Kematian Ratu Elizabeth II, Memantik Kembali Kritik terhadap Kolonialisme

Jum'at, 09 September 2022 - 14:42
Bagikan :
Kematian Ratu Elizabeth II, Memantik Kembali Kritik terhadap Kolonialisme
‘The Queen’s life spanned the entire history of modern Britain.’ Photograph: Leon Neal/AFP/Getty Images

alfikr.id, Inggris-Kabar duka datang dari Inggris. Ratu Elizabeth II meninggal dunia di usia 96 tahun. Sang ratu meninggal setelah kondisi kesehatannya terus memburuk dalam beberapa waktu terakhir.

"Sang Ratu meninggal dengan tenang di Balmoral sore ini," bunyi pernyataan Istana Buckingham.

Kematian Ratu Elizabeth II itu membuat jutaan orang di seluruh dunia sedih. Namun di sisi lain, peristiwa tersebut juga memantik kritik terhadap warisannya dan  simbol kerajaan Inggris yang memperkaya diri sendiri melalui kekerasan, pencurian, dan penindasan. 

Kritik terhadap Kerajaan Kolonial Inggris itu merebak di media sosial. Salah satunya Twitter.

"Jika ada yang mengharapkan saya untuk mengungkapkan apa pun kecuali penghinaan terhadap raja yang mengawasi pemerintah yang mensponsori genosida, membantai, dan menggusur setengah keluarga saya serta konsekuensi yang masih berusaha diatasi oleh mereka yang hidup hari ini, Anda dapat terus berharap pada bintang, " kata Uju Anya, profesor dan peneliti linguistik di Universitas Carnegie Mellon, Pittsburgh, Pennysylvania, Amerika Serikat dalam tweetnya, Kamis sore (8/9).

Tweet-nya telah di-retweet lebih dari 13.3 ribu kali dan telah mengumpulkan hampir 54.9 ribu likes pada Jumat siang (8/9). 


Dalam sebuah wawancara, Anya (46) mengatakan bahwa dia adalah "anak penjajah". Ibunya lahir di Trinidad dan ayahnya di Nigeria. Orang tua Anya bertemu di Inggris pada 1950-an sebagai subjek kolonial yang dikirim untuk kuliah. Mereka menikah di Inggris dan pindah ke Nigeria bersama. 

"Selain penjajahan di pihak Nigeria, ada juga perbudakan manusia di Karibia. Jadi ada garis keturunan langsung yang saya miliki bukan hanya orang-orang yang dijajah, tetapi juga orang-orang yang diperbudak oleh Inggris." 

Sementara Elizabeth memerintah saat Inggris menavigasi era pasca-kolonial. Menurut Anya, Elizabeth masih memiliki hubungan dengan masa lalu kolonialnya, yang berakar pada rasisme dan kekerasan terhadap koloni Asia dan Afrika. Ada seruan yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir bagi monarki untuk menghadapi masa lalu kolonialnya.

Zoé Samudzi, seorang penulis Zimbabwe Amerika dan asisten profesor fotografi di Rhode Island School of Design menyatakan kritik serupa. "Sebagai generasi pertama keluarga saya yang tidak lahir di koloni Inggris, saya akan menari di kuburan setiap anggota keluarga kerajaan jika diberi kesempatan, terutama miliknya," ujarnya di Twitter.


Shakia Asamoah, Peneliti University of Maryland, Amerika Serikat, dalam laman Twitternya mengingatkan bahwa Ratu Elizabeth bukanlah sisa-sisa zaman kolonial. “Dia adalah peserta aktif dalam kolonialisme. Dia secara aktif mencoba untuk menghentikan gerakan kemerdekaan & dia mencoba untuk menjaga koloni yang baru merdeka meninggalkan persemakmuran. Kejahatan yang dia lakukan sudah cukup,” tegas Shakia.


Reaksi-reaksi itu, kata Matthew Smith, Profesor sejarah di University College London yang memimpin Pusat Studi Warisan Kepemilikan Budak Inggris, hal itu menunjukkan hubungan yang rumit dan campur aduk antara orang-orang dengan monarki Inggris dengan persemakmuran. 

"Saya pikir ketika orang menyuarakan pandangan itu, mereka tidak berpikir secara khusus tentang Ratu Elizabeth," kata Smith dalam sebuah wawancara telepon dikutip dari Yahoo News. 

Orang-orang yang mengkritik tersebut, kata Smith, berpikir tentang monarki Inggris sebagai sebuah institusi dan hubungannya dengan sistem penindasan, represi, dan ekstraksi paksa tenaga kerja, khususnya dari Afrika. 

"Juga eksploitasi sumber daya alam dan sistem kontrol paksa di tempat-tempat ini. Itu adalah sistem yang ada di luar pribadi Ratu Elizabeth," ujarnya. 

Penulis
Adi Purnomo S
Editor
Adi Purnomo S

Tags :