Kebijakan Tata Ruang Akar Tumpang Tindih Kawasan Pertambangan di Jawa Timur

Jum'at, 30 September 2022 - 20:58
Bagikan :
Kebijakan Tata Ruang Akar Tumpang Tindih Kawasan Pertambangan di Jawa Timur
Tambang Emas PT BSI di Tumpang Pitu Banyuwangi. [Sumber Foto: WALHI Jawa Timur]

Oleh: Wahyu Eka Setyawan (WALHI Jawa Timur)

Catatan ini sebagai respons serta memperluas cakupan diskusi mengenai keberadaan pertambangan di Jawa Timur, khususnya di kawasan Pesisir Selatan Jawa Timur. Bermula membaca artikel dari Abdul Kodir berjudul Meninjau Ulang Kebijakan Pertambangan di Jawa Timur,” yang diterbitkan oleh Bangsaonline.com pada tanggal 23 September 2022. Secara substansi apa yang disampaikan oleh penulis cukup lengkap, terutama membahas persoalan tumpang tindih kawasan, yang seringkali kita jumpai ialah kawasan pertambangan berada di atas kawasan hutan atau kawasan esensial lainnya, misalnya karst.

Menambahkan yang disampaikan oleh Abdul Kodir terkait tumpang tindih kawasan peruntukkan pertambangan, saya di sini ingin menambahkan beberapa catatan yang menguatkan pernyataan tersebut. Jika kita berangkat dari wilayah Tumpang Pitu yang berada di Kabupaten Banyuwangi, di sana bercokol tambang emas yang dikelola oleh korporasi besar bernama Merdeka Cooper Gold tbk, perusahaan ini memiliki dua anak perusahaan bernama PT. Bumi Suksesindo dengan luasan konsesi 4.998 hektare dan PT. Damai Suksesindo dengan luasan konsesi seluas  6.558,46 hektare. Melihat dari kenampakan ruangnya konsesi tersebut tumpang tindih dengan peruntukan lainnya seluas 7.652,21 hektare. Tumpang tindih kawasan tersebut mencakup kawasan hutan baik lindung maupun produksi, lahan pangan, permukiman dan beberapa peruntukan lainnya.

Beranjak ke wilayah Kabupaten Trenggalek, konsesi pertambangan seluas 12.813,00 hektare atas nama PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN) berada dihampir sepertiga wilayah kawasan Kabupaten Trenggalek. Kawasan yang diperuntukkan untuk pertambangan tersebut tumpang tindih dengan kawasan kawasan karst seluas 1.053,75 hektare berdasarkan data pengajuan Kawasan Bentang Alam Karst Trenggalek, serta hampir 8.998,03 hektare kawasan hutan baik lindung maupun produksi beradai di dalam konsesi tersebut. Konsesi PT. SMN juga mencakup kawasan budidaya hingga permukiman.

Tumpang Tindih Kawasan Pada RTRW

Carut marutnya penataan ruang dalam kebijakan pertambangan di Jawa Timur luput dari perhatian Abdul Kodir dalam artikelnya. Alih-alih membahas Kajian Lingkungan Hidup Strategis penulis hanya berfokus pada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan aneka persoalan administratif. Sehingga argumen yang dibangun melompat dari pembahasan pada bagian sebelumnya yang berfokus pada persoalan tumpang tindih kawasan.

Persoalan kebijakan pertambangan di Jawa Timur tidak dapat dilepaskan dari peruntukan ruang yang memang menyediakan khusus untuk pertambangan di samping juga ditetapkan sebagai kawasan lindung atau peruntukkan lainnya. Hal ini dapat dibaca dalam Perda No 5 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Jawa Timur maupun Ranperda RTRW Jawa Timur tahun 2020. Pada bagian pertambangan dan kawasan lindung wilayah yang ditetapkan hampir semua masuk pada kedua kawasan tersebut, sebagai contoh Banyuwangi dan Trenggalek.

Lalu jika ditelaah lebih dalam lagi pada Perda RTRW Kabupaten memang ada tumpang tindih yang signifikan, misalnya di Banyuwangi kawasan peruntukan pertambangan dengan spesifik menyebutkan sekitar 22.600 hektar dialokasikan untuk pertambangan emas, perak dan tembaga meliputi Kecamatan Pesanggaran dan Siliragung. Sebaliknya pada wilayah tersebut juga ditetapkan sebagai kawasan lindung terutama hutan, serta ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana baik gempa, gelombang pasang maupun kerawanan pergerakan tanah.

