Jejak Kesabaran dan Ketabahan Sang Pemikir
Selasa, 06 September 2022 - 14:38alfikr.id, Jakarta-RABU, 31 Agustus 2022, pukul 09.21 WIB, ada pesan masuk di grup P4NJ Jabodetabek. Membacanya saya tercekat. Rafiuddin, senior saya di PP. Nurul Jadid, yang sedang dirawat di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun. Saya yang sedang dalam perjalanan ke kantor, segera mengubah arah tujuan ke Jl. Lapangan Menara Air II No. 20, Manggarai, seraya meminta izin tidak masuk kantor kepada BOS saya.
Setiba di tujuan, saya segera masuk ke ruang tamu rumah Rafiuddin dan berjumpa beberapa tetangga, kolega, dan saudaranya. Ada juga Syarif, salah satu alumni PP Nurul Jadid yang setia menemani Rafiuddin selama sakit. Faris, putera pertamanya ada di ruangan tersebut, juga Hilya, puteri keduanya yang didekap saudaranya. Raut duka tergambar dari wajah mereka. Sementara kakak kandungnya, Syaifuddin, masih berada di rumah sakit. Demikian juga istri Rafiuddin, Atik Muayati.
Sekira pukul 12.00 WIB jenazah Rafiuddin tiba di rumahnya. Satu demi satu tetangga, saudara, dan koleganya berdatangan, baik dari Mahkamah Konstitusi, Lakpesdam NU, dan P4NJ Jabodetabek. Hadir juga KH Ulil Absar Abdalla. Mereka melakukan sholat jenazah dan yasin-tahlil.
Di hadapan jenazahnya, saya tertegun. “Ya Allah dia senior saya, yang sabar dan tabah menghadapi cobaan aneka penyakit bertahun-tahun. Dan kini, Engkau panggil menghadap Panjenengan. Karuniakanlah padanya kasih sayang yang melimpah…”
***
RAFIUDDIN lahir tanggal 17 November 1974, di Bawean, Gresik, Jawa Timur. Selepas SMP ia menyusul kakak kandungnya mondok di PP. Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Di pesantren yang didirikan Kiai Zaini ini, ia masuk di Madrasah Aliyah. Menurut Ghozi, kakak kelasnya di MA, Rafiuddin menyukai bahasa, seni peran, dan aktif di teater. Dia juga sering tampil dalam pentas seni saat Harlah Pesantren Nurul Jadid.
Tahun 1992, ia lulus MA. Tidak seperti teman-temanya yang segera melanjutkan ke bangku kuliah, ia memilih menetap di pesantren selama satu tahun. Menurut Ghozi, waktu senggangnya itu ia gunakan untuk mengaji, membaca buku, diskusi hingga mendirikan Kelompok Kajian Pojok Surau (KKPS).
Muhaimin Kamal, santri senior PP Nurul Jadid, menambahkan bahwa pendirian KKPS tak lepas dari sosok Rafiuddin yang suka berfikir kontemplatif dan reflektif. Bila berdiskusi dengannya, bisa berjam-jam tapi asyik.
Sementara Abdul Manan, santri senior lainnya, mengatakan bahwa waktu Rafiuddin masih di pesantren, gairah literasi memang sedang tumbuh berkembang. Hal ini tergambar dari beberapa santri yang gemar membaca buku, mulai dari buka karya pemikir dalam negeri hingga luar negeri seperti Alfin Tofler.
Selain mendirikan KKPS, Rafiuddin juga rajin menulis, terutama yang berhubungan dengan sastra. Salah satu cerpennya berhasil masuk media Kompas. Sontak, hal ini menjadi inspirasi kawan-kawannya, terutama Ghozi. Ia tertarik mengikuti jejak Rafiuddin, dan tak segan berkonsultasi tentang bagaimana menulis cerpen yang baik. Seiring diskusi dan terus memperbaiki tulisan, akhirnya cerpen Ghozi masuk media Surya. Tentu ia bangga. Demikian juga Rafiuddin.
Kelihaian Rafiuddin juga ia tularkan kepada teman-teman yang berada di LPM ALFIKR, sebuah lembaga pers yang didirikan oleh kakak kandungnya bersama KH Jafar Shodiq Syuhud.
Satu tahun kemudian, Rafiuddin melanjutkan ke bangku kuliah. Ia memilih jurusan akidah filsafat di IAIN Jogja. Di Kota pelajar ini, ia bertemu dengan teman seangkatan waktu di PP Nurul Jadid, sepeti Muhammad Ridwan, Hasanatul Jannah, Erik S Rahmawati, dan Syarif Jafar.
