidup Roji menipis, ia pergi bekerja sebelum mengaji.

Hal seperti itu di jalani Roji ketika sering berkelana kebeberapa pesantren terbesar di Jawa Timur. Sampai ia dijuluki sebagai, “Santri Kelana.” Pesantren terakhir yang ia singgahi adalah Sidogiri.

Selama di Pesantren Sidogiri, ia tetap dalam kondisi yang sama, semua kebutuhan hidupnya harus di tanggung sendiri. Bahkan, Mas Roji di kenal dengan pemuda yang sangat dermawan, karena uang hasil kerjanya masih disisihkan untuk di berikan kepada teman-temannya yang kehabisan biaya hidup di pesantren.

Setelah tiga sampai empat tahun berada di Sidogiri, Mas Roji kemudian melanjutkan pendidikanya ke Tanah Suci Makkah. 30 tahun lebih usinya ia habiskan belajar dan mengaji di Negeri Hijaz—wilayah sebelah barat laut Arab Saudi.

Tepat pada tahun 1938, ia harus kembali ke pulau Bawean. Kepulangannya ketanah kelahiran bukan karena visinya sudah selesai. Melainkan karena ada gojolak politik kekuasaan di Negeri Arab. 

Beberapa tahun di rumahnya, ia mendirikan pesantren di desanya. Selepas membimbing santrinya mengaji, ia pergi ke sawah untuk bertani dan berkebun guna mendapatkan penghasilan. Hasilnya ia gunakan buat membeli minyak tanah untuk di pakai kepada bahan bakar lampu ketika santrinya ngaji malam. 

Penulis
Saiq Khayran
Editor
Adi Purnomo S

Tags :