Hal serupa juga terjadi di Trenggalek meskipun tidak ada peruntukan pertambangan, anehnya izin operasi produksi tiba-tiba muncul. Kronologinya, pada tahun 2007 Bupati Trenggalek menerbitkan IUP eskplorasiseluas 30.044 hektare meliputi sekitar 12 kecamatan. Lalu Bupati Trenggalek memperpanjang lagi eksplorasi sampai pada tahun 2012 dengan luasan 29.969 hektar dengan meliputi 9 kecamatan dan habis pada tahun 2018. Setelah izin eksplorasi habis pada tahun 2019, melalui Gubernur Jawa Timur menerbitkan IUP Operasi Produksi dengan luasan sekitar 12.813,00 hektare.

Penerbitan IUP tersebut tidak melihat keberadaan Perda No 15 Tahun. 2012 tentang RTRW Kabupaten Trenggalek, pasalnya dalam aturan tersebut tidak secara spesifik menyebutkan pertambangan emas dan di dalam peta perencanaan ruangnya pun tidak ada peruntukan untuk tambang emas. Selain itu, kawasan yang akan dijadikan tapak pertambangan di Trenggalek juga masuk dalam kategori kawasan rawan bencana, mulai dari longsor sampai gempa.

Sehingga kebijakan tumpang tindih dalam kasus pertambangan di Jawa Timur salah satunya diakibatkan oleh penataan ruang yang tidak sesuai realitas, karena rata-rata yang dimasukan dalam peruntukan pertambangan emas berada di kawasan lindung dan rawan bencana.

KLHS Seringkali Diabaikan

Penyusunan rencana tata ruang di Jawa Timur seringkali memakai langgam, bagaimana pola ruang menyesuaikan dengan izin usaha yang sudah ada, tak terkecuali pada kawasan peruntukan pertambangan. Bukan memakai pendekatan bahwa perizinan harus mengikuti pola ruang yang sesuai dengan realitas termasuk kerawanannya. Pendekatan tersebut ditabrak begitu saja oleh pembuat kebijakan baik di pusat maupun di daerah.

Pola ruang yang sesuai realitas atau kondisi tersebut dihasilkan melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), tujuan dibuat kajian ini adalah untuk memetakan wilayah mana yang benar-benar harus dilindungi dan wilayah mana yang dapat dimanfaatkan, berangkat dari kondisi ruang bertumpu pada daya tampung dan daya dukung. Tapi seringkali penggunaan KLHS justru sebaliknya, yakni digunakan untuk melegitimasi rencana tata ruang yang sebelumnya sudah dikondisikan oleh keberadaan izin yang diberikan tidak mengikuti kaidah penataan ruang.

Apalagi saat ini, di mana Undang-undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada pasal 14A menyebutkan penataan ruang harus ‘memperhaikan’ KLHS yang artinya kata tersebut tidak mengikat dan secara teknis hanya dijadikan pertimbangan bukan kewajiban. Sementara itu KLHS dalam aturan tersebut pada bagian ‘Persetujuan Lingkungan’ khususnya pasal 63 ditarik semua kewenangannya ke pusat dengan menekankan pada kata standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat yang artinya kewenangan daerah untuk membuat KLHS menjadi terbatas.

Kondisi tersebut tentu akan semakin memperparah penataan ruang yang sudah banyak tumpang tindih akan semakin dilanggengkan hal tersebut melalui UU Cipta Kerja. Pada peraturan yang lama saja saat KLHS merupakan kewajiban merujuk pada Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan hidup sudah banyak tumpang tindih peruntukan khususnya pertambangan. Apalagi di era Cipta Kerja yang secara subtansi melonggarkan aturan sebelumnya. Tentu ini menjadi catatan khusus, bagaimana persoalan kebijakan pertambangan di Jawa Timur yang banyak melahap kawasan lindung dan lebih luasnya ruang hidup rakyat akan semakin dilanggengkan oleh kondisi tersebut.

Penulis
Redaksi
Editor
Abdul Haq

Tags :