Menurut Lutfi Rahman, senior Rafiuddin di PP Nurul Jadid, penguasaannya terhadap sastra dan keterampilannya dalam menulis menjadi modalnya diterima di LPM Arena. Di lembaga ini, ia kembali mengasah dan mengembangkan bakat tulis-menulisnya.
Meski senang berfikir kontemplatif, Rafiuddin bukan tipe orang yang serius 100 persen. Ia juga humoris. Hal ini diceritakan Lutfi Rahman, bahwa Rafiuddin merupakan pencerita yang baik, runtut, kelak-kelok, dramatik, dan gerrr. Menurutnya, tutur bahasa Rafiuddin lebih asik saat bercerita dengan bahasa dan dialek Bawean, kampung halamannya.
“Sungguh asik kalau dia bercerita sambil kemebul Marlboro, nek pas nduwe duit,” tulis Lutfi di halaman faceboooknya.
Walaupun sudah di Jogja, Rafiuddin tetap menjalin kontak dengan pesantren Nurul Jadid, terutama dengan teman-teman KKPS dan ALFIKR. Kost Rafiuddin di Jogja menjadi tempat transit temen-teman AL-FIKR untuk urusan pers mahasiswa dan gerakan parlemen jalanan mahasiswa pada paruh 90-an akhir.
Selepas lulus dari IAIN Sunan Kali Jaga, Rafiuddin memilih merantau ke Jakarta, dan diterima sebagai redaktur Suara Warga, bulletin program masyarakat sipil PP. Lakpesdam PBNU. Di situ dia bertemu jodohya, aktivis Forum Warga pesisir Jepara, Atik Muayati.
Setelah dari Lakpesdam, Rafiuddin bertaruh menjadi ASN di Mahkamah Konstitusi dengan ijazah aliyahnya. Lolos. Selama di MK, Rafiuddin pernah menjadi staf Ketua MK, yaitu Mahfud MD. Terakhir, ia dipercaya menjabat Kepala Subbagian Hukum di Mahkamah Konstitusi.
***
TAHUN 2007, adalah awal pertama saya menginjakkan kaki di Jakarta. Tentu untuk tujuan perbaikan ekonomi. Dengan bekal pengetahuan jurnalistik pas-pasan, saya memberanikan melangkah maju, menerobos belantara Jakarta. Menang atau tumbang, biarlah waktu menjawab. Pikir saya waktu itu.
Tahun-tahun pertama, saya merasakan bahwa Jakarta bukan kota yang bersahabat. Harga bahan pokok jauh lebih mahal daripada di kampung. Karakter manusianya tak seragam, penuh warna. Bila tak pandai membawa diri, akan mudah teribat dalam pertikaian. Di tengah situasi yang tak senyaman di kampung itu, saya merasa beruntung memiliki saudara kandung di pinggiran Jakarta, dan beberapa senior Nurul Jadid seperti Abdul Manan dan Rafiuddin.
Saya masih ingat, setiap letih usai melamar pekerjaan, biasanya saya numpang istirahat di kantor Abdul Manan, yang waktu itu menjadi Sekjen AJI. Lokasinya tak jauh dari Pasar Buku Kwitang, yang menjadi salah satu spot syuting Rangga dan Cinta. Abdul Manan adalah senior yang perhatian dan sangat peduli pada yuniornya. Bahkan beberapa kali saya dilibatkan dalam diskusi AJI, dan dikenalkan dengan musikalisasi Puisi Sapardi Djoko Damono, sebuah musik yang indah dengan bait-bait penuh makna.
Sesekali saya juga mampir ke Matraman, ke rumah Rafiuddin yang waktu itu masih ‘ngontrak’ di belakang kantor Lakpesdam NU. Di sana saya diterima dengan baik, disuguhi kopi dan camilan, seraya tenggelam dalam obrolan hangat. Tak jarang ia menunjukkan beberapa artikelnya yang berhasil masuk di beberapa media massa. Bukan untuk pamer, namun untuk memantik semangat saya dalam berkarya.
