Biaya Kuliah Mahal, Mahasiswa Menjadi Korban
Jum'at, 09 September 2022 - 02:16alfikr.id, Probolinggo-Persoalan uang kuliah kerap ramai diperbincangkan. Harian Kompas pernah menerbitkan laporan yang mencengangkan. Mereka menganalisis dan mengombinasikan uang kuliah di 30 kampus swasta dan negeri dari data selama sepuluh tahun sejak 2013-2022 dan data upah lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan universitas dari data Badan Pusat Statistik sejak 1995 hingga 2022.
Investigasi yang dilakukan Harian Kompas pada Jumat (29/07/2022) lalu menyebutkan laju kenaikan biaya kuliah per tahun–sekitar 1,3 persen untuk kampus negeri (PTN) dan 6,96 persen untuk kampus swasta (PTS). Temuan mereka menyebutkan kenaikan biaya kuliah di Indonesia sulit diimbangi oleh kenaikan upah orang tua lulusan SMA ataupun universitas yang masing-masing hanya 3,8 persen dan 2,7 persen per tahun.
Bahkan analisis Harian Kompas juga menemukan, jika orang tua sudah menabung sejak anak lahir, gaji lulusan SMA pun hanya bisa menutup 48,4 persen total biaya kuliah tahun 2022 atau setara membayar empat semester saja. Adapun keluarga dengan penghasilan lulusan universitas atau mewakili golongan menengah atas, sanggup membayar biaya kuliah anak hingga lulus.
Mereka mengilustrasikan biaya kuliah mahasiswa angkatan 2022 secara rata-rata sebesar Rp 149.863.850 hingga lulus selama 8 semester. Namun, akumulasi tabungan yang dikumpulkan orangtuanya selama 18 tahun sejak 2004 hingga 2021 baru menghasilkan Rp 72.534.314.
“Ini artinya, dana tersebut hanya bisa menutupi 48,4 persen total biaya kuliah atau setara dengan membayar 4 semester saja,” tulis Harian Kompas.
Kondisi ini berpotensi mengancam akses pendidikan tinggi masyarakat di masa depan. Sebab analisis Harian Kompas berdasarkan kenaikan upah lulusan SMA dan sarjana, dikombinasikan dengan kenaikan biaya kuliah, orang tua pada tahun 2040 akan semakin sulit membiayai kuliah anaknya.
Pada saat itu, orang tua yang lulusan SMA hanya mampu menabung sebesar Rp117,2 juta selama 18 tahun. Angka ini hanya mampu menutup biaya kuliah sebesar 41,2 persen alias anak terpaksa berhenti kuliah pada semester 3 karena tabungan sudah habis.
Sedangkan bagi orang tua sarjana mampu mengumpulkan tabungan yang lebih besar, yakni Rp299,2 juta. Sayangnya, ini pun tak bisa menutup biaya kuliah anak karena hanya mampu menutup 69,6 persennya. Anak terpaksa mandek di semester 6.
“Orangtua Indonesia di masa depan makin sulit membiayai kuliah anaknya. Kenaikan biaya pendidikan perguruan tinggi tidak mampu diimbangi oleh peningkatan gaji masyarakat. Tidak semua keluarga dapat menuntaskan kuliah anaknya hingga lulus,” tegas Harian Kompas dalam investigasnya.
Mengapa biaya kuliah terus meningkat pesat setiap tahunnya?
Dalam laporan The Conversation menyebutkan meningkatnya biaya kuliah berkaitan dengan meningkatnya operasional yang harus dikeluarkan. Elisabeth Rukmini, Manajer Pengembangan Strategis di Binus University menegaskan ada dua komponen yang membuat pengeluaran kampus sebesar 85 persen. Yakni sumber daya manusia seperti gaji dosen; serta sarana prasana, seperti alat praktikum dan langganan jurnal, dapat mencapai sekitar 85?ri anggaran. Kesimpulan itu Elisabeth dapatkan di tiga kampus swasta yang berbeda.
“Kebutuhan tersebut dari tahun ke tahun memang selalu meningkat. Tidak bisa dipungkiri, itu kebutuhan, itu yang harus dikeluarkan untuk mutu,” kata Elisabeth dikutip The Conversation.
Peneliti senior di Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan biaya operasional itu juga semakin meningkat karena aspirasi kampus untuk berbenah dan meraih predikat kelas dunia.
“Ketika ingin jadi kelas dunia, akhirnya semua lihat ke luar, ke negara Barat terutama yang dianggap maju. Mereka lalu lihat bahwa infrastrukturnya bagus, punya gedung perpustakaan yang bagus. Kemudian, dosen-dosennya banyak riset dan banyak dikutip,” kata Totok.
Dalam upaya meningkatkan kualitas, Totok menerangkan, kampus pun harus memenuhi berbagai indikator standar mutu dan akreditasi yang ditetapkan pemerintah. Misalnya, memiliki dosen tetap lebih banyak dari yang tidak tetap.
Namun masalahnya, Totok melanjutkan, di tengah meningkatnya biaya kebutuhan dan juga upaya pembenahan tersebut, banyak kampus tak memperhatikan keuangan dan model bisnis secara jangka panjang.
“Kita meniru dari segi kualitas dosen harus menulis riset, harus dikutip sampai jurnal internasional dan segala macam, tapi yang tidak dilihat adalah bagaimana struktur pembiayaan di perguruan tinggi yang maju itu,” ungkapnya.
Totok menegaskan bila hendak meniru kampus-kampus internasional, harus memperkuat kemampuan keuangannya. “Kalau tidak, bebannya akan ditimpakan ke mahasiswa.”
Beban keuangan yang dialami mahasiswa itu, kata Elisabeth sangat terasa di kampus swasta. Berbeda dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang dibiayai negara. Ia menuturkan seharusnya Perguruan Tinggi Swasta (PTS) harus mencari sumber pendanaan sendiri.
Hanya saja, kata Elisabeth, kebanyakan kampus swasta di Indonesia kemampuan keuangannya masih bersifat tuition-dependent atau menggantung pemasukan pada biaya kuliah mahasiswa.
“Yang paling sehat lah, paling rendah pun ketergantungan pada tuition fee mungkin masih 90% [dari biaya operasional]. Sumber lain? Ya hanya 10%,” jelasnya.
Padahal, menurutnya sekitar 4,5 juta jumlah mahasiswa Indonesia berkuliah di salah satu dari 3.171 PTS. Ia menetapkan sistem tuition-dependent ini, membuat mahasiswa swasta yang paling merasakan kenaikan biaya operasional kampus dalam bentuk uang kuliah.