Tahun demi tahun berlalu. Saya terus menjaga silaturahmi dengannya. Termasuk saat ia berhasil membeli rumah di Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan. Kali ini saya tidak sendiri, anak dan istri saya ajak untuk berkenalan dengan keluarganya. Kemampuan membeli rumah di Jakarta ini patut saya apresiasi, karena tak banyak perantauan yang berangkat dari nol berhasil membeli rumah di Jakarta. Mayoritas hanya mampu beli rumah di daerah pinggiran Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi. Saya sendiri hanya mampu membeli rumah di salah satu sudut pinggiran Jakarta, yaitu Pamulang, Tangerang Selatan melalui kredit bertahun-tahun!
Meski tidak lagi ngontrak, sikapnya tidak berubah. Hamble, kalem, humoris, dan terbuka. Atas sikap ini, tak jarang saya konsultasi tentang hal-hal pribadi. Pernah suatu ketika saya berkonsultasi tentang niat resign dari pekerjaan. Seketika ia memberi pertimbangan, bahwa pekerjaan yang saya tekuni hingga sekarang, memiliki jejaring hingga kabupaten/kota di Indonesia. Eman-eman bila ditinggalkan. Nasehatnya terbukti, bahkan melalui pekerjaan ini saya berhasil membantu beberapa teman yang kebetulan membutuhkan uluran tangan.
Rafiuddin merupakan sosok yang dermawan. Ia tak segan merogoh kantongnya untuk teman-temannya yang membutuhkan. Bahkan ia menjadi donatur tetap untuk pembangunan Masjid PP Nurul Jadid.
“Mas Rafiudin menjadi donatur tetap, menyisihkan dari gajinya sebesar 500.000 setiap bulan untuk pembangunan Masjid Nurul Jadid,” ujar Mahrus Syamweil, santri senior Nurul Jadid yang bermukim di Situbondo.
Rafiuddin juga sosok senior yang tak gengsian untuk bersilaturahmi ke rumah yuniornya. Ini ia buktikan dengan silaturahmi ke rumah saya, yang cukup jauh dari rumahnya. Untuk menuju rumah saya, ia harus berganti-ganti kereta. Di rumah saya, obrolan berlangsung hangat, baik soal pekerjaan, kondisi sosial politik terkini, ALFIKR, KKPS hingga soal akik. Soal yang terakhir ini ia menukil pendapat BOSnya di MK, yaitu Mahfud MD.
“Akik ini, bila diyakini memiliki kekuatan karena akik itu sendiri, itu bisa jatuh syirik. Tapi kalau karena izin Allah, justru makin kuat iman kita!” ujarnya sambil tertawa terbahak, hingga tubuhnya tergunjang.
***
SEKIRA tahun 2018, saya mendengar Rafiuddin sakit. Setelah menemukan waktu yang tepat, saya berkunjung ke rumahnya. Ia bercerita, sakit yang dialami bermula dari hal sepele, yaitu tabrakan dengan seorang ibu bertubuh tambun yang sama-sama mengendarai motor. Saat itu, ia langsung menolongnya. Namun saat mengangkat tubuh ibu tersebut… krekk, mendadak tulang belakangnya berbunyi. Ia kesakitan, namun tetap ditahan hingga berhasil mengangkat ibu tersebut ke pinggir jalan.
Peristiwa yang menciderai tulang belakang itu, sebenarnya juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Menurut kakak kandungnya, yaitu Syaifuddin, ia pernah jatuh saat masih mahasiswa di IAIN Sunan Kalijaga, dan juga pernah terpental dalam sebuah perjalanan saat hendak menikahi isitrinya di Jepara. Dua peristiwa ini berhasil menciderai tulang belakangnya. Dan peristiwa menyelamatkan seorang ibu bertubuh tambun itu, menjadi pemicu kemunculan aneka penyakit yang selama ini terpendam. Ia sering mengalami sakit di bagian tulang belakang, dan akhirnya divonis kanker tulang belakang, liver, hingga kanker sel darah putih, dan lain sebagainya. Akibatnya, tubuhnya berubah drastis. Menjadi lebih kurus.
Meski menderita sakit yang tak sederhana, ia tetap semangat menjalankan kewajibannya sebagai seorang ASN di MK. Dan yang saya kagumi adalah api semangatnya untuk sembuh tak pernah padam. Ia berobat ke mana saja, mulai dokter spesialis hingga tabib china. Pernah suatu ketika ia menelpon saya, dan ingin mandi di air yang belum terkontaminasi dengan limbah. Menurut tabib yang ia datangi, mandi dengan air itu akan mempercepat kesembuhannya. Mendengarnya saya bingung, air apakah itu? Akhirnya ia menunjuk Curug Nangka, yang terletak di kaki Gunung Salak, Kabupaten Bogor. Seketika saya sanggupi. Saya langsung mengontak dua teman saya, yaitu Rizal dan Yadi untuk turut serta. Di sana saya menemaninya mandi di bawah air terjun. Ia sangat menikmatnya, dan berkata bahwa tubuhnya terasa lebih segar dan lebih sehat.
Jumat, 3 Mei 2019, saya memberi kabar bahwa KH Abdul Hamid Wahid akan berkunjung ke rumahnya. Ia senang sekali mendengarnya dan segera menjawab, siap dib! Usai menerima kehadiran gurunya, ia bercerita ke beberapa temannya, salah satunya Ghozi, bahwa ia seperti mendapatkan gunung emas. Ia mengaku bahwa kunjungan Kiai Hamid melampaui dari apa pun yang ia dapatkan selama di MK.
Di suatu waktu saya melihat fotonya sedang menjalankan ibadah umroh bersama istrinya. Saya telp dan menghaturkan ucapat selamat dan doa. “Takut gak sempat, Dib,” katanya sambil tertawa. Saya tercenung mendengar jawabannya.
Tahun berganti, saya kembali mendengar kabar ia masuk rumah sakit lagi. Saya kembali berkunjung ke rumahnya, seraya mengajak teman-teman P4NJ Jabodetabek, yaitu Riadi dan Yadi. Saya bawakan 9 aneka buah, dengan harapan ada keajaiban dan ia dapat pulih. Namun saat tiba di rumahnya, ia tak bisa lagi dapat banyak berbicara. Hanya sorot matanya saja yang seolah ingin berbicara banyak. Ia meminum obat dan izin tiduran sebentar. Saya memakluminya dan segera pamitan pada istrinya.
Esoknya ia mengirim pesan gambar dari grup WA ALFIKR, seraya menulis, jepretan sampean, ini mesti, dengan emotion tersenyum. Saya hanya nyengir seraya berdoa semoga makin sehat. Ia mengamini dan meminta maaf karena semalam ia hanya bermaksud tiduran, tapi justru ketiduran.
Ia juga pernah berencana berobat ke Pak Nyoto, Ngunut, Tulungagung. Namun gagal karena situasi dan kondisinya yang tak memungkinkan.
Beberapa hari kemudian, saya mencoba menelphonnya. Suaranya terdengar lemah di ujung telp. Saya makin prihatin, dan mencoba menyampaikan wasiat almarhum Gus Jafar tentang Sholawat Nariyah. Ia menyanggupinya, dan masuk Kelompok Cangkruk bersama para senior seperti Muhaimin Kamal, Surayadi, Syihab, dan Ghozi.
Ghozi mengatakan bahwa Rafiuddin juga sempat meminta Qashidah Tawassul KH. Zaini Mun'im. Katanya, ia rindu suasana Pesantren Nurul Jadid. “Ini bukti Rafi tidak ingin lepas dari NJ,” tegas Ghazi melalui Aplikasi Zoom.
Agustus 2022, saya mendengar kabar Rafiuddin bermukim di Jagakarsa, untuk memperoleh suasana baru dan ketenangan. Saya bermaksud mengunjunginya lagi. Namun sebelum niat saya terlaksana, saya sudah mendengar bahwa ia kembali masuk rumah sakit usai jatuh dari kamar tidur. Saya langsung kontak pengurus P4NJ Jabodetabek agar menjenguknya di RSPAD Gatot Soebroto.
Rabu, 31 Agustus 2022, pukul 09.21 WIB, sebelum saya menjenguknya di RSPAD, ia sudah wafat… “Ya Allah, Mas Rafi… “ batin saya, dan segera meluncur ke rumah duka.
Di pemakaman TPU Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Rafiuddin dimakamkan. Usai prosesi pemakaman dan doa, saya duduk di ujung bawah pusaranya.
“Mas Rafi sampean ini orang hebat. Sabar dan tabah menghadapi penyakit kanker bertahun-tahun, itu luar biasa. Andai saya di posisi sampean, saya tidak yakin apakah saya mampu sesabar dan setabah sampean. Karena itu, saya yakin penderitaan sampean selama bertahun-tahun ini, akan berbuah manis. Atas kesabaran dan ketabahanmu, semoga Allah membalasmu dengan rahmat yang melimpah…,” batin saya, seraya membaca sholawat nariyah untuknya.
Penulis adalah kader Rafiuddin di KKPS dan ALFIKR.